What is this? From this page you can use the Social Web links to save STUDI PERANCANGAN - GEDUNG KONSER GAMELAN BALI to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
May 30, 2008

STUDI PERANCANGAN - GEDUNG KONSER GAMELAN BALI

Posted in: Akustik, Akustika Arsitektur, Gamelan, IACC - Inter-Aural Cross Correlation, Impulse Response, Initial Delay Time, Musik Tradisional Indonesia, Perancangan Akustik, Sub-sequent Reverberation Time - Tsub, Tulisan

STUDI PERANCANGAN
GEDUNG KONSER GAMELAN BALI

Oleh
Dr. Ir. I Gde Nyoman Merthayasa M.Eng.
Departemen Teknik Fisika - Institut Teknologi Bandung
E-mail : ignmerth@tf.itb.ac.id

Abstraksi

Hasil penelitian yang secara intensif dilakukan oleh Ando [1,2], dengan metode psikoakustik yang melibatkan subjek, menunjukkan bahwa ada 4 parameter objektif yang bersifat independen yang menentukan kondisi akustik di dalam gedung konser yaitu :
1. Tingkat Pendengaran suara (Listening Level,LL).
2. Waktu tunda pantulan awal relatif terhadap suara langsung (Initial Delay time).
3. Waktu dengung setelah terjadinya pantulan awal (Subsequent Reverberation Time).
4. Besaran korelasi silang antar telinga (Inter Aural Cross Correlation, IACC).
Pada tulisan ini, dari penelitian dengan menerapkan metoda yang sama dengan Ando untuk jenis musik Gamelan Bali (diwakili oleh lagu Oleg Tamulilingan) diperoleh kondisi optimum bagi parameter ke dua dan ke empat. Hasil penelitian ’sedikit’ berbeda jika dibandingkan dengan jenis musik klasik Barat, sementara untuk parameter pertama dan ketiga diperoleh hasil yang dapat dikatakan hampir sama. Musik Gamelan Bali juga menunjukkan kecendrungan lebih membutuhkan faktor ’spatial’ sehingga hal tersebut juga menunjukkan bahwa musik Gamelan Bali ’sesuai’ untuk ‘musik kamar’, sehingga menghilangkan kesan bahwa musik jenis ini hanya sesuai untuk pertunjukan di ruang terbuka. Disamping itu, karena parameter IACC menunjukkan kesan diffusitas maka perancangan Gedung Konser tersebut memerlukan penataan yang lebih rumit pada permukaan interiornya.
Perancangan Gedung Konser Gamelan Bali, juga memerlukan kajian-kajian arsitektural yang mendalam (karena sifat gedung konser umumnya juga sebagai gedung monumental), sosial dan budaya disamping juga kajian ekonomis (yang akan menentukan kapasitas penonton di dalam gedung Konser).

Kata Kunci : Acoustics, Concert Hall, Gamelan Bali, Psychoacoustics.

STUDI PERANCANGAN
GEDUNG KONSER GAMELAN BALI

Oleh
Dr. Ir. I Gde Nyoman Merthayasa M.Eng.
Departemen Teknik Fisika - Institut Teknologi Bandung
E-mail : ignmerth@tf.itb.ac.id

