Archive for April, 2011

Ketemu Opak

Thursday, April 28th, 2011

Opak adalah sejenis krupuk yang mungkin terbuat dari tepung beras dan banyak ditemui di wilayah Priangan. Makanan ini tergolong makanan rakyat - murah, meriah dan renyah. Memiliki sejumlah rasa, mulai yang hambar hingga asin, tergantung racikan bumbunya. Mungkin bahkan juga sudah ada yang diberi lapisan keju. Tentu sangat menarik jika makanan yang persis sama ini dapat ditemui juga di seantero Jepang. Ada sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik yaitu dari mana sebenarnya makanan tersebut: dari Garut atau Jepang? Tidak ada maksud untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Kelebihan Jepang dalam menjual opak (mungkin juga menjual apapun) adalah dalam kemasan. Opak yang merupakan makanan sederhana itu menjadi tampak terkesan elite setelah dibungkus dengan berbagai kertas warna-warni. Ada bungkusan tunggal (satu bungkus satu opak), ada pula yang berisi sejumlah opak dalam satu bungkusnya. Di daerah-daerah objek wisata, khususnya di sekitar kuil, selalu ada opak elite yang dijual. Jepang sangat piawai dalam menjual apapun, termasuk opak. Semua tradisi yang dimilikinyapun amat laku dijual kepada siapapun karena dikemas dengan sangat menarik. Opak hanya sebuah contoh kecil, yang di wilayah Priangan mungkin suatu saat akan punah jika tidak ada usaha khusus. Opak mulai kalah dengan berbagai chips berlisensi luar negeri yang ditawarkan dengan kemasan menarik. Tentu masih ada yang lain, yang juga dalam keadaan hidup segan mati tak hendak. Moga-moga tidak sampai terjadi suatu saat Indonesia dibanjiri Opak dari Jepang sebagaimana kini dibanjiri buah-buahan luar negeri padahal dulu itu semua adalah produk asli lokal.

Ke Osaka Kembali

Friday, April 22nd, 2011

Inilah kunjungan pertama ke Jepang setelah gempa besar yang disusul tsunami di sebelah utara Tokyo. Sebenarnya rencana kunjungan untuk memenuhi undangan kolega adalah pada bulan Januari 2011. Namun karena banyaknya pekerjaan  yang harus diselesaikan di Indonesia maka baru pada pertengahan April kunjungan itu dapat direalisasikan. Tentu ada sedikit kekawatiran mengingat persoalan reaktor nuklir Fukushima yang belum juga dapat diselesaikan dengan baik. Bahkan info terakhir menunjukkan bahwa tingkat radiasi dinaikkan ke skala maksimal 7. Dengan asumsi bahwa kunjungan dilakukan ke Osaka yang relatif jauh dari lokasi bencana dan juga mengingat pentingnya menjaga hubungan silaturahmi maka akhirnya kunjungan itu dilaksanakan juga. Begitu mendarat di Kansai maka yang harus dihadapi adalah dinginnya udara. Hingga bulan April tahun ini ternyata udara dingin masih juga tersisa; tentu dingin relatif untuk orang yang sehari-hari berada di wilayah tropis. Jika sebelum berangkat mendapat info bahwa di wilayah Tokyo terjadi giliran pemadaman listrik, sekurang-kurangnya 3 jam dalam semalam, ternyata hal tersebut tidak terjadi di Osaka. Kedua wilayah itu ternyata mempunyai sistem tenaga listrik yang berbeda dan terpisah sama sekali, tidak ada saling pengaruh. Setelah dua hari berada di Osaka, rasanya tidak ada perbedaan dengan tahun sebelumnya, kehidupan berjalan normal saja. Kalaupun ada perbedaan, mungkin hanya pada langkanya air mineral dalam kemasan botol besar. Menurut kawan-kawan kelangkaan itu disebabkan karena umumnya masyarakat masih kawatir untuk menggunakan air ledeng sebagai bahan baku air minum.  Tentu, banyak sekali ceritera mengenai betapa heroiknya masyarakat Jepang menghadapi bencana besar itu, sebagaimana yang banyak kita baca dari koran-koran di Indonesia. Masyarakat Jepang memang mempunyai sejumlah kultur dan budaya yang mengagumkan, yang bangsa-bangsa lain perlu belajar daripadanya. Sungguh beruntung dapat mengenal, melihat dan merasakan secara nyata hal tersebut dengan hadir ditengah-tengah dan bersama mereka.

