What is this? From this page you can use the Social Web links to save ‘Gamelan Bali’ International Concert Hall, Apakah diperlukan..? to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
May 30, 2008

‘Gamelan Bali’ International Concert Hall, Apakah diperlukan..?

Posted in: Akustik, Akustika Arsitektur, Gamelan, IACC - Inter-Aural Cross Correlation, Impulse Response, Initial Delay Time, Musik Tradisional Indonesia, Perancangan Akustik, Sub-sequent Reverberation Time - Tsub, Tulisan

Sudah diketahui secara umum bahwa, Concert Hall atau Gedung Konser adalah suatu bangunan yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan dan pegelaran konser musik. Sesuai dengan tujuannya maka hal-hal teknis utama yang diperlukan adalah kondisi akustik di dalam gedung konser tersebut, baik secara objektif maupun subjektif mesti berada pada kondisi optimal sesuai dengan tuntutan pemusik maupun penonton/audience nya. Gedung konser merupakan hasil inovasi arsitektur dari budaya barat yang secara teknis memang ditujukan untuk menunjang budaya seni musik. Sejarahnya dimulai sejak awal abad ke 19 dimulai dengan bangunan berupa amphitheater, colloseoum, gedung opera baru kemudian gedung konser. Perkembangannya ini juga seiiring dengan perkembangan ilmu akustik dan juga arsitektur. Pada jaman modern ini, gedung konser sudah merupakan hasil inovasi mutakhir dari berbagai teknologi, ilmu pengetahuan dan seni musik itu sendiri.

Pada umumnya, gedung konser dibangun untuk berfungsi dalam jangka waktu yang lama dan bersifat monumental untuk menunjang pengembangan dan kemajuan budaya terutama sekali seni budaya musik (termasuk juga nyanyi dan tari). Karena berfungsi untuk jangka waktu lama maka perancangan gedung konser mesti tahan gempa, memenuhi persyaratan arsitektur yang sesuai dengan lokasi, budaya, kondisi fisik lingkungannya dan mendapat dukungan sosial, materiil dan moril dari masyarakatnya. Hal ini juga disebabkan oleh karakteristiknya sebagai bangunan monumental yang secara umum akan menjadi lambang perjalanan sejarah budaya dan karakteristik masyarakat di daerahnya. Bahkan, gedung konser juga dapat menjadi suatu “landmark” dari suatu daerah atau bangsa, seperti Sidney Opera House misalnya. Sementara itu, karena tuntutan kompleksitas dan ketelitian kondisi akustik di dalamnya, maka bagi para ahli akustik, gedung konser ini bisa diibaratkan sebagai alat musik raksasa. Ungkapan ini secara objektif dapat dipahami mengingat hasil kondisi suaranya mempunyai karakteristik yang khas dan unik sehingga dapat dikatakan seorang penonton tidak akan pernah mendengarkan suara yang ‘sama’ di tempat dan waktu lainnya di dunia. Disinilah keterpaduan antara berbagai bidang ilmu, teknologi dan seni yang sebenar-benarnya mesti dilaksanakan sehingga dapat menghasilkan berbagai dampak yang positif bagi masyarakat.

Mengingat kondisi akustik di dalam ruangan menjadi tujuan utamanya, maka pada umumnya gedung konser bersifat tertutup dengan maksud agar dapat menghilangkan pengaruh bising dari lingkungan komunitasnya. Karena ketertutupannya itu, gedung konser mesti dilengkapi dengan sistem tata udara sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung atau penontonnya untuk berkonsentrasi mendengarkan pertunjukan musik yang dipegelarkan. Faktor kenyamanan ini juga menjadi salah satu tujuan dari gedung konser tersebut, sehingga orang yang datang untuk menonton konser benar2 terpenuhi tujuan utamanya. Tentunya ketertutupan tersebut juga dimaksudkan agar pegelaran dan juga penonton tidak terganggu akibat cuaca panas terik matahari atau hujan. Perkembangan teknologi elektro-akustik, dalam bentuk alat musik elektronik dan juga sistem tata suara elektronik juga membantu perkembangan rancangan gedung konser. Tetapi, untuk pagelaran musik dengan alat musik non-elektronik, apresiasi terhadap gedung konser tanpa sistem tata suara elektronik tetap tinggi, mengingat ke’asli’an dan ke’alami’an dari suara musik yang dihasilkannya.