PENDAHULUAN
Pada saat ini, keterlibatan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk menunjang pengembangan dan juga kemajuan seni dan budaya tradisional Indonesia. Untuk memenuhi tuntutan seniman dan budayawan di daerah Bali tentang adanya suatu gedung konser yang khusus untuk pertunjukan gamelan Bali, peranan bidang ilmu akustik sangat diharapkan mengingat tujuan utama dari gedung konser ini adalah untuk menonton dan mendengarkan pegelaran musik gamelan Bali ini. Sementara itu, data kondisi parameter objektif mengenai “kenyamanan” kondisi akustik yang khusus untuk gedung konser tersebut belum tersedia, sehingga perancangannya untuk memenuhi syarat-syarat akustik yang khusus tidak dapat dilakukan. “Kenyamanan” kondisi akustik dari medan suara di dalam gedung disamping ditentukan oleh faktor-faktor fisik dari ruangan juga sangat ditentukan oleh jenis musik yang akan di’pegelar’kan di dalam gedung itu. Kondisi medan suara di dalam gedung konser merupakan suatu kondisi yang bersifat subjektif & objektif, sehingga perlu dilakukan penelitian yang berdasarkan metoda-metoda psikoakustik disamping juga diperlukan pengujian fisikanya.
Pada penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan studi awal dan juga pengukuran data fisika dari sinyal suara gamelan Bali. Sasaran luaran yang ingin dicapai adalah : dapat ditentukannya jenis musik dan lagu gamelan yang akan mewakili gamelan Bali sebagai sumber suara di dalam gedung konser untuk keperluan perancangannya, perekaman musik gamelan Bali untuk simulasi medan suara di Laboratorium, penentuan karakteristik fisika sinyal suara Gamelan Bali dan evaluasi dari simulasi medan suara Gamelan Bali di laboratorium (ruang semi anechoik) untuk menentukan kriteria karakteristik fisika dari medan suara gamelan Bali yang diterima subjek pada saat pengujian psikoakustik.
Hasil simulasi medan suara tersebut, selanjutnya dipakai untuk menunjang penelitian psikoakustik yang bertujuan untuk memperoleh data kondisi optimum dari medan suara tersebut. Disini diperlukan adanya partisipasi dari para pelaku, ahli seni gamelan Bali, dan juga penonton umum untuk bertindak sebagai subjek penelitian. Para subjek bertugas untuk memberi penilaian atau pemilihan mengenai kondisi medan suara yang dipresentasikan. Metodologi yang digunakan adalah metoda pengujian pasangan (pair comparison test method)[3], dimana dua sinyal atau medan suara dengan kondisi parameter yang berbeda dipasangkan masing-masing dengan perioda yang sama, dipresentasikan kepada subjek di ruang semi anechoik. Subjek diharuskan untuk memilih dan memberi response mengenai kondisi medan suara yang mana yang lebih disukai (preferred condition). Dengan melakukan penilaian yang berulang-ulang dan variasi parameter fisika medan suara maka akan diperoleh suatu distribusi response yang secara statistik akan dapat dicari kondisi yang ‘paling disukai’ (most preferred condition ) secara umum. Dengan mengetahui data kondisi optimum untuk masing-masing parameter tersebut, perancangan gedung konser akan dapat dilakukan dengan jalan mengubah besaran kondisi optimum menjadi besaran linier yang biasa digunakan pada bidang arsitektur.
Secara umum, penelitian ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk menunjang perkembangan seni budaya tradisional Indonesia sesuai dengan kebutuhan perkembangan jaman globalisasi saat ini. Keberhasilan penelitian dan juga implementasi hasil penelitian ini akan sangat berguna untuk dikembangkan bagi jenis musik tradisional Indonesia lainnya, misalnya musik Gamelan Jawa, Gamelan Sunda, Seni Wayang Kulit, Wayang Golek, Wayang orang, Ketoprak dan sebagainya. Hal ini juga akan dapat meningkatkan ‘confidence’ dan ‘prideness’ bangsa Indonesia ditengah perkembangan situasi Nasional saat ini. Perkembangan tersebut akan dapat memperkaya khasanah budaya Nasional yang pada akhirnya dapat meningkatkan martabat bangsa, bidang ke-pariwisata-an dan juga perekonomian Nasional.