Nurani

Saturday, April 16th, 2011

Nurani sering diartikan sebagai hati, dalam arti perasaan, yang paling dalam dan oleh karenanya bersifat murni, orisinil. Ia sering pula diyakini sebagai selalu memihak kepada kebenaran. Tidak jarang dikatakan oleh banyak orang:”Cobalah tanya nuranimu” yang biasanya diartikan sebagai ada sesuatu yang salah dan dengan halus diminta untuk mengoreksinya melalui pertanyaan untuk bertanya kepada nurani. Nurani juga diyakini sebagai mata yang paling tajam untuk melihat realitas khususnya realitas sosial. Seolah-olah nurani dapat membedakan antara kenyataan dan fatamorgana. Ia tidak dapat ditipu oleh berbagai kosmetika yang bersifat kesementaraan dan topeng belaka. Dengan SifatNya yang adil dan penuh dengan kasih sayang nampaknya Tuhan Sang Pencipta memang melengkapi manusia dengan sebuah instrumen dalam dirinya yang amat canggih; instrumen yang dapat digunakan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang haq dan yang bathil. Lalu bagaimana jika ternyata ada manusia-manusia yang ternyata tenggelam dalam kesemuan, selalu dalam kekaburan dalam membedakan antara yang benar dengan yang salah. Adakah Tuhan lupa melengkapinya dengan instrumen itu? Atau mengapa instrumennya tiba-tiba atau setelah melalui proses yang panjang ternyata kemudian tidak berfungsi dengan baik lagi? Jika instrumen itu selalu menyertai setiap manusia sejak ia lahir maka nampaknya dalam perjalanan hidupnya kemudian instrumen itu nampaknya mengalami gangguan, ia tidak lagi sensitif, tidak lagi peka, tidak lagi presisi, tidak lagi akurat. Perlu sebuah langkah kalibrasi kembali, perlu diasah lagi. Nurani yang terus menerus ditolak saran-sarannya, terus menerus secara semena-mena dikhianati, akan seperti sebuah cermin yang sedikit demi sedikit tertutup oleh debu. Dalam jangka waktu yang panjang fungsi cermin itu akan hilang sama sekali. Betapa mengerikannya jika itu dialami oleh para pemimpin publik, oleh para wakil rakyat yang terhormat, oleh para ulama tempat umat bertanya, oleh para ilmuwan yang membangun nilai kebenaran. Semoga itu tidak pernah terjadi di negara ini.

Alangkah Banyaknya Nikmat Itu

Monday, April 11th, 2011

Alhamdulillah, setelah tertidur beberapa jam semalam, kemudian tersadar dan dapat bangun kembali. Banyak juga yang kita ketahui, tertidur nampak nyenyak beberapa saat, namun kemudian berangkat begitu saja untuk tidak kembali lagi. Bangun kembali dari tidur dalam keadaan sehat afiat, sungguh sebuah nikmat yang sering dilewatkan begitu saja. Segera terpikir beberapa hal yang harus diselesaikan di hari kita terbangun. Sungguh suatu nikmat yang tidak kecil artinya ternyata kita masih memiliki fungsi dalam hidup, ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu, apapun bentuknya. Kegiatan atau pekerjaan yang kita miliki sungguh merupakan salah satu jenis nikmat yang juga sering dilupakan, diabaikan dan bahkan sering kali disesali. Berjalan dari tempat tidur menuju meja lalu meminum air putih yang sebelum tidur telah kita siapkan. Itu juga jenis nikmat lain yang juga sering terlewatkan karena hanya segelas air putih yang tiada mengandung rasa, hambar, apalagi jika memperolehnyapun tidak perlu membayar, tinggal mengambil dari sumur. Hampir saja lupa, beruntung juga oksigen yang kita hirup juga tidak perlu membayar, telah tersedia gratis di udara. Entah berapa banyak harus kita bayar seandainya oksigen yang dihirup bebas selama hidup  itu dihitung dengan rupiah. Daftar nikmat itu mungkin tidak akan pernah selesai ditulis sepanjang hidup. Sering kesemuanya itu terasakan sebagai suatu kewajaran sehingga lewat begitu saja dari pengamatan dan perenungan manusia. Alangkah keringnya cita rasa hati seorang manusia manakala tidak mampu menemukan rasa syukur dan berterima kasih atas banyaknya nikmat yang telah diterimanya itu. Semoga kita mampu mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih itu dengan benar.

Satu Persatu Mereka Pergi

Friday, April 8th, 2011

Satu demi satu mereka pergi untuk tidak kembali. Bahkan banyak diantaranya tanpa pamit dan memberi tahu terlebih dahulu, juga tanpa tanda-tanda yang nyata. Baru kemarin jumpa, dalam keadaan sehat ‘afiat pula. Namun dikala shalat subuh di masjid diumumkan bahwa tengah malam tadi ia pergi untuk tidak kembali lagi. Sebenarnya kejadian seperti itu adalah hal yang lumrah, biasa, kejadian sehari-hari. Ia akan menimpa siapa saja, termasuk diri sendiri. Meskipun begitu, sering kali berita seperti itu tetap saja mengejutkan, apalagi jika menimpa orang-orang yang kita kenal. Jika itu menjemput kita di saatnya nanti mungkin juga akan mengejutkan sebagian yang lain, yang masih berbaris rapi mengantri, menunggu jemputan waktu. Ada apa di balik pintu itu, pintu kematian? Tidak ada seorang manusiapun yang tahu. Tidak pernah ada berita dari mereka yang telah pergi; tidak sms, tidak telpon, tidak pula email. Mereka telah pergi menuju wilayah yang tidak pernah mereka dan kita kenal: the unknown territory. Itu suatu wilayah kehidupan baru, tentu untuk mereka yang percaya saja. Bagi yang tidak percaya, itu sekedar wilayah ketiadaan. Sebuah pilihan bebas dengan konsekuensinya masing-masing. Yang jelas, yang telah pergi, tidak ada yang pernah kembali. Selamat jalan, kamipun sedang antri menunggu.