Sementara itu, musik gamelan Bali sudah dikenal sebagai salah satu musik tradisional yang khas dari Indonesia, dan sudah seringkali dipertunjukkan di gedung2 konser bertaraf internasional di manca negara. Pada umumnya, secara tradisional musik gamelan Bali dikenal sebagai ‘outdoor’ musik, karena di tempat asalnya yaitu di Bali sendiri belum ada Gedung Konser yang memenuhi persyaratan secara akustik untuk mempegelarkan musik ini di dalam ruangan. Secara internasional musik Gamelan Bali sudah lama dikenal dan menjadi salah satu penunjang ketertarikan wisatawan manca negara untuk datang ke Bali khusus nya dan ke Indonesia pada umumnya. Ketertarikan masyarakat internasional ini dapat dilihat dari adanya sekian banyak sekehe gamelan Bali di Amerika, Australia, Eropa dan juga Jepang, misalnya, dengan pelaku atau pemusiknya juga berasal dari masing-masing negara tersebut.

Kesempatan untuk dipegelarkan di gedung konser internasional secara tidak langsung sebenarnya dapat meningkatkan ‘confidence’ dan juga ‘prideness’ dari pemusik-pemusik gamelan Bali tersebut, tetapi secara langsung belum dapat meningkatkan kesan yang sama kepada masyarakatnya di daerahnya sendiri. Hal ini karena masyarakatnya sendiri, sebagai pendukung utama budaya seni ini, belum pernah merasakan langsung peningkatan kwalitas hasil kreasi dan inovasi mereka sendiri, karena mereka belum memiliki gedung konser yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kwalitas musik gamelan Bali tersebut.

Dari segi ilmu akustik, musik gamelan Bali dapat dikatakan ‘lebih memerlukan ruangan’ dibandingkan dengan musik klasik barat (misalnya komposisi yang dikenal dalam bidang akustik dengan nama Musik motif A, yaitu potongan musik gubahan Orlando Gibbons berjudul ‘Royal Pavane’). Kesimpulan dari hasil penelitian ini, sudah penulis presentasikan di International Congress on Acoustics pada tahun 2001 di Roma Italia, dalam paper berjudul Spatial Factor of Sound Fields for Gamelan Bali Concert Halls’. Dengan demikian, anggapan bahwa musik gamelan Bali hanya dapat dimainkan di ruang terbuka (atau biasa disebut ‘outdoor music’) secara objektif dapat diabaikan. Dari simulasi teknis dengan memanfaatkan perangkat komputer kondisi objektif tersebut dengan nyata dapat dibuktikan.

Secara umum, kondisi fisik dari medan suara di dalam gedung konser yang dapat memenuhi ‘preference’ - (’keinginan’) dari semua penonton di tempat duduknya masing-masing, dapat disebutkan terdiri dari empat komponen utama dimana komponen pertama adalah tingkat kekerasan suara yang terdengar oleh masing-masing penonton. Komponen ini sangat tergantung kepada karakteristik akustik dari alat musiknya, posisi penempatannya di panggung, kondisi ruang dari gedung konser dan termasuk juga cara memainkan alat musik tersebut. Pada jaman sekarang, hal ini dapat ditunjang oleh pemanfaatan sistem tata suara walaupun konsekwensinya adalah mengurangi ke’alamiah’an dari suara musik yang dimainkan tersebut.

Faktor kedua yang mempengaruhi adalah adanya waktu tunda dari sampainya suara pantulan pertama akibat bidang bagian dalam ruangan gedung konser misalnya dinding, panggung atau langit-langit dibandingkan suara langsung yang diterima penonton dari masing-masing alat musiknya sendiri. Faktor ini secara psikologis dapat menyebabkan penonton merasakan arah suara dan juga ‘kelebaran’ dari sumber suara itu sendiri.

