Oleh Brian Yuliarto* (Tulisan sejenis telah dimuat di HU Republika 16 Juni 2008)

Harga minyak dunia yang terus naik membuat banyak negara pengkonsumsi minyak terkena dampaknya. Kesulitan pemerintah hampir merata terjadi di banyak negara terutama mereka yang lambat mengantisipasi kenaikan harga minyak ini. Meskipun trend kenaikan harga minyak sudah banyak diprediksikan oleh berbagai analist sejak tahun 2005, kelemahan dalam pengambilan kebijakan energi membuat saat ini Indonesia terjebak dalam situasi sulit. Pemerintahpun membuat suatu wacana Indonesia keluar dari OPEC. Sebenarnya kenaikan harga minyak dunia yang fantastis membuat negara-negara pengekspor minyak secara tiba tiba mendapatkan pemasukan yang berlipat-lipat dari penjualan minyak mereka. Itulah yang saat ini terjadi di negara-negara anggota OPEC dan Timur Tengah.

Sebuah laporan dari Analist Energy and Capital menyatakan bahwa kenaikan harga minyak yang terjadi selama tahun ini saja diperkirakan akan memberikan kenaikan pendapatan negara-negara anggota OPEC mencapai 1 Trilliun US$, melebihi prediksi dari Departemen Energi Amerika di awal tahun sebesar 150 Milyar US$ [1]. Meskipun begitu Indonesia yang juga salah satu anggota OPEC ternyata bukanlah termasuk negara yang berbahagia dengan kenaikan hargnya minyak yang melambung tinggi ini. Meskipun produksi minyak Indonesia masih relatif besar yaitu mencapai 900.000 barel per hari, ternyata konsumsi minyak negeri ini lebih besar dari produksinya yaitu sekitar 1,1 juta barel perhari yang membuat Indonesia sebenarnya bukan lagi net eksportir minyak.

Sejak menjadi anggota OPEC tahun 1962, baru pada tahun 2004 Indonesia mulai mengimpor minyak dari Saudi Arabia, Iran dan Kuwait. Ini dikarenakan menurunnya tingkat produksi dan langkanya sumber-sumber penemuan minyak baru sementara konsumsi minyak terus meningkat setiap tahunnya. Cadangan minyak terbukti (proven oil reserves) yang dimiliki Indonesia pada tahun 2005 sekitar 4.301 metrik barrel (MB) atau sekitar 0,47% dari cadangan seluruh anggota OPEC atau sama dengan 0,37% dari cadangan seluruh dunia. Nilai ini memang jauh dibawah cadangan minyak terbukti sebelas negara anggota OPEC lainnya yang diatas 35.000 MB (kecuali Angola sekitar 10.000 MB, Algeria sekitar 12.270 MB dan Qatar 15.207 MB) [OPEC Proven Oil Reserves, 2006]. Menjadi net importir minyak sejak tahun 2004 menjadikan posisi Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Posisi anggota OPEC yang masih mempunyai 77% (922 bn barrels reserves) dibandingkan non-OPEC yang hanya 23% (273 bn barrels) paling tidak membuat posisi tawar OPEC cukup tinggi dalam penentuan basis produksi dan harga minyak minyak dunia. Dengan posisi produksi dan konsumsi minyak Indonesia diatas, sebenarnya pertimbangan keluar dari OPEC sangat beralasan karena sebagai net importir minyak, Indonesia memiliki kepentingan agar harga minyak rendah. Keinginan ini justru bertentangan dengan OPEC yang mengininkan harga minyak tetap tinggi. Keluarnya Indonesia dari OPEC juga berarti dapat menghemat 2 Juta Euro pertahun keanggotan OPEC.

Meskipun begitu ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan sebelum keputusan keluar dari OPEC benar-benar dibuat:

Pertama, Indonesia sebenarnya merupakan negara yang cukup terpandang diantara negara anggota OPEC lainnya. Meskipun bukan termasuk pendiri OPEC, Indonesia menjadi negara awal yang bergabung dengan OPEC pada tahun 1962 setelah didirikan pada tahun 1960 oleh Irak, Iran, Saudi Arabia, Venezuela dan Kuwait. Posisi Indonesia yang merupakan satu-satunya anggota OPEC yang ada di Asia Timur menjadikan peran Indonesia sangat signifikan dalam berbagai kebijakan OPEC. Kepemimpinan Subroto sebagai Sekjen OPEC terlama dalam sejarah OPEC juga menunjukkan besarnya peran Indonesia dalam membangun OPEC. Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki posisi strategis diantara anggota OPEC lainnya yang sebagian besarnya adalah negara timur tengah. Dengan menjadi anggota OPEC maka sesungguhnya Indonesia akan memiliki peran yang penting yang sesuai dengan amanat UUD 45 yaitu politik bebas aktif. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC akan membuat posisi tawar Indonesia di dunia internsional menjadi lebih lemah

