Mendengarkan ruang
Posted in: Acoustics, Akustik, Akustika Arsitektur, IACC - Inter-Aural Cross Correlation, Impulse Response, Musik Tradisional Indonesia, Perancangan Akustik, Tulisan
Tulisan ini saya buat di Note nya Facebook… jadi ini adalah copy-paste nya..
Dan saya muat juga di blog ini
Bagi beberapa orang pembaca, judul di atas mungkin dipersepsikan atau dirasakan aneh dan tidak ada relevansinya, kenapa? Subjek dari judul tersebut, meskipun tidak dituliskan, tentunya adalah orang, apakah itu penulis, pembaca atau siapa saja. Predikatnya menunjukkan aktifitas yang berhubungan dengan kemampuan salah satu indra manusia yaitu telinga, sementara objeknya (yang umum dipahami orang, apalagi oleh para arsitek) berhubungan dengan kemampuan indra penglihatan yaitu mata. Jadi namppaknya tidak ada keterkaitan antara predikat dengan objeknya, apakah memang demikian..?
Dalam keadaan sadar, maksudnya tidak dalam kondisi tidur apalagi pingsan, bagi yang memiliki indra pendengaran yang normal maka kita dapat mendengar suara2 yang sampai ke telinga kita. Disini, kita tidak mempermasalahkan dulu tentang kualitas suara2 tersebut dari sisi fisikanya, namun yang terpenting bahwa suara2 itu sampai ke telinga kita. Kemudian, kita perhatikan posisi dimana kita berada, apakah itu di dalam ruangan/bangunan atau di luar ruangan/bangunan, namun satu hal yang pasti,kita pasti berada pada suatu ruang yang riil. Selanjutnya coba kita perhatikan dengan baik salah satu suara yang kita dengarkan itu, lalu perhatikan dari mana sumber suara itu berasal. Sebagai contoh yang sederhana, coba kita (hanya) perhatikan suara yang berasal TV yang ada di kamar tengah (misalnya). Dari posisi tempat duduk kita, maka kita dapat mendengarkan TV itu secara langsung sesuai dengan arah pandangan mata kita ke TV itu. Apakah kita hanya mendengarkan suara langsung dari TV saja? Ternyata tidak, karena sesuai dengan sekuensial waktu yang pendek (dg ukuran mikro sampai mili detik) kita juga mendengarkan suara pantulan yang diakibatkan oleh bidang pembatas ruang, misalnya dinding,lantai, langit2 dan juga benda2 yg ada di ruangan tersebut. Disamping itu juga, telinga kita juga menerima pantulan berulang-ulang yang diakibatkan oleh permukaan ruang itu. Suara yang terakhir ini sering disebut dengan suara dengung. Nach, kombinasi dari suara pantulan dan juga suara dengung itulah yg merupakan ‘response suara’ dari ruang itu. Perlu diketahui bahwa response ruang ini tergantung kepada volume, luas ruang dan juga karakteristik akustik dari material2 permukaan ruang itu.
Secara umum, kombinasi suara2 itulah yang memberikan impresi terhadap arti dari suara yg akhirnya terdengar oleh telinga kita. Pertanyaan yang sering muncul adalah sejauh mana kita memiliki kemampuan untuk membedakan ‘response suara dari ruang’ itu. Untuk memahami hal ini, pada perangkat audio yang biasa dipakai untuk karaoke ada suatu fungsi yang sering disebut echo dan reverb. Dengan fasilitas ini kita semdiri dapat mencoba sejauhmana kita bisa membedakan nilai echo dan reverb itu. Disamping itu, dengan sarana inipun kita dapat mengetahui kondisi echo & reverb mana yang secara subjektif memenuhi selera subjektif kita sendiri. Bisa dipastikan bahwa hampir setiap orang akan memilih echo & reverb yang tidak berharga nol (atau tanpa echo & reverb). Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan suara yang baik (secara umum dan bersifat subjektif) kita akan memerlukan echo & reverb itu, atau dengan kata lain kita ‘memerlukan ruang’. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa kita tidak hanya dapat melihat ruang, tapi kita dapat mendengarkan ruang.