Faktor ketiga yang mempengaruhi adalah adanya waktu dengung ruangan yang dirasakan oleh masing2 penonton di tempat duduknya. Karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi dimensi, ukuran, kapasitas tempat duduk, jumlah penonton dan juga karakteristik material bangunan pembentuk interior gedung konser itu sendiri. Penonton akan merasakan dirinya di’selimuti’ oleh keindahan dan keagungan musik yang dipegelarkan, yang sebenarnya secara teknis tidak dapat mereka rasakan selain mereka menghadiri atau menonton konser secara langsung. Hal ini juga menyebabkan penonton secara subjektif akan lebih ingin menonton konser secara langsung dibandingkan dengan mendengarkan suara rekaman secara elektronik, dengan sistem perekaman dan pemutar ulang paling canggih dan mahal sekalipun.

Komponen keempat atau terakhir adalah kondisi suara yang diterima berbeda antara telinga kiri dan kanan masing-masing penonton. Perbedaan ini menyebabkan penonton ‘merasakan ruang’ dari gedung konser itu sendiri. Hal inilah sebenarnya yang menjadi dasar perasaan ’stereo’ yang tertanam di dalam hasil rekaman elektronik.

Ketiga faktor pertama yang dijelaskan di atas merupakan besaran fisik yang tergantung kepada komponen temporal dan spektral dari medan suaranya. Komponen temporal sebenarnya sangat dipengaruhi oleh waktu dan dinamika musik itu sendiri, sementara komponen spektral sangat dipengaruhi oleh frekwensi dari suaranya. Perlu juga diketahui bahwa secara spektral, kemampuan telinga manusia untuk mendengarkan suara tidaklah linier untuk semua frekwensi. Hal ini dapat diketahui dengan sensitivitas telinga kita yang berbeda untuk frekwensi rendah, medium dan frekwensi tinggi. Sedangkan komponen keempat merupakan komponen spatial yang sangat tergantung kepada kondisi ruangan sendiri, tidak dipengaruhi oleh jenis atau karakteristik suara dari sumber suara, dalam hal ini sumber suaranya adalah alat-alat musik yang dimainkan termasuk suara vokal dari penyanyi nya. Dalam hal ruangan dilengkapi dengan sistem tata suara, maka karakteristik akustik loudspeaker dan juga penempatannya sangat menentukan faktor spatial yang dirasakan dan dialami oleh setiap penonton.

Kombinasi semua faktor-faktor tersebut di atas, dimanfaatkan secara elektronik dan dipasarkan secara luas dengan nama ‘home theatre’, walaupun pada kenyataannya medan suara yang dihasilkan oleh peralatan ini sebenarnya hanya untuk ‘menipu’ telinga manusia saja. Salah satu akibatnya misalnya adalah adanya kesan bahwa mendengarkan suara dari ‘home theatre’ lebih baik dibandingkan dengan mendengarkan konser secara langsung.

Pemanfaatan kondisi akustik yang memenuhi persyaratan dan berkwalitas bagi pengunjung atau penghuni gedung atau setiap ruangan sebenarnya mesti sudah tertanam di dalam rancangan awal dari arsitektur bangunan atau gedung-gedung itu. Tetapi kenyataan yang ada, kemungkinan karena faktor biaya dan alasan teknis lainnya, sering sekali kondisi akustik yang baik bagi suatu ruangan ini diabaikan saja. Misalnya hal ini terjadi pada pembangunan suatu auditorium dimana komponen perancangan akustiknya sejak awal tidak dilibatkan. Hasilnya, adalah terjadinya cacat akustik yang pada akhirnya menyebabkan dilakukannya renovasi arsitektur atau desain interior ruangan.

Secara akustik, suatu gedung konser mesti dirancang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan ‘preference’ dari penonton. ‘Preference’ ini sangat bersifat subjektif, seperti contohnya kacamata yang memiliki ukuran yang unik untuk masing-masing orang. Melalui penelitian yang intensif oleh peneliti-peneliti Jepang, Eropa dan Amerika, maka besarnya nilai keempat parameter yang disebutkan di atas untuk memperoleh ‘preference’ umum optimal untuk gedung konser bagi jenis musik-musik tertentu sudah dapat diperoleh.

Sementara itu, penelitian untuk menentukan kondisi optimum dari parameter akustik yang diperlukan bagi konser musik gamelan Bali, telah penulis lakukan dan salah satu hasil penelitian tersebut telah disebutkan di atas, yaitu musik gamelan Bali ‘lebih memerlukan nilai spatial ruang konser’ dibandingkan dengan musik klasik. Dengan nilai-nilai parameter optimum tersebut, maka dapat dirancang gedung konser yang khusus dan bersifat unik untuk musik gamelan Bali.