Kedua, kalau melihat peran yang dimainkan selama ini, sebenarnya OPEC bukanlah suatu kartel minyak yang murni. Dengan posisi yang senantiasa terbuka dalam penentuan kuota dan harga minyak, maka OPEC cenderung memperhatikan pengaruh ekonomi dunia dalam setiap kebijakan harga minyak dunia. Bahkan negara-negara produsen minyak yang berada diluir keanggotaan OPEC yang disebut sebagai Shadow OPEC juga senantiasa diundang untuk menghadiri pertemuan rutin OPEC dalam penentuan produksi dan harga minyak. OPEC sendiri dalam konfrensi akhir Mei 2008 di Viena menyatakan bahwa kenaikan harga minyak dunia yang tinggi bukanlah kesalahan OPEC karena produksi minyak seluruh anggota OPEC sebenarnya hanya berkisar 40% dari minyak yang ada di pasar. OPEC menyatakan bahwa tingginya harga minyak lebih karena permainan spekulasi pasar. Ini artinya posisi Indonesia yang net importir minyak semestinya tidak terlalu bertentangan dengan posisi OPEC sebagai kartel producen minyak dunia.

Ketiga, dengan cadangan minyak yang masih 70% dikuasai oleh negara-negara anggota OPEC, peranan OPEC ke depan sebenarnya masih akan sangat penting terutama dalam kaitannya dengan pasokan energi dunia. Kebijakan energi di Indonesia yang masih membutuhkan minyak dalam jangka panjang membuat Indonesia seharusnya memiliki hubungan yang erat dengan negara-negara produsen minyak seperti OPEC. Dengan keanggotaan Indonesia di OPEC setidaknya Indonesia telah memastikan memiliki jaringan yang menjamin pasokan energi khususnya minyak bumi sehingga ketahanan energi kita lebih terjamin keamanannya.

Keempat, selain bertujuan mengontrol harga minyak melalui pengaturan produksi, OPEC sebenarnya juga memiliki tujuan menjaga pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya. Tujuan ini yang sebenarnya perlu dimainkan secara aktif oleh pemerintah Indonesia melalui perwakilannya yang ada di OPEC. Jasa Indonesia yang terbilang tidak kecil dalam pertumbuhan OPEC dan kebersamaan selama lebih dari 45 tahun dengan negara anggota OPEC lainnya, merupakan bekal yang cukup bagi Indonesia untuk mendapatkan bantuan dalam kondisi sulit saat ini. Seorang pakar ekonomi politik Iran Abdolreza Ghofrani bahkan menyatakan bahwa OPEC akan sangat kehilangan dengan keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC. Lebih jauh Abdolreza juga mengingatkan seharusnya negara-negara anggota OPEC lainnya berperan aktif membantu Indonesia mengingat posisi Indonesia yang penting dalam keanggotaan OPEC.

* Direktur Eksekutif Indonesia Energy Institute (INDENI), Staf Pengajar Teknik Física ITB

Artikel ini dimuat dalam Harian Pikiran rakyat 14 Mei 2008

Oleh Brian Yuliarto

Hari-hari menjelang diumumkannya kenaikan harga BBM oleh pemerintah, praktis menjadi hari yang mencemaskan bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diucapkan pada jamuan makan dengan sejumlah tokoh dan asosiasi perempuan di Istana, 18 April lalu, bahwa harga BBM tidak akan naik, seolah menjadi angin surga yang bertiup sangat cepat.

Kecemasan rakyat ini sangat beralasan, mengingat daya beli masyarakat yang belum naik ternyata harus berhadapan dengan berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok. Penyebabnya jelas, kebijakan energi di negeri ini masih sangat tergantung pada BBM (lebih 50% sumber energi Indonesia masih berasal dari BBM) sehingga saat BBM naik, hampir semua sektor terpukul.

Keadaan ini jelas menunjukkan sangat lemahnya ketahanan energi Indonesia. Mengelola harga BBM memang bukan barang yang mudah bagi siapa pun yang memimpin negeri ini. Dengan produksi minyak yang masih belum bisa di tingkatkan sementara konsumsi minyak justru meningkat secara linier setiap tahunnya, memaksa Indonesia menjadi net importer minyak. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara yang menderita saat harga minyak tinggi, meskipun produksi minyak kita mencapai 950 ribu barel per hari.