PARAMETER OBJEKTIF AKUSTIK DI RUANG KONSER
Dalam bidang ilmu akustik telah umum digunakan transformasi sinyal suara yang merupakan fungsi waktu p(t) menjadi fungsi frekwensi melalui transformasi Fourier :
Eq. (1)
Disamping itu sinyal suara p(t) dapat juga dinyatakan dengan fungsi otokorelasinya, yang didefinisikan sebagai berikut :
Eq. (2)
Dimana τ adalah waktu tunda dan 2T adalah interval dari waktu integrasi.
Besaran τ(0) merupakan besaran maksimum dari fungsi Φ(t) sehingga fungsi otokorelasi dapat dinormalisasi menjadi persamaan :
Eq. (3)
Dalam bidang akustik besaran fungsi otokorelasi yang dipakai adalah Waktu Efektif Fungsi Otokorelasi yang dinyatakan dengan notasi τe. Besaran ini didefinisikan sebagai besarnya waktu tunda dari fungsi otokorelasi dimana amplop dari normalisasi fungsi tersebut mempunyai besaran sebesar 10 persen dari harga pada saat awalnya (τ = 0 )[1&2]. Tabel 1.1 menunjukkan besaran Waktu Efektif Fungsi Otokorelasi untuk berbagai jenis sinyal suara yang sudah dipakai dalam perancangan gedung konser atau auditorium.

Tabel 1.1 : Waktu Efektif dari Fungsi Otokorelasi Berbagai jenis musik/sinyal suara [1].
Sinyal suara | Judul Pencipta | Tauu τe (mS)
Musik Motif A | Royal Pavane Gibbons |127
Musik Motif B | Sinfonietta, Opus | 48
III Movement; Allegro con brio | Malcolm Arnold | 35
Musik Motif C Symphony No. 107 in B flat major; II Movement, Adagio | Haydn | 65
Musik Motif D Siegfried Idyll; Bar 3222 Wagner 40
Musik Motif E Symphony in C major ; No. 551, Jupiter IV Movement; M. Allegro Mozart 38
Speech Poem read by Female D. Kunikita 12

Disamping itu, fungsi otokorelasi juga berhubungan langsung dengan tingkat tekanan suara yang kemudian dapat dikonversikan menjadi tingkat pendengaran (LL), melalui besaran daya yanng terjadi pada delay awalnya. Tingkat pendengaran ini, tentu saja menjadi persyaratan pokok dalam mendengarkan medan suara di dalam gedung konser. Besarnya tingkat pendengaran yang ‘diinginkan’ (preferred) tergantung kepada jenis dan motif musik yang dimainkan. Hasil penelitian psikoakustik mengenai tingkat pendengaran dengan mendapatkan respons dari 16 orang subjek menyimpulkan bahwa tingkat pendengaran optimum yang ‘diinginkan’ berada pada daerah 77 - 79 dBA untuk musik Motif A (tempo lambat) dan antara 78 - 80 dBA untuk musik Motif B (tempo cepat). Oleh karena itu disimpulkan bahwa tingkat pendengaran yang disukai untuk semua tempo musik tidak jauh berbeda dari sekitar 79 dBA untuk harga optimumnya.

Waktu tunda pantulan awal relatif terhadap suara langsung (Early delay time of the first reflection, Δt1 )
Di dalam ruangan yang berukuran besar, misalnya gedung auditorium atau gedung konser, suara yang memiliki kecepatan penjalaran kira-kira sebesar 340 m/detik memerlukan waktu tempuh dari sumbernya untuk mencapai pendengar pada suatu posisi. Perbedaan waktu tempuh yang terjadi antara suara yang menjalar langsung dari sumber suara ke pendengar dengan suara yang berasal dari pantulan awal akibat pantulan dari dinding atau bidang batas ruangan disebut waktu tunda pantulan awal.
Pada Gambar 1 ditunjukkan mekanisme terjadinya medan suara di dalam suatu ruangan sehingga terlihat bahwa dimensi ruangan sangat menentukan besarnya waktu tunda dari pantulan awal. Jika waktu tunda tersebut terlalu panjang akan terjadi kesalahan pada persepsi pendengaran kita yaitu apa yang disebut dengan echo. Sementara itu, waktu tunda yang terlalu pendek menyebabkan terjadinya efek ‘coloration’, yaitu tumpang tindihnya antara suara langsung dengan suara pantulan. Dari penelitian yang sudah dilakukan dengan musik klasik diketahui bahwa waktu tunda optimum yangg dikehendaki oleh pendengar adalah hampir sama dengan besarnya waktu efektif dari otokorelasi sinyal suara atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut [5,7]:

[τt1] p τ τe (ms) (4)
Hal inilah yang menyebabkan kenapa waktu tunda untuk musik diperlukan lebih panjang dibandingkan dengan waktu tunda untuk percakapan, di auditorium misalnya.
Hasil pengujian preferensi subjektif menggunakan pantulan tunggal menunjukkan bahwa waktu tunda pantulan dini yang paling disukai [t1]p sangat berbeda untuk masing-masing motif (lihat Gambar 2) [5]. Dari data preferensi pada percobaan tersebut ditemukan rumusan bahwa waktu tunda pantulan dini yang paling disukai berada di sekitar harga waktu tunda dimana selubung fungsi otokorelasi bernilai 0.1 A1 ( A1 adalah rasio antara suara pantul pertama dengan suara langsung).

Gambar 1
Medan suara di dalam ruangan ( L : suara langsung, P : suara pantulan dan D : suara dengung)

Besaran korelasi silang antar telinga (Inter Aural Cross Correlation, IACC)
Interaural Cross Correlation (IACC) didefinisikan sebagai derajat ketergantungan antara sinyal suara yang masuk ke telinga kiri dan kanan manusia karena adanya persepsi ruangan, dan secara matematis dapat dinyatakan sebagai maksimum dari nilai absolut korelasi silang interaural antara sinyal suara yang masuk ke daun telinga kiri dan kanan yang telah dinormalisasi dengan waktu tunda  < 1 ms.
Fungsi korelasi silang interaural (lr()) dinyatakan sebagai berikut :
lr() = (5)
Gambar 2.
Grafik preferensi subjektif yang dihasilkan dari penelitian dengan menggunakan musik klasik motif A dan motif B [1 & 5].

Gambar 3.
Arti fisis dari IACC dengan waktu tunda maksimum yang terjadi antara sinyal yang diterima telinga kanan dan kiri adalah sebesar 1 ms

Sesuai dengan definisinya, nilai IACC dapat diperoleh dari :
maksimum , untuk   1 ms (6)
Secara umum nilai IACC hanya bergantung pada arah sumber suara yang masuk ke telinga manusia dan juga pada amplituda tekanan sinyal suara (kriteria spatial-binaural), lihat Gambar 3. IACC juga tidak tergantung karakteristik sumber suara. Hal ini ditunjang pada penelitian Yoichi Ando [1,5 & 6]. Kekerasan suara juga tidak berpengaruh pada nilai IACC seperti yang dilaporkan Dubrovskii dan Chernyak tahun 1969 juga dari penelitian Merthayasa [7,8].
Nilai skala preferensi dari preferensi dapat direalisasi dengan menormalisasi masing-masing parameter dengan menggunakan most preferred value-nya [1,2,5,9,10&11]. Nilai skala preferensi sebagai fungsi dari IACC (S4) ditunjukkan pada Gambar 4. Perhatikan bahwa nilai-nilai turun secara cepat ketika IACC mendekati satu. Maka dari itu direkomendasikan untuk menjaga IACC pada nilai lebih kecil daripada 0,5 untuk medan suara dengan sumber tunggal pada panggung.

Gambar 4.
Nilai skala preferensi sebagai fungsi dari IACC

Hasil Preferensi Subyektif Dan Pembahasan
Dari pengujian psikoakustik untuk medan suara Gamelan Bali (diwakili oleh lagu Oleg Tamulilingan, setelah dilakukan pengukuran karakteristik fisiknya mempunyai Waktu Efektif dari Fungsi Otokorelasi sebesar 40 mS) dengan parameter waktu tunda pantulan awal (t1) diperoleh kurva Skala Preferensi seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Kondisi waktu tunda pantulan awal optimum diperoleh sebesar 20 ms.
Gambar 5.
Skala Preferensi sebagai fungsi dari Waktu tunda pantulan awal (t1)

