What is this? From this page you can use the Social Web links to save Gagasan tentang ‘Gamelan Bali’ International Concert Hall to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
May 30, 2008

Gagasan tentang ‘Gamelan Bali’ International Concert Hall

Posted in: Akustik, Akustika Arsitektur, Gamelan, Musik Tradisional Indonesia, Perancangan Akustik, Tulisan

Esplanade - Singapore (www.artec.usa.com)

Gagasan tentang ‘Gamelan Bali‘ International Concert Hall

I Gde Nyoman Merthayasa (Teknik Fisika ITB)

Dipresentasikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali XXVIII-2006,

Senin / 10 Juli 2006 di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar

Pendahuluan

Sudah umum kita ketahui, bahwa Indonesia memiliki keragaman kekayaan budaya yang luar biasa, bahkan bisa dikatakan tidak ada negara manapun yang memiliki keragaman yang sedemikian bervariasinya. Keragaman budaya Indonesia ini berakar kepada budaya lokal, daerah bahkan suku bangsa yang akhirnya biasa dikatakan sebagai budaya etnis Indonesia. Keragaman budaya itu bisa jadi berasal dari keragaman bahasa, keragaman ekspresi seni, bahkan sampai kepada keragaman ‘the way of thinking’ dan juga ‘the way of life’nya. Adanya keragaman budaya ini tidak terjadi begitu saja, tetapi sudah melalui proses sejarah yang sebenarnya sudah berusia ratusan bahkan mungkin saja ribuan tahun, meskipun sebagai suatu kesatuan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia keragaman budaya tersebut baru berusia 60 tahun sebelas bulan. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kita semua, siapapun kita ini, berusaha semaksimal mungkin untuk ikut melestarikan, menjaga, meningkatkan kualitasnya dan juga memperkaya budaya kita ini.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, budaya musik tradisional di Indonesia inipun memiliki keragaman juga, dan semuanya itu juga sudah dimiliki oleh bangsa ini sejak puluhan bahkan ratusan tahun pula. Sebagai contoh, di Pulau Jawa saja ada seni musik Gamelan Jawa, Gamelan Sunda, Keroncong dan sebagainya. Sementara di Balipun ada musik Gamelan Bali, yang memiliki variasi yang cukup beragam. Tentang keragaman musik ini, terutama sekali keragaman Musik Gamelan Bali, kita persilahkan kepada para seniman dan budayawan di Bali untuk membahas dan menceritakan kelengkapannya.

Pada kesempatan ini, penulis hanya ingin memperkaya khasanah wacana tentang usaha-usaha yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kualitas musik-musik tradisional Indonesia ini. Terutama sekali, dalam kesempatan ini penulis ingin membahas bagaimana upaya kita agar Musik Gamelan Bali dapat meningkat kualitasnya sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri/’confidence’ dan juga ‘prideness’ yang tinggi kepada seniman2 musik Gamelan Bali ini dan juga masyarakatnya. Lebih jauh lagi, penulis hanya akan membahasnya dari ilmu akustik, yaitu ilmu yang membahas tentang fenomena dari gelombang suara dan segala kaitan fisikanya termasuk hubungannya dengan manusia, material-material pembentuk gelombang suara ataupun sumber suaranya, penjalaran dan juga hubungannya dengan bangunan, ruangan bahkan juga arsitektur baik interior maupun eksterior. Termasuk juga di dalam hal ini, persepsi manusia itu sendiri kepada suara, baik itu suara yang dinginkan maupun suara yang tidak diinginkannya (noise).

Akustik, Musik dan Arsitektur.

Sebelum melangkah ke pembicaraan selanjutnya, terlebih dahulu mungkin perlu dijelaskan tentang ilmu akustik itu sendiri, terutama sekali tentang gelombang suara, bagaimana terjadinya, penjalarannya melalui medium atau ruangan sampai kemudian terdengar oleh pendengarnya.

