What is this? From this page you can use the Social Web links to save Berkesenian sejak Tahun 1930-an to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
August 24, 2008

Berkesenian sejak Tahun 1930-an

Posted in: Acoustics, Akustik, Berita, Gamelan, Musik Tradisional Indonesia, Seniman Indonesia, Tulisan

Tulisan2 dibawah ini menunjukkan kepada kita, bahwa masih banyak masyarakat kita yang cukup memberikan apresiasi yang tinggi terhadap ‘budaya tradisional’ yang dimilikinya. Bagaimana dengan kita sendiri…? Apakah kita masih memiliki semangat dan kerendahan hati untuk mempertahankan apa yang kita ‘miliki’ itu…?

Tulisan menarik dari Kompas

Berkesenian sejak Tahun 1930-an

Minggu, 24 Agustus 2008 | 01:07 WIB

Siapa sebenarnya komunitas seni di gunung-gunung seputar Magelang? Mereka adalah para petani sayur-mayur, padi, dan tembakau. Tak peduli lagi musim paceklik atau makmur, hujan atau kemarau, mereka setia menghidupkan seni.

Seni telah lama mendarah daging dalam masyarakat itu. Komunitas Tutup Ngisor, contohnya, akrab dengan seni mocopatan, tayub, dan gamelan sejak 70-an tahun silam. Setidaknya itu terbukti dari kehadiran Padepokan Cipta Budaya yang didirikan almarhum Yoso Sudarmo tahun 1937.

Kini, padepokan ini tetap lestari dengan kegiatan seni yang tak pernah berhenti. ”Walau sibuk bertani, kami tak bisa lepas dari kegiatan seni,” kata Sitras Anjilin (47), putra ketujuh Yoso Sudarmo. Enam saudara Sitras juga turut menggiatkan seni di dusun itu.

Di Ngampel, masih di kawasan Merapi, dikenal seniman gamelan bernama Hardjo Lulut sejak tahun 1930-an. Begitu pula Dusun Kemiriombo yang punya tokoh wayang klitik bernama Ali yang aktif berkarya tahun 1930-an. Artinya, masyarakat di pegunungan di Magelang itu sudah akrab dengan berbagai bentuk seni sejak Indonesia belum merdeka.

Setelah negeri ini merdeka, kelompok seni itu tetap mengembangkan seni sebagai bagian dari upacara syukuran, seperti setiap musim panen, tanam, bulan Sapar, bulan Syura, dan hari kemerdekaan 17 Agustus. Tak hanya itu, hajatan masyarakat di pelosok desa juga sering menanggap seni. Seni sudah jadi bagian hidup masyarakat di sana.

Sejak tahun 2000, kelompok seni di Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Andong, dan Menoreh menggelar Festival Lima Gunung. Awal Agustus lalu, Festival Lima Gunung VII digelar di Dusun Tutup Ngisor. Acara ini melibatkan 600 seniman dari 16 kelompok kesenian.

”Ada 100-an kelompok seni di lima gunung. Tak semuanya seni tradisi karena sebagian bentuknya dimodifikasi dengan ide-ide baru,” kata Sutanto, penggiat Festival Lima Gunung.

Berbagai bentuk seni itu tetap hidup karena didukung masyarakat secara mandiri. Mereka tak mau bergantung pada bantuan pemerintah, sponsor swasta, atau uluran tangan pihak ketiga. Seni semakin kuat karena masyarakat memercayainya sebagai persembahan atau ritual khusus.

Warga Krandegan di Gunung Sumbing selalu mementaskan gamelan ketika muncul permintaan dari roh penunggu Gunung Sumbing yang disebut Kiai Mekukuang. Permintaan itu biasanya disampaikan lewat dukun yang masih bocah, Nurhalim (12).

Pernah, tahun 2004, tiba-tiba dukun itu menyuarakan perintah agar warga menabuh gamelan. Pagi harinya, 70-an orang bergegas menggotong gamelan ke puncak Sumbing yang ditempuh sekitar tujuh jam. ”Kami main gamelan di puncak gunung itu, kemudian pulang dengan perasaan lega,” kata Asmat (36) dan Sarwo Edi (32), penggiat seni di Krandegan. (iam/egi)

Ironi di Antara Candi-candi


function Big(me)
{
me.width *= 1.700; me.height *= 1.700;
}
function Small(me)
{
me.width /= 1.700; me.height /= 1.700;
}

KOMPAS/ILHAM KHOIRI / Kompas Images
Masyarakat berduyun-duyun mengunjungi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Senin (18/8). Candi Buddha yang dibangun pada abad ke-9 Masehi ini masih dianggap sebagai bukti pencapaian kebudayaan masyarakat saat itu.

Minggu, 24 Agustus 2008 | 03:00 WIB

ilham khoiri & Regina Rukmorini

Puluhan candi di Magelang, Jawa Tengah, jelas menggambarkan bahwa kawasan itu pernah mencapai kejayaan peradaban pada abad ke-9 Masehi. Namun, sekarang, 12 abad kemudian, ternyata kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar peninggalan bersejarah itu malah terlilit kemiskinan dan toleransi beragama mulai mengendur. Kenapa semua itu terjadi?

Candi Canggal di Bukit Wukir di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, dianggap candi tertua di Magelang. Prasasti di candi Hindu itu menyebutkan, monumen ini dibangun pemerintahan Raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, 732 Masehi (M). Sanjaya mendirikan lingga lambang Dewa Syiwa di tanah Jawa Dwipa yang kaya padi dan emas.

