Archive for August, 2011

Sustainable Sin?

Friday, August 19th, 2011

Dalam pengajian subuh di masjid kemarin pagi dijelaskan mengenai periode ke dua sepuluh hari dalam bulan ramadhan sebagai periode anugerah maghfirah Allah kepada hamba-hambaNya yang melaksanakan shaum ramadhan. Sepuluh hari pertama merupakan periode limpahan rahmat dari Allah SWT. Maghfirah atau ampunan dari Allah SWT tentu diharapkan oleh mereka yang melaksanakan ibadah ramadhan. Bahkan sebenarnya tidak ada seorangpun dapat masuk surga tanpa rahmat dan maghfirahNya. Amal sholeh seorang hamba belum cukup untuk menebus kemuliaan surga. Amal sholeh hanyalah sekedar sebuah wahana agar dapat berharap mendapat rahmat dan maghfirohNya itu. Pertanyaannya adalah apakah indikator seseorang itu telah mendapat maghfirah itu?

Dalam surat Al-Furqan ayat 70 disebutkan bahwa (semua pendosa akan mendapat siksa yang amat pedih) kecuali mereka yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal sholeh maka kejahatan mereka diganti oleh ALlah SWT dengan kebaikan. Artinya, orang yang mendapat maghfirah melalui taubatnya, dengan rahmatNya, akan mampu mengubah semua perilaku jahatnya menjadi perilaku mulai dan terpuji. Dengan kata lain seorang yang telah mendapat maghfirah adalah seorang yang mampu melakukan continous improvement (perbaikan terus menerus) perilakunya sehingga alam sekitarpun akan merasakan rahmat dari kehadirannya. Sebaliknyalah, seseorang yang dari waktu ke waktu selalu melakukan kerusakan sehingga berada dalam tingkah laku yang mencerminkan kelestarian kejahatan (sustainable sin) maka tentunya maghfirah itu berada jauh darinya. Jadi sebenarnya maghfirahNya itu memerlukan kesiapan mental melakukan perubahan dalam diri untuk selalu menjadi lebih baik.

Maghfirah itu dapat diberikan kepada individu maupun komunitas atau bangsa. Mereka yang senantiasa berkubang dalam kejahatan, baik secara nyata maupun terselubung nampaknya benar-benar belum mendapatkan maghfirah itu. Tentunya menjadi amat mengerikan jika bahkan mereka itu tidak merasa memerlukan maghfirah itu. Sungguh sensitivitasnya kepada kebajikan telah hilang sama sekali; berbagai tindak yang merusak itu bahkan dilakukannya dengan penuh kebanggaan dan antusiasme. Inilah situasi yang benar-benar mencerminkan adanya kelestarian kejahatan. Dalam masyarakat seperti ini akan sangat terasa sulit melakukan kebajikan. Moga-moga kita semua dijauhkan dari keadaan yang amat menakutkan itu.

Indonesia Yang Kuimpikan (6)

Wednesday, August 17th, 2011

Tadi, seperti biasanya, setiap tanggal 17 Agustus, saya menghadiri upacara peringatan hari kemerdekaan di lapangan Sabuga ITB. Hadir para mahasiswa, dosen, dan pegawai ITB. Tanpa terasa Indonesia telah memperingati hari kemerdekaannya yang ke 66 tahun. Tentu usia yang relatif muda untuk sebuah negara, walaupun tetap lebih tua di banding Malaysia atau Singapura. Mendengar dibacakannya Pembukaan UUD 1945 dan teks Proklamasi segera terbayang suasana bathin para pendiri Republik tercinta ini. Terasa ada sebuah ungkapan ketulusan, kesederhanaan, namun juga kedalaman pemikiran dan cita-cita mulia yang universal. Sungguh beruntung bangsa ini mempunyai para pendiri Republik yang sangat visioner bahkan masih terasa kuat hingga saat ini.