Sementara itu dari hasil pengujian psikoakustik untuk parameter IACC data skala preferensi untuk Gamelan Bali hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan hasil yang telah diperoleh Ando[1] untuk Musik Klasik (Motif A dan Motif B). Perbandingan kedua plot tersebut disatukan dalam satu nilai skala preferensi seperti terlihat pada Gambar 6.
Seperti halnya pada penentuan nilai skala preferensi lainnya, dari IACC 0,3 sampai IACC 0,6 terlihat kurva mempunyai gradien yang lebih tajam dibandingkan pada IACC 0,7 sampai IACC 0,9. Jadi untuk Gamelan Bali, perubahan IACC sebesar 0,1 pada IACC < 0,6 mengakibatkan selisih penurunan nilai skala preferensi yang lebih besar dibandingkan pada IACC > 0,6. Hal ini menunjukkan subyek lebih sukar membedakan perubahan IACC pada IACC yang besar untuk Gamelan Bali
Sedangkan jika dibandingkan dengan musik klasik, plot nilai skala preferensi melengkung ke bawah, yang artinya justru pada IACC yang besar terjadi selisih penurunan nilai skala preferensi yang lebih besar untuk interval IACC yang sama (interval IACC 0,1). Jadi bisa dikatakan, subyek lebih sukar membedakan perubahan IACC pada medan suara dengan IACC yang kecil untuk musik klasik.
Gambar 4.4.
Nilai skala preferensi :
(—) untuk Musik Klasik (Motif A dan Motif B)
( __ ) untuk Gamelan Bali

Oleh karena itu pada perancangan ruang konser Gamelan Bali, sebaiknya IACC dibuat sekecil mungkin. Hal ini bisa diwujudkan dengan membuat pantulan yang cukup kuat dari langit-langit dengan cara membuat sudut tertentu pada langit-langit (langit-langit dibuat tidak datar), atau menambahkan bidang pemantul. Akan tetapi yang harus diingat agar tetap menjaga t1 relatif singkat, yaitu sekitar 20 - 30 ms.

