What is this? From this page you can use the Social Web links to save Merdeka Lewat Seni to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
August 24, 2008

Merdeka Lewat Seni

Posted in: Acoustics, Akustik, Berita, Gamelan, Musik Tradisional Indonesia, Tulisan

Saya jadi teringat dengan apa yang pernah dinasihatkan oleh almarhum kakek saya : Kalau mau dihargai oleh orang lain, maka hargai dulu diri kamu sepantasnya..

Apakah kita sudah berusaha untuk menghargai ‘budaya tradisional yang kita miliki’…?

Tulisan dari Kompas

Kelompok gamelan teater Margasari asal Jepang pementaskan “Momotaro” (The Peach Boy) di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (23/8). “Momotaro” merupakan cukilan cerita anak-anak yang cukup populer di Jepang, bercerita tentang seorang anak melawan raksasa. Pertunjukan yang memadukan seni tradisi Jawa dan Jepang tersebut akan digelar juga di Yogyakarta dan Surabaya.

Merdeka Lewat Seni

KOMPAS/ILHAM KHOIRI / Kompas Images
Masyara kat di Dusun Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi, Magelang, sedang menonton wayang bocah, Minggu (17/8) malam. Seni tradisional tetap digemari untuk memperingati kemerdekaan.

Minggu, 24 Agustus 2008 | 03:00 WIB

ilham khoiri & regina rukmorini

Masyarakat pegunungan di Magelang, Jawa Tengah, selalu menunggu 17 Agustusan. Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia dijadikan ajang terbuka untuk menggelar pentas seni. Lewat bermacam bentuk seni yang serba ”ndeso”, mereka menyegarkan jati dirinya, sekaligus menyemai spirit kemerdekaan pada level kehidupan sehari-hari yang sangat nyata.

Minggu (17/8) itu adalah hari istimewa bagi Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang. Seusai magrib, warga di lereng Gunung Merapi itu berkumpul di Padepokan Cipta Budaya yang berdiri gagah di tengah kampung. Mereka menggelar doa bersama, mencicipi makanan ala kadarnya, lantas bersiap menonton wayang bocah dan ketoprak.

Malam itu, wayang bocah mementaskan lakon Cupu Manik Astagina, sedangkan ketoprak menyuguhkan cerita Joko Kendil. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semuanya mengerumuni pentas yang digelar hingga dini hari itu. Saat adegan perang berkecamuk atau muncul guyonan dari punakawan, mereka tertawa gembira.

”Kami selalu merayakan kemerdekaan dengan pertunjukan seni tradisi,” kata Darto Sari (83), sesepuh Dusun Tutup Ngisor.

Tak jauh dari situ, di Dusun Kemiri Ombo, berlangsung pula perayaan serupa. Ratusan warga berjubel di lapangan kecil di tengah kampung. Mereka menyaksikan pentas topeng ireng yang dibawakan para penari berkostum hitam-hitam mirip orang Indian. Saat penari berjoget aneh atau muncul penari gadis cantik, penonton berteriak-teriak gembira.

Perayaan lebih meriah terjadi Minggu pagi di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur. Di kebun pinggir sungai dekat rumah Sutanto, penggiat seni rakyat, belasan kelompok seni berkumpul sejak pagi buta. Mereka berasal dari Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Bukit Menoreh—yang biasa menamakan diri komunitas Lima Gunung.

Ketika para pejabat sibuk berseremoni resmi, kelompok seniman itu menggelar upacara sendiri. Upacara dengan iringan gamelan itu dikomandoni pematung dari Merapi, Ismanto (39), dan dengan inspektur seniman rakyat dari Gunung Merbabu, Timbul (45). Bendera Merah-Putih diikat sekenanya di cabang pohon.

Seusai upacara, mereka berpesta seni. Warga Dusun Gejayan dari Merbabu memainkan tari soreng-grasak yang menampilkan penari bertopeng raksasa yang seram. Warga Dusun Warangan, juga dari Merbabu, muncul dengan topeng ireng. Warga Dusun Krandegan dari Gunung Sumbing membawakan tari monyet wanara arga dengan topeng sabut kelapa.

