Gagalnya Kebijakan Energi

June 2, 2008 | |

Artikel ini dimuat dalam Harian Pikiran rakyat 14 Mei 2008

Oleh Brian Yuliarto

Hari-hari menjelang diumumkannya kenaikan harga BBM oleh pemerintah, praktis menjadi hari yang mencemaskan bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diucapkan pada jamuan makan dengan sejumlah tokoh dan asosiasi perempuan di Istana, 18 April lalu, bahwa harga BBM tidak akan naik, seolah menjadi angin surga yang bertiup sangat cepat.

Kecemasan rakyat ini sangat beralasan, mengingat daya beli masyarakat yang belum naik ternyata harus berhadapan dengan berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok. Penyebabnya jelas, kebijakan energi di negeri ini masih sangat tergantung pada BBM (lebih 50% sumber energi Indonesia masih berasal dari BBM) sehingga saat BBM naik, hampir semua sektor terpukul.

Keadaan ini jelas menunjukkan sangat lemahnya ketahanan energi Indonesia. Mengelola harga BBM memang bukan barang yang mudah bagi siapa pun yang memimpin negeri ini. Dengan produksi minyak yang masih belum bisa di tingkatkan sementara konsumsi minyak justru meningkat secara linier setiap tahunnya, memaksa Indonesia menjadi net importer minyak. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara yang menderita saat harga minyak tinggi, meskipun produksi minyak kita mencapai 950 ribu barel per hari.

Terlepas dari keterkejutan banyak kalangan di mana harga minyak dunia bergerak dengan sangat liar hingga menyentuh batas 126 dolar AS, sebenarnya fenomena tren kenaikan harga minyak sudah jauh-jauh diprediksi oleh banyak analis energi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di Cina dan India serta konsumsi yang tetap besar pada Amerika, Eropa, dan Jepang membuat sedikit saja goncangan pada negara-negara penghasil minyak akan menjadi pemicu bergeraknya harga minyak dunia.

Stephen Leeb, Presiden Leeb Capital Management dan Glen Strathy telah meramalkan kenaikan harga minyak bumi yang menggila dalam bukunya The Economic Collapse, How You Can Thrive When Oil Costs $200 A Barrel (2006). Robert Kiyosaki juga memprediksikan hal ini pada April 2006 saat harga minyak dunia melonjak dari kisaran 55-60 dolar AS per barel menjadi 75 dolar AS per barel untuk pengiriman Juni 2006. Saat itu Kiyosaki menyatakan bahwa krisis ekonomi global akibat harga minyak yang terjadi pada tahun 1973 dan 1979 sangat mungkin terjadi karena harga minyak akan tetap tinggi dan melampaui 100 dolar AS per barel.

Analis energi Goldman Suchs Argun Murti, bahkan memprediksikan pergerakan harga minyak akan terus liar dan sangat mungkin menyentuh level 200 dolar AS per barel, jika kondisi pasar masih seperti ini dalam enam bulan ke depan.

Liarnya harga minyak sebenarnya bukan hal baru. Krisis pertama terjadi pada September 1973, saat negara-negara OPEC menahan produksi minyaknya hingga mencapai 19,8 juta barel per hari. Saat itu terjadi kenaikan harga minyak mencapai lebih dari 300% dari 2,9 dolar AS per barel menjadi 11,65 dolar AS per barel. Krisis minyak kembali terjadi tahun 1979 saat revolusi Iran. Meskipun suplai minyak hanya berkurang 3% dari total pasar minyak dunia, kekhawatiran akan terjadinya gejolak lebih jauh di timur tengah mampu menaikkan harga minyak mencapai 42 dolar AS per barel dari semula 15 dolar AS per barelnya.

Gelombang krisis energi terjadi lagi sebelas tahun kemudian, saat terjadi invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 yang mengganggu 8% dari suplai ke pasar minyak dunia. Terganggunya pengapalan minyak dari kedua negara ini menyebabkan naiknya harga minyak dunia dari sekitar 21,5 dolar AS per barel menjadi 28,30 dolar AS dalam waktu hanya satu bulan, pada Januari hingga Februari 1990.

Krisis minyak terakhir terjadi lagi pada tahun 2005 saat pasokan minyak terganggu karena badai Katrina yang juga menyebabkan beberapa kilang produksi di Amerika rusak dan disusul dengan kerusuhan di negara produsen minyak Nigeria. Kekhawatiran ini menyebabkan naiknya harga minyak dari sekitar 47 dolar AS per barel menjadi 65 dolar AS per barel. Lebih jauh, sesungguhnya tren pergerakan harga minyak sejak 2003 menunjukkan konsistensi kenaikan yang konstan.

Gelombang krisis energi yang disebabkan oleh minyak, sebenarnya merupakan suatu pelajaran berharga bahwa minyak merupakan komoditas yang sangat rentan terhadap terjadinya krisis ekonomi global. Tidak heran, sejak dua krisis minyak di tahun 1973 dan 1979 banyak negara melakukan perubahan besar-besaran kebijakan energi nasionalnya. Diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan energi nasional terhadap suplai minyak bumi menjadi tren baru di banyak negara di samping efisiensi energi (penghematan energi) yang dilakukan secara terstruktur.

Kegagalan energi

Kebijakan energi Indonesia sebenarnya telah memasukkan program diversifikasi energi untuk mengurangi konsumsi minyak bumi dari total konsumsi energi di Indonesia. Berbagai kebijakan energi nasional yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1981, selalu memasukkan program diversifikasi energi sebagai salah satu program utamanya.