Secara umum dan sederhana ilmu akustik itu dapat digambarkan dan dijelaskan dengan mengunakan Gambar 1. Disini digambarkan suara dihasilkan oleh orang berupa suara percakapan ataupun nyanyian. Suara manusia ini dihasilkan karena getaran pita suara orang itu sendiri.

Gambar 1. Komponen-komponen pembentuk gelombang suara

Gelombang suara adalah gelombang mekanis yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang biasa disebut sumber suara kemudian getaran itu merambat melalui medium udara, medium padat atau juga cair sebelum sampai ke penerima. Pada umumnya gelombang suara ini dipersepsi oleh manusia setelah merambat melalui medium udara. Keberadaan ketiga komponen itu, yaitu sumber getaran/suara, medium dan penerima mutlak diperlukan sehingga tanpa adanya salah satu dari ketiga komponen ini maka dikatakan suara itu tidak ada. Berbeda dengan apa yang disebut gelombang elektromagnetik, gelombang suara ini mutlak memerlukan medium, yang umum adalah medium udara, sehingga di ruang hampa udara tidak akan terjadi gelombang suara.

Dalam kaitannya dengan manusia, ketiga komponen suara itu memiliki karakteristik yang pada umumnya bersifat subjektif dan juga objektif. Karteristik subjektifnya disebabkan karena persepsi manusia sendiri yang memiliki ‘inter individual difference’. Sebagai contoh, seorang pemain gitar bisa mengatakan dia lebih suka memainkan gitar jenis A dibandingkan dengan Gitar jenis B. Seorang ‘audiophile’ bisa mengatakan dia lebih menyukai Speaker X dibanding dengan Speaker Z. Seorang konduktor orkestra bisa menyatakan dia lebih suka memainkan konser di gedung konser A dibandingkan dengan di gedung konser B. Atau seorang yang awampun bisa mengatakan bahwa dia lebih suka mendengarkan musik dari jenis A dibandingkan dengan musik jenis B.

Sementara itu, karakteristik objektifnya pada umumnya ditentukan oleh karakteristik fisikanya misalnya frekwensi, pitch, timbre, loudness, dinamiknya dan sebagainya. Karakteristik objektif ini pada umumnya dapat diukur dengan peralatan ukur fisika yang biasa disebut alat ukur akustik, sementara karakteristik subjektifnya hanya dapat ditentukan melalui penelitian psycho-acoustics dan juga physio-acoustics yang melibatkan orang atau manusia sebagai alat ukurnya.

Di suatu ruang, apakah itu ruang terbuka maupun tertutup, maka secara umum medan suara yang terjadi dan didengarkan oleh seorang pendengar dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 2.

Gambar 2. Medan suara di dalam ruangan

Di dalam setiap ruangan, maka sinyal suara yang dihasilkan oleh sumber suara akan diterima oleh pendengar atau penerima suara, setelah sinyal suara tersebut menjalar di dalam ruangan. Sinyal suara ini akan mengalami semua proses penjalaran gelombang mekanis di dalam ruangan seperti pantulan, penyerapan dan transmisi oleh permukaan ruangan disamping juga pembelokan gelombang suara oleh permukaan tertentu. Pada posisi penerima, sinyal suara dari sumber suara tersebut diterima dalam bentuk suara langsung dinyatakan dengan L pada Gambar 2, suara pantulan yang dinyatakan dengan P dan juga suara dengung yang dinyatakan dengan D. Akibat sifat penjalaran suara yang berupa penjalaran gelombang mekanis dengan kecepatan penjalaran yang jauh-jauh lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan cahaya, maka pada penerimaan ketiga jenis suara tadi akan diterima dengan susunan waktu yang berbeda-beda.