Bagaimana dengan ruang anda sekarang..? Apakah anda dapat mendengarkan ‘response suara’nya itu..? Mungkin… kalau untuk ruang di rumah kita sendiri kita tidak terlalu memperhatikannya, tapi kalau kita perhatikan betul maka kita dapat membedakan suara di dalam ruang tidur, ruang tengah atau di kamar mandi (mungkin ini adalah ruang ‘favorit’ anda untuk bersenandung atau menyanyi). Bagi yang memiliki apa yg populer saat ini dengan sebutan ‘home theatre’ tentu dapat memahami arti dari ‘response suara’ dari ruang itu. Dan sering juga terjadi kalau pemilik ‘home theatre’ itu tidak puas dengan kondisi akustik ruang home theatrenya itu. Hal ini terjadi karena adanya ‘cacat’ akustik sebagai akibat tidak tepatnya ruang itu dibuat.
Selanjutnya, bagi ruang ditempat kerja dan juga ruang yang bersifat publik, hal yang sama juga terjadi, misalnya di sekolah, kampus, kantor, ruang rapat, auditorium, gedung olah raga, gedung kesenian dan sebagainya. Pada semua ruang itu juga terdapat ‘response suara’ dari ruang itu masing2, dan hal ini ’sering’ terabaikan ketika membuat ruang itu. Apakah perancang ruang itu tidak tahu akan hal itu, saya yakin jawabannya adalah tidak, karena perancang ruang atau arsitek pd umumnya mempelajari hal ini ketika kuliah dulunya. Mungkin persoalan utamanya adalah karena kurangnya perhatian kita kepada kondisi alami yang ada dilingkungan kita sendiri baik di dalam atau di luar ruang.
Yang akhirnya kita alami adalah pada kondisi tertentu secara langsung maupun tidak langsung kita dirugikan oleh ‘ke-kurang perhatian’ kita itu. Sebagai contoh, kita ’sering’ tidak sadar bahwa anak kita yg bersekolah di sekolah yang terletak dipinggir jalan yang ramai, tidak dapat menerima pelajaran yg diberikan secara utuh, dan hal ini ’sering juga’ kita anggap biasa. Banyak contoh lain yang bisa kita temukan di dalam keseharian kita berada di suatu ruang (terbuka atau tertutup dan juga di dalam atau di luar ruangan).
Silahkan anda ‘dengarkan’ sendiri ruang anda..
Komentar & Response
Betul sekali Pak Saptono, pendengaran kita tidak memiliki kemampuan untuk mengenali bentuk ruang/benda yang biasa kita nyatakan dengan 3 dimensi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan faktor dimensi untuk … Read Morepenglihatan (3 dimensi untuk ruang dan 1 dimensi utk waktu), sementara pada pendengaran dimensi untuk ruang hanya ada satu sementara 3 dimensi dinyatakan dengan waktu.
Pada kehidupan alami & nyata, kedua indra ini mesti sinkron dan selaras (tentunya pd orang normal), shg menafikkan salah satunya akan menimbulkan dampak ‘ketidak nyamanan’. Sebagai contoh, jika kita mendengarkan musik melalui headphone, maka ruang yg kita dengarkan terputus dengar ruang riilnya. yg terdengar oleh kita adalah ‘ruang virtual’ yg tertanam didalam rekaman musiknya (dan ini diciptakan oleh ’sound engineer’ ketika proses rekaman dilakukan).
Yg kedua, kalau tidak ada udara, kita tidak bisa mendengar apa2 Pak, karena medium penjalaran suara itu sebelum sampai ke telinga kita adalah udara.
Memang sbgi ilmu terapan, asitektur identik dgn ruang dan bentuk. Belum bnyk yg bicarakan kaidah waktu. Mungkin kaidah arsitektur Feng Shui sdh melakukannya. Sementara suara merambat melalui ruang dan mencapai telinga kita dlm hitungan waktu rambat. Dgn demikian argumen ttg ruang yg bisa didengar, masuk akal dan bisa diterima. Sementara seringkali arsitek selama masa belajarnya “sering kabur” krn kalau belajar soal ini selalu identik dgn matematika + fisika, hal yg sering dikhawatirkan oleh anak-anak, orang tua, termasuk arsitek ! He he he >_<Ada nggak ya Pak, buku / cara praktis ttg menghitung hal ini di Gramedia ? Sbb majalah yg sering saya beli biasanya cuma bicara ttg terapannya saja, tapi jarang yg ada rumus praktis ttg hal ini, atau kalau ada koq ya rumit yaa ? Atau sy yg telmi ? Malah biasanya cuma ttg estetika ruang karaoke & home theater dgn pendekatan jual barang elektronik doang tuh.