Warga Keron dari Merapi menyuguhkan tari topeng saujana dengan bentuk topeng mirip kepala serangga. Masih dari Merapi, warga Dusun Marga Tantra menampilkan reog dengan dua barong yang beringas. Dari Gunung Andong, warga Dusun Mantran Wetan menyuguhkan pertarungan pedang dalam tari jaran papat.

Pada hari-hari berikutnya, makin banyak pentas seni memperingati kemerdekaan. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti jatilan, lengger, ndayakan, wayang, ketoprak, gatoloco, kubro, ronggeng, bugisan, ande-ande lumut, serandul, celengan, dan masih banyak lagi. Sebagian bentuk itu hasil kreasi baru.

Vitalitas

Apa yang paling menonjol dari pentas seni rakyat pegunungan Magelang? Meski ekspresi gerak, kostum, dan tembangnya beragam, setiap pentas dipenuhi vitalitas kerakyatan. Artinya, para seniman itu berjoget, menembang, atau menabuh gamelan dengan penuh gairah rakyat jelata.

Saat pentas, semua anggota bergembira. Penabuh getol memukuli gamelan. Penari merespons dengan berjoget, bahkan ada yang kesurupan segala. ”Kalau dengar bunyi gamelan, semangat saya langsung menyala-nyala,” kata Walidi (43), penari reog dari Dusun Marga Tantra yang menari seperti singa.

Vitalitas juga terlihat pada pola tari. Tarian umumnya berangkat dari kuda-kuda kaki yang menjejak-jejak mengikuti iringan gamelan pentatonis. Pola kaki yang ritmis itu dipadukan dengan gerakan lain yang diolah dari tabiat petani di gunung.

Tari grasak yang energik, misalnya, menggambarkan kelincahan dan keliaran petani saat turun-naik gunung terjal. Itu berbeda dengan tari saujana yang lembut karena meniru tingkah serangga di kebun.

”Jadi, saat pentas, kami seperti memainkan diri kami sendiri,” kata Sujono (38), seniman rakyat dari Dusun Keron, Kecamatan Sawangan.

Dalam pentas, semua orang berkumpul dan berekspresi bersama-sama. Tak ada lagi jarak antara penabuh gamelan, penari, atau penonton yang menyoraki dari pinggir panggung. Panggung umumnya berupa pelataran tanah terbuka, di mana semua orang bisa menyatu, bersenggolan, tanpa kelas sosial.

”Seni mengikat dan menyatukan kami semua,” kata Ismanto, pematung dari Dusun Ngampel di Merapi.

Pembebasan

Setiap pentas akhirnya mengembalikan masyarakat pegunungan itu kepada jati dirinya. Dalam konteks perayaan 17 Agustusan, kegiatan kelompok seni pegunungan itu mencerminkan etos kemerdekaan yang lebih otentik. Tanpa wacana yang gagah-gagah, mereka langsung menggeliat dalam ekspresi seni yang membebaskan dari berbagai tekanan hidup.

Di Gunung Sumbing, misalnya, masyarakat lagi terengah-engah oleh impitan ekonomi akibat harga panen bawang putih yang terus merosot. Saat bersamaan, harga kebutuhan pokok melangit. Namun, saat kemerdekaan seperti ini, mereka tetap bahu-membahu mementaskan seni secara mandiri.

”Seni menghibur dan membebaskan kami dari beban hidup,” kata Asmat (36), penggiat seni dari Dusun Krandegan.

Alih-alih terus mengeluhkan kecamuk elite politik atau partai-partai yang hanya mengguncingkan kepentingan sendiri, masyarakat pegunungan memilih untuk menggumuli seni yang membahagiakan. Lewat seni pula, mereka mengolok-olok segala persoalan domestik hingga nasional. Isu korupsi pun kerap diangkat dalam pentas. Ketoprak, misalnya, kerap menyelipkan pemain yang memarodikan tersangka korupsi, seperti Artalyta Suryani atau Al Amin Nur Nasution.

Di tengah perayaan 17 Agustusan yang diselenggarakan penguasa yang serba seremonial, pesta kemerdekaan oleh rakyat pegunungan itu lebih membumi, lebih manusiawi. ”Seni komunitas pegunungan lebih mencerminkan kemerdekaan yang sesungguhnya daripada upacara formal di kota-kota,” kata Sutanto, penggiat Festival Lima Gunung sejak tahun 2000.


Return to: Merdeka Lewat Seni