Terlepas dari keterkejutan banyak kalangan di mana harga minyak dunia bergerak dengan sangat liar hingga menyentuh batas 126 dolar AS, sebenarnya fenomena tren kenaikan harga minyak sudah jauh-jauh diprediksi oleh banyak analis energi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di Cina dan India serta konsumsi yang tetap besar pada Amerika, Eropa, dan Jepang membuat sedikit saja goncangan pada negara-negara penghasil minyak akan menjadi pemicu bergeraknya harga minyak dunia.

Stephen Leeb, Presiden Leeb Capital Management dan Glen Strathy telah meramalkan kenaikan harga minyak bumi yang menggila dalam bukunya The Economic Collapse, How You Can Thrive When Oil Costs $200 A Barrel (2006). Robert Kiyosaki juga memprediksikan hal ini pada April 2006 saat harga minyak dunia melonjak dari kisaran 55-60 dolar AS per barel menjadi 75 dolar AS per barel untuk pengiriman Juni 2006. Saat itu Kiyosaki menyatakan bahwa krisis ekonomi global akibat harga minyak yang terjadi pada tahun 1973 dan 1979 sangat mungkin terjadi karena harga minyak akan tetap tinggi dan melampaui 100 dolar AS per barel.

Analis energi Goldman Suchs Argun Murti, bahkan memprediksikan pergerakan harga minyak akan terus liar dan sangat mungkin menyentuh level 200 dolar AS per barel, jika kondisi pasar masih seperti ini dalam enam bulan ke depan.

Liarnya harga minyak sebenarnya bukan hal baru. Krisis pertama terjadi pada September 1973, saat negara-negara OPEC menahan produksi minyaknya hingga mencapai 19,8 juta barel per hari. Saat itu terjadi kenaikan harga minyak mencapai lebih dari 300% dari 2,9 dolar AS per barel menjadi 11,65 dolar AS per barel. Krisis minyak kembali terjadi tahun 1979 saat revolusi Iran. Meskipun suplai minyak hanya berkurang 3% dari total pasar minyak dunia, kekhawatiran akan terjadinya gejolak lebih jauh di timur tengah mampu menaikkan harga minyak mencapai 42 dolar AS per barel dari semula 15 dolar AS per barelnya.

Gelombang krisis energi terjadi lagi sebelas tahun kemudian, saat terjadi invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 yang mengganggu 8% dari suplai ke pasar minyak dunia. Terganggunya pengapalan minyak dari kedua negara ini menyebabkan naiknya harga minyak dunia dari sekitar 21,5 dolar AS per barel menjadi 28,30 dolar AS dalam waktu hanya satu bulan, pada Januari hingga Februari 1990.

Krisis minyak terakhir terjadi lagi pada tahun 2005 saat pasokan minyak terganggu karena badai Katrina yang juga menyebabkan beberapa kilang produksi di Amerika rusak dan disusul dengan kerusuhan di negara produsen minyak Nigeria. Kekhawatiran ini menyebabkan naiknya harga minyak dari sekitar 47 dolar AS per barel menjadi 65 dolar AS per barel. Lebih jauh, sesungguhnya tren pergerakan harga minyak sejak 2003 menunjukkan konsistensi kenaikan yang konstan.

Gelombang krisis energi yang disebabkan oleh minyak, sebenarnya merupakan suatu pelajaran berharga bahwa minyak merupakan komoditas yang sangat rentan terhadap terjadinya krisis ekonomi global. Tidak heran, sejak dua krisis minyak di tahun 1973 dan 1979 banyak negara melakukan perubahan besar-besaran kebijakan energi nasionalnya. Diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan energi nasional terhadap suplai minyak bumi menjadi tren baru di banyak negara di samping efisiensi energi (penghematan energi) yang dilakukan secara terstruktur.

Kegagalan energi

Kebijakan energi Indonesia sebenarnya telah memasukkan program diversifikasi energi untuk mengurangi konsumsi minyak bumi dari total konsumsi energi di Indonesia. Berbagai kebijakan energi nasional yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1981, selalu memasukkan program diversifikasi energi sebagai salah satu program utamanya.

Sayangnya, berbagai program diversifikasi energi itu sukar dilihat hasilnya. Kegagalan kebijakan diversifikasi energi di Indonesia terlihat dari lambatnya pertumbuhan energi non-BBM dan masih tingginya konsumsi BBM. Bahkan, konsumsi BBM Indonesia naik terus setiap tahunnya, meskipun besaran persentasenya berkurang terhadap total energi nasional. Konsumsi energi di Indonesia (PIE, 2002) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 pengunaan BBM mencapai 76% dari total energi final nasional, sementara di tahun 2003 BBM masih menyumbang 63%. Jika dikonversi dalam barel per hari, konsumsi minyak Indonesia naik secara signifikan dari hanya 621 ribu barel per hari pada tahun 1990 menjadi 1,132 juta barel per hari di tahun 2003 (BP world energy 2007).