Perlu juga dipahami bahwa sifat penjalaran dan juga karakteristik dari material-material permukaan ruangan sangat dipengaruhi oleh frekuensi, demikian juga dengan kemampuan sistem pendengaran manusia. Misalnya suara dengan frekuensi tinggi lebih mudah dipantulkan dan juga diserap dibanding dengan frekuensi rendah. Sementara itu, sumber suarapun memiliki karakteristik frekuensi tertentu disamping memiliki karakteristik arah yang tertentu pula. Karakteristik arah inipun juga turut mempengaruhi medan suara yang diterima oleh pendengar. Disisi lain, pendengar yaitu manusia juga memiliki sistem pendengaran yang memiliki karakteristik sedemikian rupa, misalnya manusia memiliki dua telinga yang posisinya sedemikian rupa sehingga telinga kiri dan telinga kanan akan menerima sekeuensial waktu dari sinyal suara yang berbeda. Karakteristik inilah yang menghasilkan kesan ‘stereo’ dan juga kemampuan manusia untuk menentukan arah dari sumber cahaya.

Secara objektif, medan suara yang diterima oleh pendengar di dalam suatu ruang/space dari suatu sumber tertentu ditentukan oleh empat parameter yaitu :

1. Tingkat pendengaran (listening level), biasanya besaran ini dinyatakan dengan besaran dBA.

2. Waktu tunda pantulan awal (initial delay time), yaitu waktu tunda yang terjadi antara suara langsung dan suara pantulan,

3. Waktu dengung subsequent (subsequent reverberation time), yaitu waktu dengung yang berhubungan satu-satu dengan posisi sumber suara dan penerima dan

4. Korelasi silang sinyal antar kedua telinga (inter-aural cross correlation, IACC), yaitu besaran yang menyatakan adanya perbedaan sinyal suara yang diterima di telinga kiri dan kanan pendengar.

Keempat faktor tersebut adalah besaran-besaran fisika dimana tiga faktor pertama disebut juga faktor temporal karena sifatnya yang dipengaruhi oleh waktu dan juga dipengaruhi oleh frekuensi. Sementara faktor keempat adalah faktor spatial, yang dihasilkan karena karakteristik dari ruangan/space. Dimanapun medan suara itu berada apakah itu di dalam ruangan tertutup / terbuka, ataupun diluar ruangan seperti di ‘open theatre’ misalnya, keempat parameter tersebut selalu ada meskipun nilai besarannya berbeda-beda.

Disisi lain, karakteristik sinyal suara yang dihasilkan oleh sumber suara juga menentukan kondisi medan suara yang dihasilkan oleh suatu ruang. Sebagai contoh karakteristik suara penyanyi pria berbeda dengan karakteristik penyanyi wanita. Contoh yang lain adalah karakteristik musik klasik berbeda dengan musik tradisional Indonesia, terutama sekali dengan musik Gamelan Bali. Karena perbedaan karakteristik sinyal suara dari sumber inilah maka ada suatu ruangan yang disebut ruang auditorium dimana pada umumnya karakteristik sinyal sumber suaranya hanya berupa suara pembicaraan, pidato, presentasi dan sebagainya, atau bisa dikatakan sumber suaranya berasal dari suara manusia. Sementara itu ruang konser adalah ruang yang dipakai untuk mempegelarkan musik konser. Ruang opera adalah ruang yang digunakan untuk pegelaran opera yaitu kombinasi antara suara nyanyian pemain opera, pembicaraan dan suara musik. Disamping berbeda dari namanya dan pemanfaatannya, karakteristik arsitektur interior masing-masing ruangpun memiliki tuntutan yang berbeda-beda.