Sayangnya, berbagai program diversifikasi energi itu sukar dilihat hasilnya. Kegagalan kebijakan diversifikasi energi di Indonesia terlihat dari lambatnya pertumbuhan energi non-BBM dan masih tingginya konsumsi BBM. Bahkan, konsumsi BBM Indonesia naik terus setiap tahunnya, meskipun besaran persentasenya berkurang terhadap total energi nasional. Konsumsi energi di Indonesia (PIE, 2002) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 pengunaan BBM mencapai 76% dari total energi final nasional, sementara di tahun 2003 BBM masih menyumbang 63%. Jika dikonversi dalam barel per hari, konsumsi minyak Indonesia naik secara signifikan dari hanya 621 ribu barel per hari pada tahun 1990 menjadi 1,132 juta barel per hari di tahun 2003 (BP world energy 2007).

Di lain sisi, gas alam dan batu bara yang diharapkan dapat menjadi sumber energi alternatif di Indonesia mengalami kenaikan yang tidak signifikan dari 10% di tahun 1990 menjadi 17% di tahun 2003 untuk gas alam, dan batubara dari 4,5% di tahun 1990 menjadi hanya 8% di tahun 2003. Keadaan yang jauh berbeda dapat dilihat pada negara tetangga Malaysia yang secara drastis mampu menurunkannya. Dalam rentang waktu hanya tiga tahun, antara tahun 2000 dan 2003, Malaysia mampu menurunkan secara drastis konsumsi minyak bumi dari 53,1% menjadi di bawah 10%, sementara gas bumi naik dari 37,1% menjadi 71%. Batu bara dan PLTA naik dari 4,4% dan 5,4% menjadi 10% dan 11,9% (Abdur Rahman, 2005).

Penghematan energi yang dikeluarkan pemerintah juga masih sebatas retorika saja. Hemat energi yang didengungkan berkali-kali oleh Presiden SBY lebih ditekankan pada pengurangan konsumsi energi pada pengguna akhir energi (end user). Padahal, penghematan pada pengguna akhir energi efektivitasnya jauh lebih rendah daripada efisiensi pada infrastruktur energi seperti pembangkit, transmisi, dan sistem infrastruktur masyarakat lainnya.

Mengutip pendapat Geller 2006 bahwa keberhasilan banyak negara dalam kebijakan penghematan/efisiensi energi ditentukan oleh kesuksesan dalam melakukan penghematan energi pada sistem infrastruktur energi dan sistem pengawasannya. Perlu segera dibuat SOP hemat energi bagi bangunan komersial dan perumahan. Audit energi bagi pembangkit dan industri juga perlu segera dilakukan serta standar efisiensi pengeluaran panas dan energi pada industri juga perlu segera ditetapkan.

Di lain sisi, kebijakan pembangunan negeri ini juga masih belum menunjukkan keberpihakan pada strategi pengurangan BBM dan penghematan energi. Pembangungan infrastruktur masih menghasilkan pemborosan energi dan ketergantungan yang sangat besar pada BBM. Tiga infrastruktur dasar yaitu transportasi, industri, dan pembangkit listrik semuanya masih didominasi oleh BBM.

Sistem transportasi di Indonesia masih belum bertumpu pada sistem transportasi massal. Bahkan, di kota-kota besar pun belum ada sistem transportasi masal yang andal. Pemerintah cenderung membangun jalan tol yang mendorong lahirnya kendaraan pribadi sebagai alat transportasi utama, daripada sistem angkutan masal seperti kereta api.

Sistem distribusi barang di negeri ini juga masih bergantung pada transportasi yang berbasis pada BBM. Tidak heran jika sektor transportasi mengonsumsi jumlah BBM yang sangat besar yang mencapai 47% dari total konsumsi BBM nasional, disusul oleh sektor industri 24%, kemudian baru rumah tangga 18,2% (A.S. Hidayat, 2005).

Kekurangcepatan pemerintah dalam kebijakan energi di atas, ternyata masih dilengkapi dengan buruknya pengelolaan produksi minyak bumi di Indonesia. Inefisiensi dan rendahnya produksi masih menghiasi keseharian pengelolaan minyak bumi di Indonesia. Pertamina yang sempat menjadi perusahaan ternama dunia, justru terpuruk setelah berusia lebih dari 30 tahun.

Berbagai kondisi di atas menunjukkan bahwa pemerintah belum menyadari secara benar bahwa ketergantungan Indonesia pada minyak bumi merupakan bom waktu terjadinya krisis moneter di negeri ini. Kenyataan bahwa krisis APBN yang disebabkan melambungnya harga minyak selama beberapa kali di era pemerintahan SBY, belum disikapi secara serius oleh pemerintah.

Krisis ekonomi karena kenaikan harga minyak dunia masih direspons secara hit and run dengan sebatas mengutak-atik APBN tanpa melakukan perubahan fundamental pada kebijakan energi di Indonesia. Jika ini yang masih terjadi, sebenarnya kita sedang memperbesar bom waktu bagi negeri ini. Tanpa perubahan kebijakan energi secara mendasar, dapat dipastikan rakyat Indonesia akan terus menderita akibat masih liarnya harga minyak dunia. Semoga kenaikan BBM kali ini menjadi penderitaan yang terakhir bagi rakyat ini.***

Penulis, Direktur Eksekutif Indonesia Energy Institute (Indeni), staf pengajar Teknik Fisika ITB.


Comments



Name (required)

Email (required)

Website

Speak your mind