Di lain sisi, gas alam dan batu bara yang diharapkan dapat menjadi sumber energi alternatif di Indonesia mengalami kenaikan yang tidak signifikan dari 10% di tahun 1990 menjadi 17% di tahun 2003 untuk gas alam, dan batubara dari 4,5% di tahun 1990 menjadi hanya 8% di tahun 2003. Keadaan yang jauh berbeda dapat dilihat pada negara tetangga Malaysia yang secara drastis mampu menurunkannya. Dalam rentang waktu hanya tiga tahun, antara tahun 2000 dan 2003, Malaysia mampu menurunkan secara drastis konsumsi minyak bumi dari 53,1% menjadi di bawah 10%, sementara gas bumi naik dari 37,1% menjadi 71%. Batu bara dan PLTA naik dari 4,4% dan 5,4% menjadi 10% dan 11,9% (Abdur Rahman, 2005).

Penghematan energi yang dikeluarkan pemerintah juga masih sebatas retorika saja. Hemat energi yang didengungkan berkali-kali oleh Presiden SBY lebih ditekankan pada pengurangan konsumsi energi pada pengguna akhir energi (end user). Padahal, penghematan pada pengguna akhir energi efektivitasnya jauh lebih rendah daripada efisiensi pada infrastruktur energi seperti pembangkit, transmisi, dan sistem infrastruktur masyarakat lainnya.

Mengutip pendapat Geller 2006 bahwa keberhasilan banyak negara dalam kebijakan penghematan/efisiensi energi ditentukan oleh kesuksesan dalam melakukan penghematan energi pada sistem infrastruktur energi dan sistem pengawasannya. Perlu segera dibuat SOP hemat energi bagi bangunan komersial dan perumahan. Audit energi bagi pembangkit dan industri juga perlu segera dilakukan serta standar efisiensi pengeluaran panas dan energi pada industri juga perlu segera ditetapkan.

Di lain sisi, kebijakan pembangunan negeri ini juga masih belum menunjukkan keberpihakan pada strategi pengurangan BBM dan penghematan energi. Pembangungan infrastruktur masih menghasilkan pemborosan energi dan ketergantungan yang sangat besar pada BBM. Tiga infrastruktur dasar yaitu transportasi, industri, dan pembangkit listrik semuanya masih didominasi oleh BBM.

Sistem transportasi di Indonesia masih belum bertumpu pada sistem transportasi massal. Bahkan, di kota-kota besar pun belum ada sistem transportasi masal yang andal. Pemerintah cenderung membangun jalan tol yang mendorong lahirnya kendaraan pribadi sebagai alat transportasi utama, daripada sistem angkutan masal seperti kereta api.

Sistem distribusi barang di negeri ini juga masih bergantung pada transportasi yang berbasis pada BBM. Tidak heran jika sektor transportasi mengonsumsi jumlah BBM yang sangat besar yang mencapai 47% dari total konsumsi BBM nasional, disusul oleh sektor industri 24%, kemudian baru rumah tangga 18,2% (A.S. Hidayat, 2005).

Kekurangcepatan pemerintah dalam kebijakan energi di atas, ternyata masih dilengkapi dengan buruknya pengelolaan produksi minyak bumi di Indonesia. Inefisiensi dan rendahnya produksi masih menghiasi keseharian pengelolaan minyak bumi di Indonesia. Pertamina yang sempat menjadi perusahaan ternama dunia, justru terpuruk setelah berusia lebih dari 30 tahun.

Berbagai kondisi di atas menunjukkan bahwa pemerintah belum menyadari secara benar bahwa ketergantungan Indonesia pada minyak bumi merupakan bom waktu terjadinya krisis moneter di negeri ini. Kenyataan bahwa krisis APBN yang disebabkan melambungnya harga minyak selama beberapa kali di era pemerintahan SBY, belum disikapi secara serius oleh pemerintah.

Krisis ekonomi karena kenaikan harga minyak dunia masih direspons secara hit and run dengan sebatas mengutak-atik APBN tanpa melakukan perubahan fundamental pada kebijakan energi di Indonesia. Jika ini yang masih terjadi, sebenarnya kita sedang memperbesar bom waktu bagi negeri ini. Tanpa perubahan kebijakan energi secara mendasar, dapat dipastikan rakyat Indonesia akan terus menderita akibat masih liarnya harga minyak dunia. Semoga kenaikan BBM kali ini menjadi penderitaan yang terakhir bagi rakyat ini.***

Penulis, Direktur Eksekutif Indonesia Energy Institute (Indeni), staf pengajar Teknik Fisika ITB.

Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. Perkembangan yang pesat dari industri sel surya (solar sel) di mana pada tahun 2004 telah menyentuh level 1000 MW membuat banyak kalangan semakin melirik sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan ini.

Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69% dari total energi pancaran matahari [1]. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 10 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt [1]. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0.1% saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini [2].

Cara kerja sel surya adalah dengan memanfaatkan teori cahaya sebagai partikel. Sebagaimana diketahui bahwa cahaya baik yang tampak maupun yang tidak tampak memiliki dua buah sifat yaitu dapat sebagai gelombang dan dapat sebagai partikel yang disebut dengan photon. Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan oleh sebuah cahaya dengan panjang gelombang  dan frekuensi photon V dirumuskan dengan persamaan:

E = h.c/

Dengan h adalah konstanta Plancks (6.62 x 10-34 J.s) dan c adalah kecepatan cahaya dalam vakum (3.00 x 108 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan bahwa photon dapat dilihat sebagai sebuah partikel energi atau sebagai gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu [3]. Dengan menggunakan sebuah divais semikonduktor yang memiliki permukaan yang luas dan terdiri dari rangkaian dioda tipe p dan n, cahaya yang datang akan mampu dirubah menjadi energi listrik.

Hingga saat ini terdapat beberapa jenis solar sel yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti untuk mendapatkan divais solar sel yang memiliki efisiensi yang tinggi atau untuk mendapatkan divais solar sel yang murah dan mudah dalam pembuatannya.

Tipe pertama yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti adalah jenis wafer (berlapis) silikon kristal tunggal. Tipe ini dalam perkembangannya mampu menghasilkan efisiensi yang sangat tinggi. Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengembangan silikon kristal tunggal untuk dapat diproduksi secara komersial adalah harga yang sangat tinggi sehingga membuat solar sel panel yang dihasilkan menjadi tidak efisien sebagai sumber energi alternatif. Sebagian besar silikon kristal tunggal komersial memiliki efisiensi pada kisaran 16-17%, bahkan silikon solar sel hasil produksi SunPower memiliki efisiensi hingga 20%[www.sunpowercorp.com]. Bersama perusahaan Shell Solar, SunPower menjadi perusahaan yang menguasai pasar silikon kristal tunggal untuk solar sel.

Jenis solar sel yang kedua adalah tipe wafer silikon poli kristal. Saat ini, hampir sebagian besar panel solar sel yang beredar di pasar komersial berasal dari screen printing jenis silikon poli cristal ini. Wafer silikon poli kristal dibuat dengan cara membuat lapisan lapisan tipis dari batang silikon dengan metode wire-sawing. Masing-masing lapisan memiliki ketebalan sekitar 250・50 micrometer. Jenis solar sel tipe ini memiliki harga pembuatan yang lebih murah meskipun tingkat efisiensinya lebih rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal. Perusahaan yang aktif memproduksi tipe solar sel ini adalah GT Solar, BP, Sharp, dan Kyocera Solar.

Kedua jenis silikon wafer di atas dikenal sabagai generasi pertama dari solar sel yang memiliki ketebalan pada kisaran 180 hingga 240 mikro meter. Penelitian yang lebih dulu dan telah lama dilakukan oleh para peneliti menjadikan solar sel berbasis silikon ini telah menjadi teknologi yang berkembang dan banyak dikuasai oleh peneliti maupun dunia industri. Divais solar sel ini dalam perkembangannya telah mampu mencapai usia aktif mencapai 25 tahun [1]. Modifikasi untuk membuat lebih rendah biaya pembuatan juga dilakukan dengan membuat pita silikon (ribbon si) yaitu dengan membuat lapisan dari cairan silikon dan membentuknya dalam struktur multi kristal. Meskipun tipe sel surya pita silikon ini memiliki efisiensi yang lebih rendah (13-15%), tetapi biaya produksinya bisa lebih dihemat mengingat silikon yang terbuang dengan menggunakan cairan silikon akan lebih sedikit.

Generasi kedua solar sel adalah solar sel tipe lapisan tipis (thin film). Ide pembuatan jenis solar sel lapisan tipis adalah untuk mengurangi biaya pembuatan solar sel mengingat tipe ini hanya menggunakan kurang dari 1% dari bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan baku untuk tipe silikon wafer. Dengan penghematan yang tinggi pada bahun baku seperti itu membuat harga per KwH energi yang dibangkitkan menjadi bisa lebih murah.

