Archive for May, 2011

Pendidikan Tinggi: Catatan Ringan

Monday, May 30th, 2011

Akhir-akhir ini universitas-universitas luar negeri sangat agresif mencari anak-anak Indonesia yang ingin atau bersedia kuliah ke luar negeri. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa mereka begitu agresif mencari calon mahasiswa di Indonesia. Pertama, cukup banyak orang Indonesia yang tergolong sangat mampu sehingga sanggup membiayai putra/i-nya ke luar negeri. Dengan demikian Indonesia jelas merupakan sebuah pasar yang amat potensial bagi universitas luar negeri itu. Perlu diingat bahwa daya tampung universitas di dalam negeri sangatlah terbatas dan untuk sejumlah dari padanya terkenal mempunyai persaingan yang amat sengit dalam proses penerimaan mahasiswanya. Kedua, cukup banyak pula anak Indonesia yang dapat digolongkan amat super kemampuan intelektualnya dan oleh karena itu mereka akan menjadi aset yang luar biasa berharganya bagi universitas yang ingin terus meningkatkan produktivitas dan kualitas risetnya. Indonesia menghadapi dilema dalam menghadapi kenyataan di atas. Perlu diketahui biaya per tahun untuk kuliah di Australia dapat mencapai angka 500-an juta rupiah (250-an juta untuk uang sekolah dan 250-an juta untuk biaya hidup). Meskipun demikian ternyata cukup banyak para orang tua yang sanggup menyekolahkan putera/inya ke sana. Alangkah banyaknya devisa negara yang tersedot lewat dunia pendidikan tinggi itu. Pada saat yang sama, pendidikan tinggi dalam negeri tidak dapat meningkatkan kualitasnya akibat keterbatasan dana yang tersedia. Biaya kuliah yang dapat dipungut oleh universitas (negeri) dari mahasiswa tidak mungkin lebih dari 15 juta rupiah per semester.  Jika ditambahkan dengan subsidi pemerintah plus usaha mandiri universitas, mungkin anggaran per mahasiswa per tahun di Indonesia hanya sekitar 40-an juta rupiah. Jadi dari sisi anggaran perbedaan antara universitas dalam negeri dan luar negeri (negara maju) memang seperti langit dan bumi. Ini memang merupakan tantangan bagi para administratur dan birokrat perguruan tinggi di Indonesia. Dari satu sisi menghadapi keterbatasan dana namun pada saat yang sama tidak boleh kehilangan idealisme untuk terus mendidik dan memberi kesempatan pada anak bangsa meretas jalan ke atas, bahkan bagi yang paling miskin sekalipun. Selalu ada jalan: di mana ada kesulitan di situ pasti tersedia jalan karena Tuhan akan selalu ada.