Perancangan Gedung Konser Gamelan Bali
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kondisi optimum yang dibutuhkan untuk ruang konser Gamelan Bali adalah sebagai berikut :
1. Tingkat Pendengaran Optimum: ditunjukkan sesuai dengan Tingkat Pendengaran Optimum di dalam ruang konser musik klasik yaitu sekitar 78 - 80 dBA. Mengingat Tingkat Tekanan suara yang dapat dihasilkan oleh alat musik Gamelan Bali yang pada umumnya terdiri dari alat musik perkusi, Tingkat Pendengaran Optimum tersebut dapat dipenuhi dengan hanya mengandalkan dari suara langsung tanpa memerlukan bantuan sistem tata suara. Sementara itu, pada jenis alat musik tertentu perlu dibantu dengan merancang penempatan alat musik tersebut pada posisi yang sedemikian rupa sehingga komponen pantulan suaranya dapat menunjang tingkat tekanan suaranya. Dengan kondisi seperti ini maka diperlukan suatu penelitian yang lebih lanjut mengenai susunan posisi pemain dan alat musik Gamelan Bali ini dengan memperhitungkan juga kebutuhan akan kombinasi tingkat tekanan suara bagi masing-masing pemain musik tersebut, sementara dari segi seni visual juga perlu mendapat perhatian yang mencukupi.
2. Waktu tunda pantulan awal (t1) : hasil pengujian psikoakustik menunjukkan bahwa nilai optimum dari parameter objektif ini adalah sebesar 20 ms, sementara nilai Waktu Efektif Fungsi Otokorelasi dari medan suara (e ) adalah sebesar 40 ms. Hasil ini menunjukkan perbedaan dengan hipotesa dan hasil pengujian yang dilakukan dengan menggunakan musik klasik. Tetapi perlu juga untuk dipertimbangkan bahwa pantulan awal mungkin tidak hanya berasal dari adanya dinding samping saja, pantulan awal ini bisa juga berasal dari langit-langit atau bidang pemantul yang sengaja dipasang dengan perencanaan yang teliti. Oleh karena itu, penentuan dari dimensi lebar ruangan konser ini perlu memperhitungkan juga parameter dari waktu dengung setelah pantulan awal.
3. Waktu dengung setelah terjadinya pantulan awal (Tsub) : Dari hasil pengukuran nilai Waktu Efektif Fungsi Otokorelasi dari medan suara (e) ditunjukkan bahwa musik Gamelan Bali, dalam hal ini diwakili oleh cuplikan lagu Oleg Tamulilingan, menunjukkan nilai yang sangat dekat dan sesuai dengan musik klasik Motif B, Motif D dan Motif E. Ando [1,2] menunjukkan bahwa Waktu dengung setelah terjadinya pantulan awal ( Tsub ) yang paling diharapkan oleh subjek untuk musik jenis ini diperoleh dengan rumusan berikut: (Tsub)p  23 e. Dengan menggunakan formula tersebut, Waktu dengung optimum untuk ruang konser musik Gamelan Bali dapat dihitung. Dari data ini maka perbandingan antara volume dan luas penyerapan suara spesifik dari ruang konser, dapat ditentukan dan akhirnya dengan menentukan luas permukaan daerah penonton dan juga dimensi dari panggung gedung konser Gamelan Bali ini secara spesifik volume ruangan dari gedung konser tersebut dapat diperoleh. Luas permukaan dari daerah penonton ditentukan dari kapasitas jumlah penonton ruang konser. Untuk keperluan tersebut tentunya diperlukan penelitian lanjutan yang bertujuan untuk menentukan segi ekonomi dari adanya gedung konser tersebut.
4. Besaran korelasi silang antar telinga (IACC): Dari hasil pengujian psikoakustik dapat diketahui bahwa untuk Konser musik Gamelan Bali memerlukan kesan ‘spatial’ yang cukup mutlak dibandingkan dengan musik klasik. Pada musik Gamelan Bali menunjukkan preferensi yang tinggi pada nilai IACC yang rendah dimana penurunan IACC pada nilai IACC lebih besar dari 0.6 tidak meningkatkan preferensi secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa musik Gamelan Bali lebih memerlukan ‘ruang / space’ dibandingkan dengan musik klasik, sehingga anggapan bahwa musik Gamelan Bali adalah musik ruang terbuka dan tidak sesuai untuk ‘musik kamar’ secara tidak langsung dapat dibantah. Perlu untuk diperhatikan bahwa penurunan nilai IACC memerlukan kondisi medan suara yang lebih diffus (menyebar) dibandingkan dengan nilai IACC yang besar. Kebutuhan ini menyebabkan adanya tuntutan akan kondisi permukaan-permukaan di dalam ruang konser yang lebih komplek dibanding dengan kebutuhan ruang untuk musik klasik. Hal ini dapat melibatkan diperlukannya bidang-bidang pemantul dan juga bahkan ‘diffuser suara’. Salah satu keberuntungan yang ada dari perkembangan teknologi dan ilmu akustik sampai saat ini adalah dengan dikembangkannya ‘diffuser pasif’ oleh Manfred R. Schroeder [12 & 13], yang saat ini dikenal dengan nama ‘Schroder diffuser of Quadratic-residue type’.
Dengan diperolehnya nilai kondisi parameter optimum dan juga konversinya ke dalam besaran dimensi linier seperti telah dijelaskan di atas, maka selanjutnya perancangan Gedung Konser Gamelan Bali dapat dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu kapasitas atau jumlah penonton di dalam gedung atau ruang konser tersebut. Untuk mendapatkan data ini perlu dilakukan kajian ekonomis, sosial dan budaya untuk memasyarakatkan ide dari Gedung Konser Gamelan Bali ini. Disamping itu juga perlu dilakukan kajian arsitektural bagi edung Konser ini mengingat adanya kriteria Gedung Konser sebagai bangunan yang bersifat Monumental. Setelah data mengenai tuntutan ekonomis mengenai kapasitas penonton diperoleh, dan juga kajian arsitekturalnya maka perancangan Gedung Konser yang berdasarkan perancangan akustika dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak yaitu CATT Acoustics v 7-2, yang dikembangkan oleh Bengt-Inge Dalenback, Dosen di Departement of Applied Acoustics at Chalmers University of Technology, Gothenburg, Sweden.
Kesimpulan
1. Dari pengujian psikoakustik parameter waktu tunda pantulan awal diperoleh kondisi optimum untuk musik Gamelan Bali berbeda dibandingkan dengan rumusan untuk musik klasik, walaupun terdapat kemiripan temporal diantara kedua jenis musik tersebut.
2. Kemiripan kedua jenis musik juga menghasilkan nilai optimum yang sebanding bagi parameter Tingkat Pendengaran yaitu sekitar 78-80 dBA dan juga Waktu Dengung setelah pantulan awal.
3. Nilai Parameter IACC optimum untuk gedung Konser Gamelan Bali sesuai dengan kriteria musik klasik, yaitu makin di’ingin’kan jika memiliki nilai IACC yang lebih kecil. Tetapi konser musik Gamelan Bali lebih memerlukan ‘ruang / spatial’ dan menuntut tingkat diffusifitas medan sura yang lebih besar dibandingkan dengan musik klasik.
4. Perancangan Gedung Konser Gamelan Bali dapat dilakukan jika kebutuhan akan kapasitas penonton di dalam Gedung Konser tersebut sudah ditentukan.