Adil, makmur, sejahtera, aktif turut serta menjaga perdamaian dunia merupakan sebuah ungkapan jujur dari suatu cita-cita bangsa yang telah mengalami penderitaan panjang akibat penjajahan bangsa lain. Bagi sebagian besar anak bangsa kata-kata itu masih merupakan suatu impian. Atau bahkan karena demikian beratnya beban hidup yang harus dipikulnya, mimpi atau membayangkanpun tidak sempat lagi. Ini jelas sebuah tragedi. Tidak dapat disangkal bahwa tanah air negara ini mengandung kekayaan yang luar biasa. Para pendiri telah menekankan, bahkan tertuang dalam UUD 1945, karya monumental mereka, bahwa hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah dan lembaga negara harus benar-benar menjaga dan melaksanakan amanah  itu sebaik-baiknya. Jika dilaksanakan dengan baik, benar, dan penuh kejujuran, walaupun jumlah penduduk Indonesia mencapai ratusan juta, kesejahteraan dan kemakmuran adalah sebuah keniscayaan. Negara ini rindu dengan hadirnya para politisi negarawan, yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat yang telah memberikan kepercayaan dibanding kepentingan dirinya. Politisi yang dapat memberikan contoh atau keteladanan kesederhanaan hidup karena memang sebagian besar rakyat yang telah mempercayainya itu masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Kemerdekaan dicapai dengan pengorbanan yang luar biasa dari sebagian besar anak bangsa. Pengorbanan itu tidak boleh dikhianati oleh siapapun, khususnya oleh para politisi dan pucuk pimpinan penyelenggara negara. Sistem politik negara ini harus dibangun sedemikian rupa sehingga berbagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita mulia kemerdekaan sulit dilakukan karena akan mendapat hukuman formal dan sosial yang keras. Saat ini sistem hukum formal nyaris ambruk karena dalam banyak kasus di lapangan ternyata keputusan hukum berpihak pada jumlah uang yang tersedia dan disediakan untuk penegak hukum. Yang belum didayagunakan secara maksimal adalah sistem hukum sosial. Moga-moga tidak perlu revolusi kedua untuk meluruskan kembali perjalanan bangsa ini agar berada di jalur yang sesuai dengan cita-cita mulia para pendiri Republik ini. Masih tersedia jalan dan waktu untuk memperbaiki keadaan saat ini dan siapapun yang peduli selalu dapat berkontribusi untuk membangun Indonesia esok yang lebih baik dari hari ini. Pemuda Indonesia siapkanlah dirimu dengan baik karena masa depan Indonesia, dan itu berarti masa depanmu sendiri, sangat tergantung dengan apa yang engkau lakukan saat ini. Aku sangat yakin kalian bisa membuat Indonesia esok lebih baik, jauh lebih baik dari apa yang telah kami lakukan untuk Indonesia hari ini.

Darul Mursyid

Friday, August 12th, 2011

Dalam rangka menemani Direktur Akademik ITB, Prof. Dr. Ichsan S. Putra, untuk sosialisasi program penerimaan mahasiswa baru ITB, kami mengunjungi Pesantren Modern Darul Mursyid di Sipirok, Sidadap, Simanosor, Tapanuli Selatan. Dari Medan kami berangkat menuju Aek Godang menggunakan pesawat kecil SusiAir yang berisi 5 orang penumpang. Perjalanan tersebut memerlukan waktu satu jam lebih. Dari lapangan terbang menuju lokasi Pesantren Darul Mursyid memerlukan waktu sekitar 2,5 jam mengunakan mobil. Perjalanan darat tersebut relatif berat karena jalan yang harus kami lalui tidak mulus, penuh lubang dan lumpur. Pesantren tersebut terletak di pedalaman, di atas gunung dan ditepian hutan. Di pagi hari pemandangan indah pegunungan yang masih sangat murni dan segarnya udara sungguh merupakan atmosfir yang amat berbeda dengan suasana hiruk pikuk dan pengap di sebagian besar perkotaan di Indonesia.

Pesantren ini sendiri merupakan sebuah keunikan tersendiri. Jauh dari keramaian, benar-benar terpencil namun tetap ramai dikunjungi oleh para santri. Ia memiliki daya tarik tersendiri. Salah satunya mungkin dari para gurunya yang amat sholeh dan ikhlas melaksanakan tugas pendidikan dan da’wah sehingga Allah swt mengangkat maqomnya ke tempat yang khusus. Masyarakat tetap memburunya walaupun berada di lokasi yang sebenarnya sungguh cukup sulit dicapai. Hanya mereka yang mempunyai niat dan tekad khususlah yang bersedia untuk belajar ke pesantren Darul Mursyid ini. Hal ini sudah merupakan saringan tersendiri untuk mendapatkan para santri yang amat militan.

Menurut saya, pesantren ini memang pantas digolongkan ke dalam katagori pesantren modern. Para santrinya tidak perlu masak dan mencuci sendiri. Makanan disediakan secara profesional, demikian pula cuci baju ditangani oleh pihak lain. Para santri hanya belajar dan berkegiatan intra dan ekstra-kurikuler saja. Kamar tidur para santri juga sangat rapi dan bersih karena begitu santri mulai berkegiatan formal, kamar tidur akan dibersihkan oleh janitor resmi pesantren. Fasilitas kamar tidur tidak mewah namun memadai dan tersusun kompak, bersih dan rapi. Kurikulum yang digunakan nampaknya adalah kurikulum nasional. Oleh karena itu tidak mengherankan jika para alumninya mampu menembus perguruan tinggi - perguruan tinggi elite di Jawa.