Indonesia Bisa

Saturday, May 28th, 2011

Saya termasuk yang amat yakin bahwa masa depan bangsa Indonesia amat cemerlang. Bangsa ini mempunyai sumber daya yang luar biasa. Bahan-bahan alam yang amat berlimpah dan jumlah penduduk yang juga tidak kecil angkanya. Kombinasi keduanya, berdasar realita saat ini, jelas masih merupakan suatu potensi yang belum terkelola dan termanfaatkan dengan baik. Namun saya yakin dengan berjalannya waktu, kecerdasan bangsa ini dalam mengelola keduanya akan semakin meningkat, dan pada saatnya nanti bangsa ini akan bangkit menjadi kekuatan yang amat disegani di dunia. Memang benar bahwa jika menyaksikan realita sehari-hari saat ini harapan itu seperti sebuah mimpi di siang hari bolong, sebuah fatamorgana saja. Kecarutmarutan tersebar hampir merata, tragedi kesembronoan pengelolaan bangsa terjadi setiap hari, penderitaan anak bangsa melanda cukup masif, ketiadaan jaminan masa depan menimpa jutaan anak mudanya, dan daftar hal-hal negatif ini dapat terus diperpanjang tanpa batas. Kenyataan tersebut tidak menyurutkan sedikitpun keyakinan saya bahwa masa Indonesia sungguh amat cemerlang. Persis seperti seorang Ibu yang akan melahirkan jabang bayi. Beliau menderita dalam waktu yang panjang, 9 bulan. Penderitaan itu dari waktu ke waktu terus meningkat sampai kemudian tiba saatnya jabang bayi lahir. Lahirnya suatu bangsa atau peradaban besar nampaknya juga mirip dengan kelahiran jabang bayi, pewaris masa depan. Ada masa-masa kelam, yang dipenuhi dengan penderitaan dalam waktu yang panjang, untuk ukuran bangsa atau peradaban dapat berarti puluhan hingga ratusan tahun. Amerika Serikat bahkan masih mengalami perang saudara setelah dua abad mengumumkan kemerdekaannya terhadap penjajahan Inggris. Setiap bangsa atau peradaban mempunyai masa kejayaan dan keruntuhannya sendiri-sendiri; masa itu tidak dapat dipercepat atau ditunda sedikitpun.  Sejarah mengajarkan pula bahwa masa keemasan bangsa atau peradaban itu dipergilirkan. Kewajiban kita adalah berusaha semaksimal mungkin memberi kontribusi kebajikan kemanusiaan, di mana dan kapanpun berada dalam episode sejarah bangsa. Tentu dalam rangka memaksimalkan kontribusi itu, belajar dari bangsa-bangsa telah terlebih dahulu berada di puncak kesejarahannya menjadi amat penting. Indonesia dapat mengambil pelajaran, misalnya, dari bangsa Korea yang di akhir 60-an, masih sama-sama miskin dan terbelakangnya dengan Indonesia. Kini mereka telah mampu mewarnai peradaban dunia dengan karya-karyanya yang bertebaran di permukaan bumi: di mana-mana ada Samsung, LG, Hyundai, dan sebagainya. Nampaknya karakter kerja keras, cerdas, tuntas, ikhlas, dan mawas berada di balik kesuksesan mereka dalam mengelola dunia. Mari kita berlomba dalam kebajikan mengelola dunia dengan Korea. Insya Allah kita bisa!

Jalan Menuju Puncak

Thursday, May 26th, 2011

Kemarin saya bertemu dengan kawan lama; sudah lebih dari dua puluh tahun tidak jumpa. Sebelumnya memang pernah kontak, sekedar sms-an atau telpon, namun tidak pernah tatap muka lagi sejak pertemuan terakhir lebih kurang duapuluh lima tahun yang lalu. Kini yang bersangkutan telah menjadi Presiden Direktur sebuah perusahaan kontraktor besar. Perjalanannya menuju jenjang tertinggi itu diceriterakannya panjang lebar, bersemangat sambil mengenang masa lalu yang telah dijalaninya. Perjalanan panjang yang mendaki lagi sulit, pernah melewati masa depresi segala. Pokoknya seru sekali ceriteranya. Sebenarnya sebagai guru, saya sering kali menyaksikan sendiri perjalanan seseorang menuju puncak kariernya, tidak hanya sekedar ceritera dari orang ketiga atau keempat. Jadi ceritera kawan lama ini menambah panjang rekaman perjalanan seseorarng mencapai puncak kariernya. Lebih dari itu karena saya kenal masa kecil yang bersangkutan dengan baik. Artinya saya memperoleh potret perjalanannya cukup lengkap; memang ada bagian potongan yang tidak teramati langsung, yaitu rentang panjang yang lebih dari dua puluh tahun itu. Episode yang hilang itulah yang dicoba ceriterakan oleh yang bersangkutan hampir 1,5 jam. Intinya adalah sesuatu yang amat baku: kerja keras, cerdas, tuntas, ikhlas dan pantang menyerah. Kawan saya itu mengakui bahwa dirinya tidak mempunyai otak cemerlang sehingga semuanya harus dilaluinya dengan kerja ekstra keras. Namun ada juga yang diakuinya sebagai jalan hidup atau takdir. Bahkan dia juga heran mengapa akhirnya ia harus menggeluti secara dalam dan rinci bidang kerekayasaan padahal itu bukan jurusan formal pendidikannya yang nyaris sosial penuh. Dalam keberhasilan memang ada faktor peluang atau kesempatan yang kehadirannya tidak dapat diduga dan direncanakan. Respons terhadap peluang itu pada akhirnya yang akan menentukan ujung jalan hidup. Termasuk ke dalam respons yang baik itu adalah doa dan harapan untuk berhasil. Atau dalam bahasa lainnya adalah optimisme. Ini penting karena sesungguhnya optimisme itu akan menjadi sumber energi dalam menghadapi tantangan jalan mendaki lagi sulit menuju puncak. Sesungguhnya optimisme itu adalah bahasa lain dari keyakinan akan adanya rahmat dan pertolongan Allah, Pemilik Alam Semesta.