Terima kasih bnyk wawasan akustik saya bnyk terbuka setelah baca bbrp Notes Bpk.
Betul sekali Andora, memang yang dimaksud itu adalah ‘impulse response ruangan’ yang bisa dinyatakan & diukur dengan satu channel microphone. Namun, untuk menyatakan kualitas akustik ruangan kita membutuhkan secara total empat faktor utama berupa faktor temporal, … Read Morespektral dan spatial. Komponen spatial yang diterima oleh pendengar mesti dinyatakan dengan response binaural memanfaatkan 2 channel microphone & dummy head. Disamping itu, karakteristik sinyal dari sumber suara juga menentukan dan hal ini yg menyebabkan perbedaan ‘preferensi’ terhadap ‘Sub-sequent reverberation time’ yang berbeda untuk keperluan ’speech’ dan ‘musik’. Semua aspek itu berada di luar ‘inner space’ dari penerimanya yaitu ‘human’..
Gammatte kudasai ne..
For me… i still work and develop all my senses…
mohon kliik: http://arungmaya.blogspot.com/2009/04/nano-memory.html untuk kejelasan maksud saya
Besaran ini diyakini bersifat seperti ‘repetitive feature’ yg ada di dlm sinyal suara itu sendiri, dan dalam bentuk seperti ini tersimpan di dalam memory otak manusia.
Kombinasi antara adanya memory pd otak dan ‘trigger’ akibat TauEE ini, misalnya dapat menyebabkan manusia dapat mengenali ungkapan kalimat dari pembicara meskipun ungkapan belum selesai disampaikan. Hal yg sama tidak akan dapat dilakukan ketika kita mempelajari bhs yg baru. krn di memory kita belum tersimpan.. Demikian juga halnya ketika kita mendengarkan musik atau suara2 dr lingkungannya yg biasa didengarkannya..
Satu hal lagi, adanya ‘repetitive feature’ pd sinyal speech atau musik yang berbeda-beda ini menyebabkan terjadinya kebutuhan akan kondisi akustik ruang yang berbeda-beda.. Dan hal ini, tidak sepenuhnya dapat diatasi dengan memanfaatkan sistem tata suara. Oleh karena itu, jika ada ‘vendor’ sound system yg menyatakan bahwa systemnya dapat mengatasi semua dampak akustik ruang, itu berarti vendor tsb ‘menipu’ anda agar membeli produknya..
Nilai IACC ditentukan oleh adanya impulse response di telinga kiri & kanan, akibat adanya ruang – termasuk semua karakteristik akustik dari seluruh permukaan ruang, dari satu sumber suara.
Dengan demikian, sekuensial waktu dari sinyal beserta nilai energinya merupakan komponen utama dari nilai IACC. Satu hal lagi, IACC harus dihitung dengan memanfaatkan karakteristik spektral telinga manusia, maka dipakailah ‘weighting network A’ – dBA. Dengan demikian dapat dipahami bahwa IACC sangat tergantung kepada kondisi akustik ruangan, independen terhadap karakteristik sinyal yg dihasilkan oleh sumber.
Permukaan difus (secara akustik) akan menentukan karakteristik energi sekuensial yg sampai ke kedua telinga. Penempatan & karakteristik permukaan difus (mis. Schroeder diffusor sampai BAD panel) sangat menentukan apakah IACCnya akan turun, tetap atau malahan naik. Perlu jg dipahami, diffusor memiliki karakteristik akustik yg cukup unik, meskipun typenya sama jika dipasang dg cara berbeda akan menghasilkan ’sound field’ yg berbeda. Karena itu, ’salah besar’ kalau mencoba memanfaatkan design instalasi difusor disatu ruang kemudian di’copy paste’ di site yg lain.
Satu ‘hint’ yang cukup aplikatif : Nilai IACC sangat dipengaruhi oleh kondisi akustik permukaan dinding pada ‘bidang dengar’- bidang horisontal antara telinga & sumber.
Mdh2an bisa cukup menjawab ya.. Ismail.. Good luck with your journey..
Salam utk Pak Paul ya…;-)
Return to: Mendengarkan ruang
Social Web