Metode yang paling sering dipakai dalam pembuatan silikon jenis lapisan tipis ini adalah dengan PECVD dari gas silane dan hidrogen. Lapisan yang dibuat dengan metode ini menghasilkan silikon yang tidak memiliki arah orientasi kristal atau yang dikenal sebagai amorphous silikon (non kristal). Selain menggunakan material dari silikon, solar sel lapisan tipis juga dibuat dari bahan semikonduktor lainnya yang memiliki efisiensi solar sel tinggi seperti Cadmium Telluride (Cd Te) dan Copper Indium Gallium Selenide (CIGS).

Efisiensi tertinggi saat ini yang bisa dihasilkan oleh jenis solar sel lapisan tipis ini adalah sebesar 19,5% yang berasal dari solar sel CIGS [5]. Keunggulan lainnya dengan menggunakan tipe lapisan tipis adalah semikonduktor sebagai lapisan solar sel bisa dideposisi pada substrat yang lentur sehingga menghasilkan divais solar sel yang fleksibel. Kedua generasi dari solar sel ini masih mendominasi pasaran solar sel di seluruh dunia dengan silikon kristal tunggal dan multi kristal memiliki lebih dari 84% solar sel yang ada dipasaran (lihat Gambar 1) [4].

Gambar 1. Sebaran jenis solar sel yang berada di pasar komersial yang masih didominasi oleh solar sel generasi pertama (World market 2001 by Technology).

Penelitian agar harga solar sel menjadi lebih murah selanjutnya memunculkan generasi ketiga dari jenis solar sel ini yaitu tipe solar sel polimer atau disebut juga dengan solar sel organik dan tipe solar sel foto elektrokimia. Solar sel organik dibuat dari bahan semikonduktor organik seperti polyphenylene vinylene dan fullerene.

Berbeda dengan tipe solar sel generasi pertama dan kedua yang menjadikan pembangkitan pasangan electron dan hole dengan datangnya photon dari sinar matahari sebagai proses utamanya, pada solar sel generasi ketiga ini photon yang datang tidak harus menghasilkan pasangan muatan tersebut melainkan membangkitkan exciton. Exciton inilah yang kemudian berdifusi pada dua permukaan bahan konduktor (yang biasanya di rekatkan dengan organik semikonduktor berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto (photocurrent) [5-6].

Tipe solar sel photokimia merupakan jenis solar sel exciton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang di endapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis solar sel ini sering juga disebut dengan Graetzel sel atau dye-sensitized solar cells (DSSC) [2].

Graetzel sel ini dilengkapi dengan pasangan redok yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan). Komposisi penyusun solar sel seperti ini memungkinkan bahan baku pembuat Graetzel sel lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang sangat sederhana seperti screen printing. Meskipun solar sel generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi dan usia aktif sel yang masih terlalu singkat, solar sel jenis ini akan mampu memberi pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan mengingat hargan dan proses pembuatannya yang sangat murah.

Pertumbuhan teknologi sel surya di dunia memang menunjukkan harapan akan solar sel yang murah dengan memiliki efisiensi yang tinggi. Sayangnya sangat sedikit peneliti di Indonesia yang terlibat dengan hiruk pikuk perkembangan tentang teknologi sel surya ini. Sudah seharusnya pemerintah secara jeli melihat potensi masa depan Indonesia yang kaya akan sinar matahari ini dengan mendorong secara nyata penelitian di bidang energi surya ini.

Daftar Bacaan

1.K. West, Solar Cell Beyond Silicon, Riso International Energy Confrence, 2003.
2.M. Gratzel, Nature 414 (2001) 338.
3.S.M. Sze, Physics of Semiconductor Devices 2nd edition, Chapter 14, John Wiley and Sons 1981.
4.Wikipedia encyclopedia, Solar cell, 2005 (http://en.wikipedia.org/wiki/solar_cell)
5.C. J. Brabec, N.S. Sariciftci, J.C. Hummelen, Advanced Functional Materials, 11 (2001) 15.
6.B.A. Gregg, J. Phys. Chem. B 107 (2003) 4688.

Brian Yuliarto, Peneliti di Energy Technology Research Institute, National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST) Jepang, Doktor dari The University of Tokyo, dan Sekjen ISTECS Chapter Jepang. E-mail: berayen@gmail.com

Pada negara-negara yang telah mengalami kemajuan Iptek, paper ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional merupakan salah satu ukuran penting untuk mengukur kualitas penelitian. Di beberapa negara maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika, jumlah dan kualitas paper ilmiah yang dipublaksikan tersebut bahkan dijadikan salah satu ukuran untuk menentukan berapa besar dana penelitian yang akan diberikan pada laboratorium tersebut. Paper ilmiah dianggap cukup mewakili penilaian kualitas penelitian, mengingat paper tersebut akan diuji oleh para peneliti yang berkompeten di bidangnya sebelum dinyatakan layak untuk dipublikasikan dalam jurnal ilmiah tersebut.

