What is this? From this page you can use the Social Web links to save Gedung Kesenian yang (secara akustik) baik to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
May 19, 2009

Gedung Kesenian yang (secara akustik) baik

Posted in: Acoustics, Akustik, Akustika Arsitektur, IACC - Inter-Aural Cross Correlation, Impulse Response, Musik Tradisional Indonesia, Perancangan Akustik, Tulisan

Tulisan ini termuat di Note saya di Facebook..

Dan juga saya simpan di blog ini..

Dari namanya semestinya dapat disimpulkan bahwa gedung seperti ini dibangun tentunya dengan tujuan agar dapat menunjang perkembangan dan peningkatan kualitas kesenian di daerahnya. Jika dilihat dari sisi tujuannya tidak ada yang salah, bahkan dapat dikatakan tujuannya sungguh mulia sekali karena ini menyangkut ‘rasa’ yang dimiliki oleh masyarakat daerah itu disamping juga diperuntukkan sebagai wujud apresiasi dan kebanggaan dari sisi pengambil & penanggung jawab kebijakan, dalam hal ini PemDanya, kepada masyarakatnya. Jika tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan BENAR maka masyarakat di daerah itu akan dapat meng’ekspresi’kan dirinya dalam bentuk kesenian yang khas yang nantinya menjadi ciri & ‘icon’ yang bersifat unik. Dimasa yang lalu, hal ini pernah terjadi pada saat Srimulat sedang berada pada masa jayanya.

Pada kenyataan yang ada sekarang, hampir semua Gedung Kesenian yang dimiliki oleh PemDa2 di seluruh Indonesia, tidak mampu untuk mewujudkan tujuannya itu. Pengecualian tentunya terjadi misalnya pada Gedung Kesenian Jakarta. Karena ketidak berhasilannya mencapai apa yang menjadi tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan Gedung Kesenian itu ‘hanya’ menjadi beban keuangan bagi PemDa-nya, yang ujung2nya juga menjadi beban bagi masyarakatnya. Hal ini tentunya akan menimbulkan tanda tanya, Kenapa hal itu terjadi?

Pada kesempatan ini, penulis tidak akan berusaha menjawab tanda tanya itu dari sisi keuangan, kebijakan, sosial, budaya bahkan dari sisi politiknya sekalipun. Penulis akan menekankan hanya dari salah satu aspek fungsional Gedung Kesenian itu sendiri, yaitu dari sisi akustik-nya. Sisi akustik ini merupakan salah satu aspek terpenting berupa media komunikasi anntara seniman & audience-nya, yang mesti menjadi ‘roh’ dari keberadaan bangunan ini. Tanpa adanya kondisi yang tepat bagi ‘roh’nya ini, bisa dipastikan bahwa fungsi gedung itu tidak akan tercapai. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kondisi akustik yang seharusnya dibuat/dirancang agar terjadi di dalam Gedung Kesenian ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, hal pertama yang mesti diperhatikan adalah kesenian atau seni pertunjukan apakah yang mau dipresentasikan dan dijadikan sebagai ‘icon’ dari daerah tersebut? Hal ini berhubungan dengan cukup lebarnya domain dari bidang seni pertunjukan itu sendiri. Yang paling berwenang untuk menjawab tentunya para budayawan, terutama sekali budayawan seni pertunjukan di daerah itu. Konsultasi dan usulan dari para budayawan daerah itu menjadi salah satu kunci utama kearah pencapaian tujuan dari keberadaan gedung itu. Disamping itu, diperlukan juga suatu telaah yg cukup mendalam atas potensi seni pertunjukan yg dimiliki oleh daerah itu, misalnya melalui suatu ‘feasibility study’ yg nantinya bermanfaat untuk menunjang ’sustainability’nya.