Daftar Pustaka
1. Ando, Y. 1985. C oncert Hall Acoustics . Berlin. Springer Verlag.
2. Ando, Y. 1998. Architectural Acoustics, Blending Sound sources, Sound Fields and Listeners, AIP PRESS, SPRINGER-Verlag, New York.
3. Zwicker, E. and Fastl, H. 1990. Psychoacoustics Facts and Model. Berlin. Sprinnger-Verlag.
4. Barron, M. 1971. The subjective effects of first reflection in concert hall - the need for lateral reflections. Journal of Sound and Vibration 15.
5. Ando, Y. 1977. Subjective Preference in relation to objective parameters of music sound fields with single echo. Journal of Acoustics Society of America 62.
6. Ando, Y. and Kurihara, Y. 1986. Nonlinear response in evaluating the subjective diffuseness of sound fields. Journal of Acoustics Society of America 80.
7. Merthayasa, I G. N. 1996. Variation in the autocorrelation function of narrow-band noises: Their effect on loudness judgement. - Proceedings of the 3rd Japan-Sweden Noise Symposium, Japan.
8. Merthayasa, I G. N. 1996. The autocorrelation function of sound at each seat in a hall- Music & Concert Hall Acoustics. London. Proceedings from International Symposium, Eds. by Y. Ando and D. Noson, Academic Press.
9. Merthayasa, I G. N. 1996. Loudness in relation to the autocorrelation function of sound field in a room, Kobe-JapanKobe University, Dissertation.
10. Merthayasa, I G. N. 1995. Empat Parameter Objektif Utama yang menentukan Kenyamanan Suara di dalam Ruang Konser. Bandung-Indonesia. Proceedings of Seminar Nasional & Pameran Akustik ‘95 (ISSN 0853-6651).
11. Ando, Yoichi; Nakajima, Tatsumi; Yoshida, Jun, 1993, A Simple Methode of Calculating The Interaural Cross Correlation Function for Sound Field, J.Acoust.Soc.Am.93, 885 - 891.
12. Schroeder,M.R., 1984, Number Theory in Science and Communication, Springer-Verlag, Heidelberg.
13. Schroeder,M.R., 1991, The Fractal, Chaos, Power laws, Minutes from infinite Paradise, WH. Freeman, San Fransisco, CA.


Valid XHTML 1.0 Transitional


Return to: STUDI PERANCANGAN - GEDUNG KONSER GAMELAN BALI