Majalah ternama ilmu pengetahuan Nature terbitan 21 Juli 2005 memuat sebuah artikel menarik tentang perkembangan penelitian yang sangat pesat dari negara-negara di Asia. Data tersebut melaporkan pesatnya pertumbuhan publikasi ilmiah yang ditunjukkan oleh negara di Asia Pasific pada tahun 2004 yang mencapai 25% dari total paper ilmiah yang terbit di seluruh dunia. Jumlah ini jauh meningkat dari tahun 1990 yang hanya sebesar 16%. Meskipun jumlah tersebut masih dibawah Eropa yang mempublikasikan paper sebanyak 38% dan Amerika Serikat sebesar 33% dari total paper ilmiah di dunia, pertumbuhan yang pesat dari negara-negara di Asia pasific merupakan “ancaman” baru bagi Eropa dan Amerika.

Analisis dari National Science Foundation (NSF), sebuah lembaga ilmu pengetahuan bergengsi milik pemerintah Amerika, menyatakan bahwa jumlah peper ilmiah yang dihasilkan oleh Amerika cenderung tetap dari tahun ke tahun dalam dekade terakhir ini, sedangkan negara-negara lain mengalami peningkatan. NSF menyatakan bahwa Cina, Korea Selatan, Singapore, dan Taiwan memiliki pertumbuhan yang paling tinggi dianatara negara-negara Asia lainnya, di samping Jepang yang memang sudah sejak lama memiliki tradisi kuat mempublikasikan paper ilmiah. NSF mencatat pertumbuhan publikasi hasil riset di Cina antara tahun 1998 sampai 2001 mencapai lima kali, Singapura dan Taiwan enam kali, dan Korea Selatan bahkan mencapai 14 kali. Sementara itu Amerika Serikat hanya mencapai 1.1 kalinya dan eropa 1.6, sementara total pertumbuhan di dunia sebesar 1.4 kali.

Kondisi pertumbuhan penelitian yang pesat ini membuat “kekhawatiran” di kalangan peneliti di Eropa bahwa kiblat ilmu pengetahuan akan berpindah ke benua Asia. Komisi Uni Eropa bahkan menyatakan sangat mungkin bagi Eropa untuk gagal memenuhi tujuan-tujuan pengembangan risetnya dengan pertumbuhan seperti ini. Van Bubnoff dalam artikel di majalah Nature bahkan menyatakan jika pertumbuhan riset di negara-negara Asia tetap seperti ini, dalam enam sampai tujuh tahun ke depan diyakini posisi Amerika di tempat kedua akan mampu digeser oleh Asia dalam jumlah publikasi paper ilmiah. Meskipun secara umum kualitas paper ilmiah Asia masih mungkin berada di bawah negara Eropa dan Amerika, kondisi pertumbuhan seperti ini dianggap mampu merangsang dan menciptakan kondisi kondusif bagi peneliti di negara-negara Asia Pasific untuk makin meningkatkan kualitas paper ilmiahnya. Dan bukannya tidak mungkin sedikit demi sedikit kualitas paper ilmiah dari negara Asia pun akan bisa mengungguli hasil riset dari Eropa dan Amerika.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Di tengah kebangkitan negara Asia yang lainnya, yang disebut oleh Nature sebagai paper tigers atau macannya paper ilmiah, prestasi paper ilmiah di Indonesia bisa dikatakan masih memprihatinkan. Sebuah lembaga ilmiah Thomson Scientific yang brbasis di Philadelphia Amerika secara berkala mengeluarkan data paper ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Dari data tersebut didapatkan bahwa jumlah paper ilmiah yang berhasil di publikasikan selama tahun 2004 oleh peneliti di Indonesia (yang berafiliasi dengan lembaga penelitian atau universitas di Indonesia) berjumlah 522 paper ilmiah. Jumlah ini hanya sekitar 1/3 dari paper ilmiah yang hasilkan oleh negara tetangga Malayisa yang berjumlah 1438.

Di antara negara ASEAN Indonesia menduduki peringkat keempat di bawah Singapore dengan 5781 paper, Thailand yang memiliki 2397 paper dan Malaysia. Sementara jika dibandingkan negara-negara maju di Asia jumlah paper Indonesia jelas sangat tertinggal di mana Jepang memiliki 83484 paper, Cina 57740 paper, Korea 24477 paper, dan India 23336 paper. Jumlah dari Indonesia juga hampir sama dengan paper ilmiah dari Vietnam yang memiliki 453 paper selama tahun 2004 tersebut.