Setelah diketahui ‘ciri khas local genius di bidang seni pertunjukan di daerah itu’, selanjutnya perlu dicari karakteristik akustik dari seni musik yang menunjang seni pertunjukan itu sendiri. Berbagai jenis seni musik, apalagi yang berkarakteristik tradisional, dimiliki oleh bangsa ini, dan seni ini cenderung menghasilkan keunikannya masing-masing. Sebagai contoh, kota Bandung memiliki musik tradisional yang khas, misalnya musik angklung dan musik degung. Secara akustik karakteristik musik angklung tentunya berbeda dengan karakteristik musik degung. Konsekwensinya, gedung yang sesuai untuk musik angklung tentunya akan berbeda dengan musik degung. Dengan kenyataan seperti ini, apakah masing-masing seni musik itu mesti memiliki gedung keseniannya masing2..? Jika ditinjau dari sisi akustik, dengan tujuan untuk menonjolkan kualitas seni musiknya masing2, maka jawabannya adalah “ya”, masing2 seni musik ini HARUS memiliki gedung kesenian yang khusus diperuntukkan bagi pagelarannya.

Untuk mengurangi biaya yg dibutuhkan untuk membuat masing2 gedung kesenian tersebut, Apakah bisa dicarikan suatu kondisi akustik yg ’suitable’ untuk kedua jenis musik ini? Tentu saja bisa, selama kondisi tersebut masih cukup memadai untuk dapat menunjang ‘performansi’ keduanya. Namun sering terjadi, kompromi seperti ini tidak dapat dilakukan sebagai akibat dari terlalu besarnya perbedaan karakteristik akustik yang dibutuhkan tersebut.
Apakah bagian dari karakteristik akustik yang paling berpengaruh kepada sisi arsitektur ruangannya? Salah satu dari beberapa komponen akustik tersebut disebut dengan ‘waktu dengung’ ruangan. Besaran ini sangat tergantung kepada volume ruangan dan jumlah total luas permukaan2 ruangan dikalikan dengan koefisien penyerapan suara dari masing2 permukaan ruangan tersebut. Makin besar volume ruangan makin panjang waktu dengungnya, namun makin luas volume permukaan ruangan makin kecil waktu dengungnya.

Secara umum, disamping komponen ‘waktu dengung’ terrsebut, kondisi akustik yang baik sangat ditentukan oleh faktor spektral, temporal dan spatial dari medan suara yang didengarkan ‘audience’. Seluruh komponen itu (beserta turunan2 parameternya yang bersifat subjektif) mesti berada pada kondisi optimum atau pada suatu ‘range’, yang sangat tergantung kepada karakteristik dari musiknya sendiri. Permasalahan utamanya adalah ketiadaan dari data kondisi akustik optimum tersebut, yang akhirnya berdampak kepada “pen’dikte’an seni musik oleh perkembangan teknologi elektronik sistem tata suara”. Hal terakhir itu, secara tidak langsung mengakibatkan bergesernya ‘preferensi’ masyarakat atas kondisi akustik yang baik itu, dari kondisi ‘natural’ menjadi kondisi ‘artificial’. Pada kondisinya yang cukup ekstrim bahkan mengubah persepsi masyarakat dengan menjadikan ‘kondisi akustik yang dihasilkan oleh home-theatre system lebih baik dari theatre yang sebenarnya’.

Jadi, kondisi akustik yang baik itu, yang ‘natural’ atau ‘artificial’..?