Saat-saat Terakhir

Monday, May 16th, 2011

Pagi ini seorang kawan yang telah berusia 70 tahun menyampaikan perenungannya dalam beberapa hari terakhir setelah adiknya meninggal dunia. Perenungan itu dilakukannya dalam rangka mencari jawab mengapa setiap Jumat para khatib selalu mengingatkan jamaah untuk bertaqwa dan mengharap menuju alam kematian dalam keadaan sebagai seorang yang berserah diri kepada Allah swt (seorang muslim). Menurutnya, perjalanan terakhir untuk meninggalkan dunia yang fana ini akan merupakan suatu perjuangan yang amat berat. Memang hanya yang bersangkutan saja, yaitu yang dalam keadaan sakaratul maut, yang merasakan itu. Di sana ada godaan agar perjalanan hidupnya tidak ditutup dalam berserah diri. Memang ini sulit dibuktikan oleh yang masih hidup karena belum mengalami; sedangkan yang sudah mengalami sayangnya tidak ada yang pernah kembali untuk menceriterakan pengalaman yang mungkin mencekam itu. Memang ada banyak kisah seorang yang mati suri, mati yang bersifat sementara saja; sewaktu ybs pulih kembali ia berceritera segala hal yang dialaminya di alam kematian itu. Tentu yang kemudian muncul sebagai pertanyaan adalah apakah itu benar adanya? Alam selewat pintu kematian adalah salah satu contoh dari ranah keyakinan. Ranah ini tidak dapat diakses oleh siapapun; tidak ada sensor yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan alam seperti ini. Meskipun demikian manusia sungguh beruntung mempunyai fasilitas untuk dapat mempercayai keberadaan alam itu. Persoalannya adalah apakah manusia bersedia menggunakan fasilitas itu atau tidak; bersedia untuk terus mengasah fasilitas itu agar semakin sensitif dan dapat memperoleh manfaat daripadanya atau tidak. Detik-detik terakhir itu pasti akan mendatangi siapapun jika saatnya memang telah tiba; saat yang tidak dapat dipercepat atau diperlambat. Apakah saat-saat itu merupakan sesuatu yang menyenangkan atau menakutkan juga tidak dapat diketahui secara pasti jika saatnya belum tiba. Hal-hal yang seperti ini sering kali hanya relevan bagi mereka yang telah mencapai usia lanjut seperti kawan saya itu. Mereka umumnya memang berkesempatan punya waktu untuk merenung dan faktanya memang merasa detik-detik itu semakin mendekat. Setiap insan dapat mengajukan pertanyaan mengenai relevansi merenungkan saat-saat terakhir itu dengan kehidupan dunianya saat ini. Saat-saat terakhir itu faktanya tidak perlu menunggu kesenjaan usia seseorang karena ia bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja; ia bahkan sering datang mengunjungi seseorang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Semoga kita pergi dalam keadaan berserah diri.