Gedung Konser Gamelan Bali yang bersifat ‘dedicated’ ini, tentu saja memerlukan telaah awal (feasibility study) yang objektif, teliti dan bersifat integral bukan saja dari permasalahan nilai ekonominya tetapi juga dari sisi sosial, budaya, termasuk juga dukungan dari masyarakat. Hal ini secara objektif mesti dilakukan untuk menghindari adanya kesan tujuan dari keberadaan gedung konser tersebut terpisah dari tujuan pengembangan budaya masyarakatnya. Disamping itu, perlu juga dihindari keterlibatan yang bersifat politis yang memungkinkan terjadinya ko-optasi pemahaman dan juga ‘interest’ sekelompok orang saja. Dengan kata lain keberadaan gedung konser gamelan Bali ini, mesti berasal dari masyarakat, dimiliki dan juga dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat untuk meningkatkan budayanya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih ‘confidence’ dan juga ‘proud’ dengan budayanya sendiri, sehingga tujuan dari ‘quality culture’ untuk menunjang ‘quality life’ bagi masyarakat Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat tercapai.

Bagi para seniman sendiri terutama sekali seniman musik gamelan Bali dan juga Tari Bali, akan tertantang untuk ber’kreatifitas’ dan ber’inovasi’ secara optimal, untuk mengangkat hasil karyanya agar memenuhi kwalitas internasional. Hal ini tentunya akan menjadi terobosan bagi perkembangan budaya di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Perlu juga diungkapkan disini, sampai saat inipun Indonesia belum memiliki sarana Gedung Konser yang memenuhi persyaratan sesuai dengan tuntutan seniman dan penonton, seperti yang dikemukakan oleh seorang konduktor musik asal Indonesia yang sudah membuktikan karyanya di manca negara. Di Negara maju, keberadaan gedung konser sudah merupakan salah satu kebutuhan masyarakatnya untuk meningkatkan budayanya sendiri. Sebagai contoh dapat dikemukakan bagaimana Jepang dapat mempertahankan dan juga meningkatkan budaya tradisionalnya, misalnya ‘kabuki’, dan juga meng’kreasi’ dan meng’inovasi’ opera barat ke dalam budayanya sendiri, seperti yang dipertunjukkan secara reguler dan terkenal di Jepang bahkan ke manca negara, yaitu Opera Takarazuka di Osaka Jepang. Di seluruh Jepang, dapat dikatakan di setiap kotanya selalu ada minimal satu gedung konser. Dengan tunjangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang intensif maka Jepang dapat mempertahankan dan meningkatkan kwalitas budayanya sendiri setara dengan budaya yang berasal dari barat. Budaya mereka benar-benar sudah menunjukkan ‘tuan di negerinya sendiri’, dan masyarakatnya sangat ‘confidence’ dan ‘proud’ dengan hal itu, sehingga mereka secara positif dan aktif ikut melakukan ‘Konservasi’ dan berpartisipasi untuk mengembangkannya. Penghargaan masyarakatnya atas ‘kreatifitas’ dan ‘inovasi’ sangat tinggi. Hal yang hampir serupa juga berlaku bagi budaya dan masyarakat China dan India. Tulisan dan pendapat tentang hal ini sudah banyak dikemukakan di media-media baik cetak maupun elektronik.

Dari penjelasan tersebut di atas, satu pertanyaan yang mesti dijawab adalah apakah gedung konser musik gamelan Bali ini diperlukan atau tidak. Pertanyaan tersebut mesti dijawab oleh para seniman gamelan Bali, budayawan, penikmat musik gamelan Bali dan pribadi-pribadi yang terkait dengan usaha untuk meningkatkan kwalitas budaya bangsa, mengingat merekalah ‘stake holder’ utama dari adanya sarana perangkat keras tersebut. Tentunya untuk menjawab hal tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai arti dan manfaat baik secara fisik maupun moril dari adanya gedung konser gamelan Bali tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar-seminar, workshop budaya atau juga melalui pembahasan melalui forum diskusi secara elektronik. Semoga bermanfaat … adanya.



Return to: ‘Gamelan Bali’ International Concert Hall, Apakah diperlukan..?