Komentar & Response

Felix Susanto
Felix Susanto at 9:04pm April 12
Pandangan yang menarik Pa Komang.
Secara budaya yang berkembang musik-musik kita adalah penyatuan diri dengan Tuhan atau alam. Sehingga kondisinya secara budaya adalah natural.
Namun jika kita ingin mengkoordinir ruang akustik untuk pentas musik tradisional mungkinkah disediakan ruangan semi terbuka (seperti taman atau sejenisnya) yang memiliki tata akustik yang dapat mengayomi semua jenis alat musik?
Karena jika kita memfasilitasi dengan ruang berkesenian yang memiliki akustik yang baik, bisa-bisa kepuasan audience hanya terpenuhi dengan mendengarkan langsung dari ruang kesenian di daerah alat musik tersebut berasal. Dan itu akan sangat menyulitkan penyebaran budaya musik tradisi di Nusantara dan pertukaran budaya antar daerah di Nusantara. Karena kita dapat salah menilai mutu atau kuatitas musik tradisi yang tampil bukan di daerah asalnya.
Maaf jika sudut pandang saya ada yang keliru.
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 9:14pm April 12
Terima kasih Pak Felix atas komentar & usulannya.
Secara teknis memang sangat memungkinkan Pak, meskipun dari sisi kualitas akustik yg diterima audience nya tidak mungkin untuk mencapai kondisi optimal. Disamping itu kondisi lingkungan yang bising jg cukup mengganggu ‘attention’ yg ada pada audience, disamping mengurangi tingkat ‘dinamis’ dari Read Moremusiknya.
Dari sisi akustik, landscape yg bagus dapat meningkatkan suasana ‘outdoor space’ itu Pak.. Prof. saya di Jepang bahkan pernah mengupas tentang ‘acoustics spaciality’ dari lingkungan hutan lho..
Felix Susanto
Felix Susanto at 9:55pm April 12
Pak Komang, manggil saya Felix saja, atau mas Felix. (terserah).
Saya sudah seperti cucu Bapa, jadi tidak pantas dipanggil Bp.
Maaf, saya sempat lupa dengan kendala di kota-kota besar di Indonesia.
Hasil pengamatan Prof. Bp menarik juga tentang ‘acoustics spaciality’ di lingkungan hutan, karena dengan bekal ilmunya kita dapat memahami kekayaan budaya Alat Musik Tradisional Nusantara. Sehingga dapat dipahami dan dapat dimasuki oleh disiplin ilmu lainnya. Sehingga alat musik kita dapat disalamatkan secara utuh.
David Klein
David Klein at 12:39am April 13
Istimewa Pak Komang. nanti saya konser 5.1 di RRI Bdg saja ya Pak, duet elektrik piano, RT60 harus di bawah 0,8s
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 10:57am April 13
Kalau saya siih berpendapat tata akustik yg baik itu butuh hibridisasi keduanya. Sbb tujuan tata akustik itu utk mewadahi kegiatan audio – video yg beragam. Hanya kalau boleh mengurutkan prioritasnya : 1) Design ruang yg sesuai dgn hitung teknis fisika bangunannya dulu – jgn sekedar ada hall, bangku, dan panggung sdh disbt gdg seni pertunjukan. 2) Read MoreBila syarat akustik tercapai, kombinasi tata suara buatan guna mendukung optimalisasi audio – video bisa ditambah tetapi dgn ongkos investasi yg relatif lbh masuk akal, sbb tata akustik “natural” ruang sdh dikemas dlm tata kelola ilmu fisika akustik. 3) Kecuali peruntukan gdn tadi mmg sdh khas utk suatu seni perform tertentu – mis. angklung yg tadi – bisa saja mmg dikemas murni natural akustik guna meraih audio yg natural. Dlm hal ini pembuatan gdg. akan terjadi pengkatagorian & klasifikasi yg lbh rinci sesuai kebutuhan dan tujuannya.
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 10:59am April 13
Anyway saya juga main guitar di band jadi kalau manggung yg ruang bnyk kaca, marmer, waah ampun suara mental-mentul, jadi gariing suara yg keluar nggak warm. Kalau sound engineer dan tata soundnya bagus siih lumayan bantu, tapi enggak, waah babak belur ! Maklum artis kampuung jadi jarang dapat tata sound bagus. He he he he he !
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 11:15pm April 14
Great Pak Peter.. karena anda juga pemusik dan memiliki ‘kemampuan’ untuk mengungkapkan ‘the good or bad sound’, hal ini sendiri sudah merupakan kelebihan yang sangat baik Pak. Seringnya, seniman tahu mana yang ’sound’ yang baik atau jelek, tetapi tidak mampu untuk mengungkapkannya secara riil dengan ‘rangkaian kalimat verbal’ yang sederhana Read Moresekalipun. Opini tersebut sebenarnya sangat kami perlukan untuk dapat mengambil ‘langkah2′ untuk memperbaiki dan meningkatkan ‘performansi nya para seniman’ itu.. Salah satu upaya untuk ‘menjembatani’ hal ini adalah dengan memanfaatkan konsep ‘physio-acoustics’ yaitu dari response EEG para seniman atau empu musik tradisional Indonesia.. Riset tentang hal ini sedang kami kerjakan Pak Peter.. mudah2an dapat bermanfaat.. Mohon dukungannya ya Pak (honestly lho).. -)
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 10:34am April 15
Pasti Pak !
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 9:41pm April 15
Terima kasih David Klein.. You always know what I mean.. -)
Kalau konser jangan lupa undangan (freepass)nya ya.. ;-)
nanti juga anda saya undang lagi ke Kampus lho.. pasti -)
Pak,
Saya sangat tertarik dengan semua isi blognya D Apakah karena Saya juga pemusik yang sangat manja dan mencle dan terkesan sangat sensitif hampir tidak toleran jika ditanyakan ttg kualitas suara.
Oh iya pak, Dengan membaca (masih beberapa dan belum smua) artikel yang bapak muat, Saya berpikir. Berarti sebenarnya Acoustic Engineer (misalnya seperti Bapak, ceileee D ) harusnya sangat berperan dalam hal seni musik pertunjukan. Dalam artian,
Dengan ilmu acoustic seorang engineer itu bisa merekayasa satu gedung menjadi memiliki multi acoustic karakteristik. Sehingga, gedung2 pertunjukan di Indonesia yang sudah jelek akustiknya dapat diperbaiki sehingga memiliki akustik yang baik, atau bahkan dapat membuat gedung yang akustiknya secara fleksibel bisa disesuaikan dengan genre musik yang akan dimainkan, sehingga gedung itu benar2 bisa dipakai untuk pertunjukan apapun.
Apakah pendapat Saya ini benar atau sudah tersesat ya Pak ?