Berbeda-bedanya arsitektur interior dari masing-masing ruang tersebut salah satunya disebabkan oleh tuntutan dari sisi akustiknya. Tuntutan persyaratan akustik yang baik dari masing-masing ruang ditentukan oleh ‘preferensi’ dari manusia/penonton atau pendengarnya. Untuk memperoleh ‘preferensi’ tentang akustik ruangan yang baik dapat dilakukan dengan melakukan penelitian ‘psycho-acoustics’, dimana hasilnya pun dapat di ‘cross check’ dengan memanfaatkan hasil penelitian ‘physio-acoustics’. Salah satu bentuk penelitian yang dihasilkan oleh penelitian ‘physio-acoustics’ adalah adanya ‘brain-wave’ akibat dari stimulus berupa sinyal suara. Di dalam salah satu paper yang dipublikasikan oleh seorang peneliti dari Jepang, ditunjukkan bahwa musik Gamelan Bali merupakan salah satu jenis musik yang dapat membangkitkan ‘gelombang alpha’ (yaitu bagian dari ‘brain-wave’ yang menunjukkan ketinggian tingkat ‘rilaksasi’ dari manusia) dengan intensitas paling kuat. Disamping itu, keberadaan ‘hemisphere’(belahan otak manusia) bagian kiri dan kanan, yang juga menghasilkan perbedaan fungsional persepsi yang salah satunya juga akibat dari persepsi temporal dan persepsi spatial, ikut menentukan persepsi manusia kepada musik itu sendiri.

Dari penjelasan secara singkat di atas dapat diketahui bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara musik dengan akustik, disamping karena sifat dasar objektifnya juga akibat adanya faktor penilaian yang bersifat subjektif, terutama sekali dari sisi pemusik, penonton/pendengar sampai kepada perancang arsitektur dari ‘space’ itu sendiri. Keterkaitan tersebut menjadi sangat dominan pengaruhnya jika dihubungkan dengan ‘intention’ dari ‘audience’ dari ‘space’ tersebut. Jika diharapkan bahwa mendengarkan musik adalah ‘the main intention of the audience’ maka faktor akustika dari ruangan tersebut semestinya menjadi prioritas utama bagi arsiteknya. Dengan menterjemahkan besaran-besaran parameter akustik optimum dari persepsi subjektif ‘audience’ maka arsitek dapat merancang kondisi interior ruangan sehingga dapat memenuhi tuntutan akustik atas musik yang akan dimainkan di dalam ruangan tersebut. Konsep inilah yang dapat dimanfaatkan untuk merancang Gedung Konser Musik Gamelan Bali.

Karakteristik Gedung Konser

Photo di atas adalah photo dari Sidney Opera House yang cukup terkenal dan terletak di kota Sidney Australia. Bangunan ini dapat dikatakan menjadi land-mark dari kota Sidney, bahkan bisa dikatakan menjadi land-mark bagi benua Australia itu sendiri. Bangunan ini juga bersifat sebagai monument, yaitu bangunan yang menandakan kebangkitan atau juga bisa dikatakan peningkatan kualitas budaya bagi Australia. Disamping itu, bangunan ini juga sarat dengan pesan-pesan budaya jika dilihat dari bentuknya yang sangat unik sehingga menjadi ciri khas dari budaya Australia. Disisi lain juga dapat dikatakan, bangunan ini juga sarat dengan keterlibatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat menimbulkan ‘confidency’ dan juga ‘pridness’ bagi masyarakat Australia pada umumnya dan khususnya bagi seniman dan budayawan Australia. Disamping itu, keberadaan bangunan inipun menimbulkan dan membangkitkan kesan tentang civilized nya kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Australia. Tetapi perlu juga untuk ditekankan bahwa objektif dari keberadaan Sidney Opera House ini adalah sebagai tempat dimana penonton dapat mendengarkan dan juga menonton pertunjukan musik dan opera dengan kondisi sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan penonton tidak akan pernah mendengarkan kondisi fisika medan suara yang sama dimanapun dan kapanpun.

Contoh lain lagi adalah Gedung Konser Dewan Philharmonik Malaysia, yang posisinya berada pada jembatan antara kedua Gedung Menara Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam hal gedung konser ini, maka Menara Petronas itulah yang menjadi ‘landmark’nya, sementara gedung konsernya sendiri merupakan bagian dari gedung ini. Sementara Gedung Konser Kirishima yang terletak di bagian utara dari pulau Kyushu, Jepang, arsitektur luarnya mengambil bentuk seperti perahu. Gedung konser ini sudah dibangun dengan memanfaatkan teknologi perancangan arsitektur dengan memanfaatkan teknologi komputer. Akustik ruangan konsernya juga dirancang dengan memanfaatkan simulasi akustik menggunakan komputer, sehingga kondisi medan suara yang dihasilkannya dapat dikatakan mendekati kondisi ‘ideal’ yang diinginkan.