Sebagaimana biasanya di pesantren, pada saat shalat maghrib, isya dan subuh para santri berbondong-bondong menuju masjid besar di tengah-tengah pesantren. Seusai shalat di ikuti dengan dzikir. Santri terendah adalah setara dengan SMP kelas satu. Kegiatan pendidikan berlangsung selama 6 tahun atau dengan kata lain alumni pesantren ini setara dengan lulusan Sekolah Menengah Atas. Makan resmi dilaksanakan secara massal, bersama-sama di sebuah ruangan besar. Menyaksikan mereka makan bersama mengingatkan saya suasana makan bareng para siswa di Hogwart dalam film Harry Potter. Sangat menyenangkan dan mengharukan menyaksikan anak-anak belia yang bersemangat dan nampak mandiri itu. Moga-moga mereka menjadi anak-anak yang sholeh - sholehah, pewaris masa depan bangsa besar, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kecerdasan Ilahiah (2)

Friday, August 12th, 2011

Ada beberapa indikasi di dalam AL-Qur’an mengenai suatu jenis kecerdasan yang dapat dimiliki oleh seorang manusia biasa (tidak termasuk ke dalam daftar 25 Nabi atau Rasul yang sudah dikenal itu). Pertama, yang mungkin paling populer adalah yang terdapat di dalam surat Al-Kahfi (18: 65-82). Dalam surat ini dinyatakan bahwa Allah SWT telah memberi kepada seorang hambaNya sebuah kemampuan kecerdasan yang sangat khusus, yang bahkan tidak dimiliki oleh seorang Rasul sekaliber Musa AS. Dengan kemampuannya itu bahkan seolah-olah waktu tidak lagi merupakan sebuah penghalang baginya atau dengan kata lain ia tidak lagi terikat oleh waktu, mampu melihat ke masa depan. Allah SWT telah berkenan untuk melakukan intervensi sehingga hamba itu tidak lagi terikat oleh waktu. Sebagaimana kemampuan kecerdasan yang dimiliki oleh pemenang hadiah Nobel tidak dimiliki oleh setiap orang maka kemampuan kecerdasan menembus domain waktupun tidak dimiliki oleh setiap orang.

Contoh kedua adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam surat An-Naml ayat 40. Dalam kisah Nabi Sulaiman itu disebutkan ada seorang yang mempunyai kemampuan untuk memindahkan singgasana Ratu Saba yang sangat jauh hanya dalam sakejab mata. Seolah-olah singgasana itu dibuat sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi terikat oleh ruang (space) dan akibatnya dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya praktis tanpa memerlukan waktu, persis seperti kisa-kisah dalam fiksi ilmiah. Kemampuan manusia ini bahkan melampui kemampuan sebangsa jin ifrit sekalipun. Yang menarik adalah bahwa kemampuan itu disebutkan berasal dari suatu kitab dan ini berarti bahwa kemampuan itu dapat dipelajari. Memang dalam AL-Qur’an tidak disebutkan secara lebih  rinci mengenai nama dari kitab itu dan dengan demikian hal ini memang membuka berbagai penafsiran atau spekulasi.

Kedua contoh khusus mengenai kemampuan atau kecerdasan yang terdapat dalam AL-Qur’an itu memang terasa melampui seluruh jenis kecerdasan yang telah dikenal atau diteliti saat ini. Sungguh sulit terbayangkan oleh manusia yang telah dibentuk oleh pengetahuan dengan pendekatan eksperimentil untuk bisa memahami adanya kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang hingga ia mampu menembus domain waktu. Sebenarnya dalam batas-batas tertentu cukup banyak manusia yang dapat menembus batasan waktu berupa kemampuan melakukan prediksi mengenai sesuatu yang kemudian terbukti kebenarannya. Walaupun manusia modern telah dapat menerima sepenuhnya bahwa waktu tidak bersifat absolut namun tidak berarti bahwa manusia modern telah berhasil membebaskan diri sepenuhnya dari keterikatannya terhadap waktu. Hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak mempunyai keinginan untuk itu. Berbagai kisah fiksi ilmiah mengenai adanya pesawat atau mesin waktu menunjukkan bahwa manusia memimpikan dirinya mampu menerobos dinding waktu, bertamasya ke masa lalu atau masa depan. Di samping keinginannya untuk tidak terikat pada waktu, manusia juga mendambakan untuk dapat membebaskan dirinya dari keterikatan pada ruang (space), sehingga dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya praktis tanpa memerlukan waktu. Sungguh menarik ternyata Al_Qur’an membuka kemungkinan terjadinya hal ini. Manusia khusus dalam kisah Nabi Sulaiman itu seolah-olah mampu melakukan dematerialisasi singgasana Ratu Saba sehingga tidak lagi terikat pada ruang dan dengan demikian dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya praktis tanpa memerlukan waktu.