rgrds,

Ecko Manalu

Dear Ecko,
Terima kasih atas komentarnya..
Betul sekali, sebagai Acoustician (atau ‘acoustics engineer’) saya memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk merancang kondisi akustik yang baik, bahkan sampai sekelas ‘Concert Hall’ dengan kualitas akustik yang bertaraf International (ini bukan untuk menyombongkan diri lho.. tapi memang sampai seperti itulah adanya). Bukan hanya untuk merancang akustik bagi ruang ‘indoor’ tetapi juga ‘outdoor’, bahkan sampai ke merancang kondisi bising ‘noise design’ di industri (pabrik2/power plan/refinery plan) dan juga lingkungan (airport, perkotaan dsb.nya).
Untuk lingkungan seni pertunjukan, misalnya pertunjukan musik, film, drama, sendratari dsb.nya, peran utama saya sebenarnya adalah disisi akustik ruangannya, yaitu merancang gedung pertunjukkan/gedung kesenian/ruang rapat – conference hall/ruang serbaguna/concert hall dsb.nya sehingga kondisi akustiknya sesuai dan tepat untuk maksud tersebut. Kemudian juga merancang sistem tata suara dan instalasinya untuk keperluan itu.
Sementara untuk operasional sound system pada saat pertunjukan berlangsung, ditangani oleh ’sound engineer’ yang menangani operasional peralatan sound system sehingga menghasilkan suara yang baik dan tepat.
Gedung yang kondisi akustiknya fleksibel sesuai dengan kebutuhan ‘genre’ musik yang dimainkan bahkan juga bisa dipakai untuk hal lain diluar pertunjukan musik, biasanya disebut multi-purpose hall atau Gedung Serba Guna..
Mudah2an bisa menjawab ya…
Sebagai seorang musisi, memang sebaiknya Ecko juga belajar akustik agar dapat menghasilkan performansi musik yang baik..
wah… paparannya luar biasa pa komang…

salah satu impian saya nih membangun gedung konser/kesenian yang secara akustik dan tata letak kursi enak untuk nonton..


Return to: Gedung Kesenian yang (secara akustik) baik