Beberapa kilometer dari situ, ada Candi Mendut di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid. Bangunan ini didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Pada Prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 M disebutkan, raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang berarti hutan bambu. Selain dihiasi sejumlah patung, dinding candi ini juga diukiri relief yang mengisahkan berbagai mitologi dan fabel.

Candi Borobudur yang berada di Desa Borobudur merupakan candi terbesar di kawasan itu. Menurut Prasasti Karangtengah dan Kahulunan, candi ini didirikan Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sekitar 824 M. Pembangunan makan waktu sekitar setengah abad.

Bangunan punden berundak yang megah ini terdiri atas enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar, dan satu stupa besar pada puncaknya. Pada sebagian dinding diukirkan relief tentang ajaran Sang Buddha. Pada tingkat tertinggi terdapat stupa besar yang polos yang menggambarkan ketiadaan wujud.

Selain tiga candi itu, masih banyak lagi candi yang ditemukan di daerah Magelang, antara lain Candi Ngawen, Selogriyo, Diwak, Umbul, dan Candi Duwur. Mungkin jumlah itu bisa bertambah karena beberapa candi baru ditemukan, sebagian lagi diperkirakan masih terpendam dalam tanah.

Candi-candi itu, terutama Canggal, Mendut, dan Borobudur, terus dikunjungi masyarakat. Tak hanya dari dalam negeri, wisatawan dari mancanegara juga berduyun-duyun. Pekan lalu, misalnya, Miss Universe 2008, Dayana Mendoza (22), didampingi Putri Indonesia 2008, Zivanna Letisha Siregar, mengunjungi warisan budaya dunia itu.

Kejayaan

Kenapa masyarakat dunia tertarik mengunjungi candi-candi, seperti Borobudur? Sebagian pengunjung menilai, candi-candi itu merupakan peninggalan penting yang menggambarkan sejarah peradaban manusia pada masa lampau. Dari situ diketahui, kawasan pegunungan di Magelang pernah mencapai kejayaan peradaban yang tinggi ratusan tahun silam.

Candi-candi itu mencerminkan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, dan toleransi antarumat agama. Kejayaan ekonomi jelas tercatat pada Prasasti Candi Canggal yang menerangkan, tanah Jawa Dwipa yang makmur, kaya padi dan emas.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi gampang terlacak dari kecanggihan teknologi penggunaan batu-batu candi yang saling mengunci sehingga membentuk bangunan yang kuat. Pencapaian seni budaya terpampang pada relief Candi Borobudur yang menggambarkan seni tari dan musik serta bentuk-bentuk relief yang indah.

”Sampai sekarang, kita masih mengagumi, bagaimana Candi Borobudur itu dibangun, berapa pekerja dan seniman yang dikerahkan, berapa banyak emas yang dibelanjakan? Itu hanya dilakukan pemerintahan kerajaan yang mapan,” kata networker kebudayaan dari Solo, Halim Hade.

Beberapa candi juga menggambarkan toleransi antarumat beragama yang maju pada zamannya. Candi Mendut, contohnya, mencerminkan toleransi antara agama Hindu dan Buddha. Patung Buddha Sakyamuni (orang biasa yang menjadi Buddha) diletakkan di dalam candi. Di beberapa bagian lain, ada patung-patung Hindu, seperti patung Durgamahesa Suramardini yang menunggang lembu andini, Dewi Tarasakti bertangan delapan, serta Dewi Hariti lambang kesuburan.

”Unsur Buddha dan Hindu berdampingan dengan selaras di Candi Mendut,” kata juru pelihara Candi Mendut, Awik Haryanto.

Ironi

Bagaimana jika pencapaian peradaban 12 abad silam itu dibandingkan dengan kemajuan zaman sekarang? Dalam beberapa hal, kehidupan masyarakat di daerah itu sekarang ini malah mundur.

Ambil contoh saja soal ekonomi. Jika Prasasti Candi Canggal mencatat daerah Jawa Dwipa saat itu makmur dengan padi dan emas, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Magelang 2006 menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Kecamatan Borobudur adalah nomor tujuh terbanyak dari 21 kecamatan di kabupaten itu. Keluarga miskin dan prasejahtera di situ mencapai 2.858 kepala keluarga.

Beragam wacana pengembangan kawasan Candi Borobudur dan rencana pemberdayaan masyarakat lokal pernah dicoba. Selain penataan kawasan zona, pernah dilontarkan pembentukan desa seni dan Jagat Jawa. Namun, ketidakjelasan membuat semua rencana kandas. Masyarakat akhirnya jadi korban konflik kepentingan.

Soal toleransi antarumat beragama juga pernah menjadi masalah. Seniman dan tokoh masyarakat di Kecamatan Borobudur, Sucoro (55), menceritakan, saat pemerintah berencana membangun semacam studi agama Buddha di kawasan itu, muncul penolakan dari kelompok yang mengkhawatirkan Buddhanisasi. ”Ini aneh. Zaman dulu orang beda agama bisa hidup berdampingan, kok sekarang malah para dimakan syak wasangka!” katanya.

Menurut Kiai Muhammad Yusuf Chudlori, pimpinan Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, intoleransi bukanlah watak dasar dari agama per agama, tetapi lebih dipicu kepentingan para pemeluknya. Ketika proyek-proyek pemerintah tak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat lokal, terjadilah konflik kepentingan, terutama ekonomi. Konflik itu kadang membawa-bawa nama agama.

”Kalau dibandingkan dengan toleransi pada zaman candi-candi, malu juga kita sekarang ini. Orang dulu itu sak madyo opo anane, jujur, dan mengedepankan kebutuhan dasar bersama manusia, yaitu hidup tenteram. Sekarang, malah banyak orang egois, tidak toleran,” katanya.


Return to: Berkesenian sejak Tahun 1930-an