Jika kita lihat dari pertumbuhan jumlah paper antara tahun 1990 dan 2004, Indonesia yang pertumbuhan paper ilmiahnya 2.67 ternyata memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Singapura (7), Thailand (4.81), Malaysia (3.89) Singapura (7) dan bahkan Vietnam (3.84). Negara kita hanya menang jika dibandingkan Philipina dan Brunei yang memang sangat sedikit jumlah paper ilmiahnya, yaitu dibawah 50 paper.

Kondisi di atas setidaknya bisa merefleksikan bagaimana kondisi penelitian di Indonesia jika dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia. Adalah realitas bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi pengembangan IPTEK bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di tetangga. Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan dunia penelitian di Indonesia, antara lain:

Pertama, menghidupkan pertemuan ilmiah. Di negara maju seperti Jepang, pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh komunitas ilmiah merupakan hal yang sangat lumrah bahkan bagi mahasiswa S1 dan S2 sekalipun. Selain dapat merangsang semangat meneliti, pertemuan ilmiah oleh komunitas ilmu tertentu akan dapat membantu mahasiswa dan peneliti mengetahui perkembangan terbaru dari riset di bidangnya. Selain itu pertemuan ilmiah yang juga menjadi ajang yang sangat penting untuk terbangunnya kerja sama antar laboratorium.

Kedua, mendorong terjadinya sinergi antar laboratorium. Adalah hal yang kita ketahui bersama bahwa pendanaan merupakan kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerja sama antar laboratoirum juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang sebenrnya telah dilakukan oleh salah satu laboratorium.

Ketiga, mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Saat ini sebenarnya sudah ada beberapa jurnal ilmiah yang dikelola oleh komunitas ilmiah. Meskipun begitu praktis gaungnya tidak terlalu hidup kecuali sebatas pengurus komunitas ilmiahnya, disamping masalah pendanaan yang tidak jarang membuat sebuah jurnal ilmiah kemudian mati suri. Padahal keberadaan sebuah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala merupakan parameter keberadaan riset pada bidang tersebut. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan.

Menghidupkan jurnal ilmiah akan menjadi satu jalan penting untuk kebangkitan IPTEK di Indonesia. Berbagai cara sebenarnya bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini mulai dari dimasukkannya poin penilaian secara khusus bagi peneliti yang mampu mempublikasikan paper di jurnal ilmiah, menjadikan syarat publikasi di jurnal untuk mendapatkan grant ataupun setelah grant penelitian selesai, syarat kelulusan studi S2 dan S3. Pengeloaan jurnal ilmiah secara elektronik melalui internet juga perlu dilakukan untuk mengatasi kendala biaya penerbitan. Di beberapa negara maju syarat seperti di atas ditetapkan kepada mahasiswa selain untuk menambah wawasan mahasiswa tersebut akan bidang yang ditelitinya, juga untuk mengetahui sejauh mana penilaian terhadap hasil penelitiannya dari peneliti lain melalui referee (penguji) dari jurnal ilmiah tersebut.

Keempat, membuat prioritas penelitian. Meskipun dalam rencana strategis IPTEKNAS sudah diletakkan beberapa prioritas pokok Iptek yang akan dikembangkan di Indonesia, tetapi tetap saja arah penelitian yang berkembang baik di universitas maupun di lembaga penelitian belum mampu menciptakan sebuah trade mark tersendiri apa yang menjadi kompetensi bangsa Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang meskipun sudah maju dari sisi penelitian, Singapura tetap memiliki prioritas di bidang Bioteknologi, demikian juga dengan Kuba atapun India yang juga fokus pada Bioteknologi selain IT nya.

Masing-masing peneliti di lembaga penelitian di Indonesia kebanyakan hanya bekerja sendiri tanpa adanya sinergi untuk memfokuskan pada satu bidang yang diteliti. Sehingga wajar kalau kita kesulitan ketika meraba ada di mana kompetensi dari sebuah lembaga riset atau sebuah departemen di universitas misalnya. Kondisi ini bisa jadi disebabkan disebabkan karena masih lemahnya arahan pemerintah tentang fokus penelitian. Pemerinah juga masih terkesan memilih dana penelitian bisa tersebar merata ke banyak kelompok peneliti meskipun akhirnya dana yang relatif kecil tersebut tidak cukup produktif untuk menghasilkan sebuah penelitian yang berkualitas.

Demikianlah beberapa hal yang diharapkan dapat mendorong kemajuan penelitian di Indonesia. Di samping hal-hal di atas, tugas besar untuk memberikan penghargaan bagi para peneliti juga tetap menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk membangkitkan gairah meneliti.

Brian Yuliarto, Alumni Teknik Fisika ITB, Doktor di The University of Tokyo, dan Sekretaris ISTECS Chapter Japan. Email: me@brianyuliarto.com