Salah satu gedung konser musik klasik yang terkenal di Inggris adalah Royal Albert Hall, di London yang selesai dibangun pada tahun 1871. Gedung konser ini mampu menampung penonton sebanyak 5080 orang yang duduk di kursi dan 1000 orang penonton berdiri. Sampai saat ini gedung konser ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan juga perbaikan di bagian interiornya agar mampu menghasilkan kondisi medan suara yang lebih baik bagi penontonnya. Berbagai jenis kendala akustik yang terjadi di dalam gedung ini, ikut memberikan sumbangan kepada perkembangan ilmu akustik untuk gedung-gedung konser yang baru dibangun sesudahnya.

Kompleks Gedung Esplanade yang dibangun oleh Pemerintah Singapore, dimaksudkan untuk menjadi komplek seni pertunjukkan yang ambisius, dibangun diatas tanah hasil reklamasi laut pada tahun 1992 dan selesai pada tahun 2002. Komplek seni ini memiliki fasilitas gedung konser dengan kapasitas 1600 tempat duduk, Convention /Theatre hall dengan kapasitas 2000 tempat duduk, recital hall dengan kapasitas 750 tempat duduk dan gedung theatre berkapasitas 200 tempat duduk. Jika dilihat dari luarnya, maka gedung konser Esplanade mirip dengan ‘durian raksasa’ sehingga sering disebut sebagai ‘Gedung Durian’ oleh wisatawan dari Indonesia. “The 2000-seat theatre is designed for the presentation of traditional Asian and Western performing arts as well as the most advanced multimedia presentation”, demikian yang dituliskan pada websitenya The Esplanade.

Gedung Konser Musik Gamelan Bali

Kembali ke topik tentang musik gamelan Bali, pertanyaan yang sudah pernah terlontar melalui media cetak Balipost adalah apakah musik gamelan Bali memerlukan Gedung Konser. Secara teknis dan teknologi, baik itu dari sisi arsitektur maupun dari sisi akustiknya sendiri, kita sangat yakin dan juga memiliki kepercayaan diri bahwa kita mampu untuk mewujudkannya. Sementara itu dari sisi budaya nya sendiri sudah semestinya mampu untuk menjawab tantangan tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan kesiapan kondisi sosial, lingkungan, politik, ekonomi bahkan sampai ke sisi keamanan sekalipun. Mengingat sedemikian banyaknya parameter yang akan menentukan tentang pengambilan keputusan untuk membangun Gedung Konser Musik Gamelan Bali ini, maka perlu diadakan koordinasi secara integral diantara semua ‘stake holder’ misalnya melalui seminar, saresehan ataupun sosialisasi langsung ke masyarakat sehingga tidak terjadi distorsi tentang objektif yang sebenarnya. Disisi lain, untuk bisa menuju ke keputusan akhir tersebut sudah semestinya dilakukan evaluasi diri secara mendalam, realistis dan objektif tentang kondisi kekuatan, kelemahan, tantangan dan kesempatan yang saat ini dimiliki oleh budaya seni musik (bahkan juga seni tari dan seni pertunjukkan lainnya) Gamelan Bali itu sendiri.