Indonesia Yang Kuimpikan (5)

Wednesday, August 10th, 2011

Isi impian bisa timbul begitu saja namun bisa juga karena pengalaman di siang hari yang begitu kuat tertanam dalam benak sehingga terbawa dalam tidur. Demikian juga impian mengenai Indonesia ini. Maka saya memimpikan petani dan nelayan Indonesia dapat hidup makmur sejahtera sebagaimana hidup petani dan nelayan Jepang. Dalam strata sosial di Indonesia, saat ini, nampaknya petani dan nelayan Indonesia termasuk yang paling malang nasibnya. Nasib mereka, secara umum, tidak banyak berubah, dari puluhan tahun yang lalu hingga kini. Hasil kerja keras atau keringat mereka nampaknya selalu tidak cukup untuk membawanya keluar dari belitan kesulitan hidup. Negara semestinya sejak dulu harus selalu berpihak kepada anggota masyarakatnya yang paling lemah, di antaranya petani dan nelayan. Sekedar subsidi pupuk terbukti belum cukup untuk mengantar petani keluar dari lubang kemiskinannya. Dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang luar biasa cepatnya maka bencana kelangkaan pangan hanyalah soal waktu. Sokoguru untuk mencegah keniscayaan bencana itu jelas terletak salah satu diantaranya adalah pada petani. Namun dengan berbagai kebijakan politik yang tidak memihak kepada mereka maka bertani tidak lagi menjadi suatu kebanggaan karena benar-benar tidak menjanjikan masa depan yang baik. Negara dan pemerintah Jepang (dan sebenarnya juga negara-negara maju lainnya) dengan sangat jelas dan gamblang selalu memihak kepada petani. Sebuah kebijakan yang sangat mudah dipahami karena pangan adalah sesuatu yang mutlak harus dijamin ketersediaannya; pangan adalah sesuatu yang berhubungan langsung dengan ketahanan nasional.

Tanda-tanda bencana global atau masif karena persoalan pangan mulai tampak di sejumlah wilayah. Dalam jangka panjang kebutuhan pangan akan berbenturan dengan kebutuhan energi yang mungkin akan semakin berbasis kepada bio-energi (jadi juga membutuhkan lahan). Di samping perlu pembukaan lahan-lahan baru juga diperlukan para petani yang bergairah karena menjadi petani merupakan suatu profesi yang menjanjikan masa depan cerah. Indonesia dengan masa depan yang cerah harus dimulai dari sekarang dengan benar-benar memberikan sinyal kuat adanya keberpihakan kepada petani. Keberpihakan itu harus bersifat lebih komprehensip dalam arti petani menjadi bangga dengan profesinya sebagaimana para dokter, insinyur dan profesi-profesi selebritis lainnya. Harus kita akui kenyataan saat ini bahwa hampir tidak ada sarjana pertanian yang mengembangkan profesi petani karena hal itu bukan suatu profesi yang menjanjikan, tidak dapat dijadikan sebagai gantungan untuk mencapai hidup sejahtera.

Demikian pulanya dengan nelayan. Nasib mereka juga semalang nasib petani dan jelas amat tragis karena Indonesia memiliki wilayah pantai ynag mungkin terpanjang di dunia. Dengan kekayaan laut yang luar biasa namun para nelayannya sebagian besar hidup pada tingkat kemiskinan yang sungguh memprihatinkan. Ini tidak berarti menutupi adanya kemajuan kebijakan politik dengan telah dibentuknya Kementrian Kelautan dan Perikanan. Harus ada kebijakan-kebijakan politik yang agresif dan progressif untuk mempercepat terbetuknya profesi nelayan yang membanggakan bagi siapapun yang berbakat di bidang itu. Pengalaman kegagalan pendidikan pertanian yang tidak juga mampu memperbaiki profesi petani harus menjadi perhatian serius dalam membuka bidang pendidikan kenelayanan atau teknik pernelayanan.

Well motivated petani dan nelayan itulah yang harus dibangun atau diciptakan oleh negara atau pemerintah. Ini jelas merupakan tantangan besar dan berat. Karena di samping mempersiapkan SDM juga perlu diciptakan atmosfir yang kondusif bagi SDM untuk berkembang, berpeluang, berkarier dan juga untuk dapat hidup makmur. Rasanya setiap anak bangsa akan mempunyai mimpi yang sama, melihat petani dan nelayan hidup makmur dan sejahtera karena kegiatan mereka juga merupakan suatu profesi yang elite. Hal itu sungguh merupakan sebuah keniscyaan untuk diwujudkan.