Mengingat keragaman seni pertunjukkan yang dimiliki oleh masyarakat Bali ini, perlu juga diperhatikan dan diberikan skala prioritas pelaksanaan pembangunannya. Apakah mesti langsung membangun gedung konser atau terlebih dahulu membangun gedung opera (misalnya untuk seni drama gong atau sendratari), atau gedung resital (misalnya untuk pertunjukkan musik angklung) atau malahan tidak perlu membangun gedung baru terlebih dahulu tetapi melakukan renovasi terhadap gedung pertunjukan yang sudah ada (misalnya memanfaatkan ruang auditorium sebagai model pengembangan gedung konser untuk musik gong kebyar) atau malahan melakukan renovasi terhadap gedung kesenian yang ada. Hal terakhir ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, dengan merencanakan untuk melakukan renovasi akustik Gedung Sultan Suriansyah yang berujung kepada renovasi secara keseluruhan dari gedung tersebut. Renovasinya meliputi penggantian bahan atap gedung sehingga kedap terhadap ruang, renovasi langit-langit, dinding, dan juga panggung sehingga cacat akustik dari gedung ini dapat ditanggulangi, termasuk juga dengan pemasangan AC secara keseluruhan. Meskipun gedung ini tidak digunakan untuk konser musik klasik atau musik ‘alami’ lainnya, sebagai gedung serba guna (multi purpose hall) gedung ini diharapkan sudah dapat menunjang pertunjukkan dengan memanfaatkan sarana sistem tata suara yang baik dan benar.

Jika Gedung Konser Musik Gamelan Bali memang mau diwujudkan, maka konsep sustainability-nya juga perlu disusun secara teliti dan bersifat jangka panjang, dimana hal ini juga sangat memungkinkan untuk dikaitkan dengan industri pariwisata. Disisi lain, pengaruh perkembangan industri elektronik yang berhubungan dengan multi-media, informasi dan komunikasi, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan hak atas kekayaan ilmiah (HAKI) dan hak cipta, mesti memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh karena hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang tidak positif bagi perkembangan kreativitas dan inovasi dari para seniman musik gamelan Bali.

Model bagi Pengembangan Musik Tradisional lainnya

Jika implementasi rancangan Gedung Konser Musik Gamelan Bali secara integral berhasil diwujudkan dan pada perjalanannya berhasil untuk meningkatkan kualitas seni musiknya termasuk dapat memberikan peningkatan ‘confidency’, ‘prideness’, kreativitas, inovasi bahkan juga dapat meningkatkan kesejahteraan para senimannya disamping juga masyarakatnya, maka keberadaan Gedung Konser Musik Gamelan Bali ini bisa menjadi model bagi pengembangan seni musik tradisional lainnya di Indonesia. Sebagai contoh, sangat memungkinkan untuk dikembangkannya gedung konser musik Gamelan Jawa, Gamelan Sunda, Gedung Opera Wayang Orang, Gedung Konser Sendratari Ramayana, Gedung Konser musik Kolintang, musik Angklung Bambu dan sebagainya. Bahkan, misalnya di masing-masing Ibu kota provinsi mungkin perlu untuk memiliki gedung yang representatif untuk menunjang pertunjukan musik khas daerahnya. Dengan demikian keragaman budaya seni musik tradisional inipun tetap terjaga kelestariannya sehingga secara keseluruhan juga dapat meningkatkan budaya Nasional dan identitas lokal maupun Nasional yang secara keseluruhan akan dapat menimbulkan pencerahan budi yang berujung pada peningkatan semangat persatuan Bangsa Indonesia. Semoga… dan semoga….

Pustaka :

1. Leo Beranek, ‘Concert and Opera Halls : How they sound’, Acoustical Society of America, American Institute of Physics, 1996.

2. Yoichi Ando, ‘Concert Hall Acoustics’, Springer-Verlag, Berlin, 1985.

3. Yoichi Ando, ’Architectural Acoustics, Blending Sound Sources, Sound Fields and Listeners’, Modern Acoustics & Signal Processing, Springer-Verlag AIP Press, New York, 1998.

4. I G.N. Merthayasa, et al, ‘Spatial Factor of sound fields for Gamelan Bali Concert Hall’, International Congress on Acoustics, Rome, 2001.

5. I G.N. Merthayasa, ‘The autocorrelation function of sound at each seat in a hall- Music & Concert Hall Acoustics’, London. Proceedings from International Symposium, Eds. by Y. Ando and D. Noson, Academic Press, 1996.




Return to: Gagasan tentang ‘Gamelan Bali’ International Concert Hall