Archive for August 6th, 2011

Kecerdasan Ilahiah (1)

Saturday, August 6th, 2011

Pada saat Allah swt hendak menunjuk calon khalifah di muka bumi, semua makhluqNya telah menolak amanah ini kecuali manusia. Tugas kekhalifahan ini pastilah tugas yang amat kompleks dan luar biasa berat sehingga mereka semua menolaknya. Karena Allah swt jauh dari sifat zalim terhadap makhluqNya maka dapat dipastikan bahwa manusia tentu telah dilengkapi dengan semua yang dibutuhkannya agar dapat mengemban tugas atau amanah kekhalifahan di muka bumi itu. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa manusia mempunyai berbagai potensi yang diperlukan agar dapat berinteraksi dengan Allah swt dan semua makhluqNya secara harmonis. Pengenalan berbagai potensi itu tentunya akan sangat bermanfaat bagi manusia untuk keberhasilannya melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Lebih khusus lagi bagi terwujudnya Indonesia impian setiap anak bangsa. Sudah barang tentu yang jauh lebih penting adalah bagaimana memanfaatkan potensi itu menjadi suatu bentuk kemampuan yang berdaya guna atau dengan kata lain bagaimana mengubah potensi-potensi itu menjadi berbagai bentuk kecerdasan yang sejalan dengan tugasnya menjadi khalifah di muka bumi ini.

Dalam tahun-tahun terakhir ini, melalui berbagai kajian yang mendalam di bidang neuroscience, psikologi dan bidang-bidang lainnya yang relevan telah diperkenalkan berbagai jenis kecerdasan, seperti kecerdasan jamak (multiple intelligence dari Howard Gardner), kecerdasan emosional (emotional intelligence dari Daniel Goleman), kecerdasan spiritual (spiritual intelligence dari Danah Zohar & Ian Marshall), dan sebagainya. Sedikit demi sedikit berbagai potensi manusia yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi berbagai kecerdasan itu mulai terungkap. Manusia mulai dapat dengan lebih baik mengenal diri dan potensinya, dan dengan demikian berharap dapat lebih baik menyelesaikan berbagai persoalan yang menimpa diri dan lingkungannya. Meskipun demikian dapat dipastikan masih tersimpan sejumlah besar misteri mengenai manusia yang belum terungkap; termasuk kedalam daftar misteri itu adalah apa sebenarnya potensi maksimal manusia itu yang kemudian diharapkan dapat diubah menjadi suatu bentuk kecerdasan maksimal. Danah Zohar memang telah menggunakan kata the ultimate intelligence untuk menyebut kecerdasan spiritual yang telah dipopulerkannya itu. Namun tidak ada seorangpun yang berani menjamin, kecuali pengarangnya sendiri (barangkali), bahwa memang demikianlah kenyataannya. Meskipun demikian pemikiran-pemikiran di sekitar kecerdasan manusia itu telah merangsang manusia lainnya untuk mencoba lebih mengenal dirinya dengan lebih baik.

Al-Qur’an berbicara cukup banyak mengenai manusia, bahkan ada surat di dalamnya yang diberi nama Al-Insan, yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai manusia. Ini sejalan dengan KehendakNya untuk membekali manusia dengan seluruh kebutuhan yang diperlukan agar mereka mampu mengemban tugas amanah sebagai khalifah. Melalui petunjuk Al Quran (dan tidak sedikit pula secara rinci di dalam Hadits Qudsi maupun Hadits Rasulullah saw) manusia dapat lebih mengenal berbagai potensi dan bahkan mungkin dapat diperoleh metodologi untuk menuju ke semacam the ultimate intelligence yang sesungguhnya. Salah satu dari berbagai informasi, yang dapat diperoleh dalam sumber-sumber samawi itu, yang menarik untuk mendapat perhatian khusus adalah mengenai kesediaan Allah swt untuk melakukan intervensi pada kegiatan seorang manusia yang memenuhi kriteria tertentu. Bentuk intervensi itu dinyatakan dalam bahasa metafor berupa dijadkanNya seluruh fakultas manusia itu menjadi “alatNya”; manusia yang seperti itu dikatakan melihat dengan mataNya, mendengar dengan telingaNya, berjalan dengan kakiNya, memegang dengan tanganNya, dan sejenisnya. Artinya, manusia yang seperti ini sebenarnya telah mencapai suatu tingkatan sehingga mampu mengubah seluruh potensi yang dimilikinya menjadi sejenis kecerdasan sedemikian rupa sehingga hasil dari penggunaannya senantiasa sejalan dengan KehendakNya.

Tulisan singkat ini hendak mencoba menelusuri jenis kecerdasan yang menyebabkan Allah swt berkenan untuk melakukan intervensi langsung, memfasilitasi pemiliknya dengan fasilitasNya sendiri. Untuk memudahkan analisa selanjutnya jenis kecerdasan seperti ini, dengan memperhatikan implikasi berupa berkenannya Allah swt untuk melakukan intervensi itu, kita namakan sebagai kecerdasan ilahiah.

Indonesia Yang Kuimpikan (4)

Saturday, August 6th, 2011

Kembali kali ini kusaksikan sidang terbuka penerimaan mahasiswa baru di ITB yang merupakan salah satu acara rutin setiap tahun. Tentu acara serupa juga terjadi diberbagai kampus di Indonesia. Setiap tahun ribuan anak bangsa memasuki jenjang perguruan atau pendidikan tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka semua mempunyai mimpi mengenai masa depannya, masa depan Indonesia, yang baik dan pendidikan tinggi merupakan salah satu wahana yang diyakini dapat digunakan untuk mewujudkan mimpi indah itu. Proses pendidikan formal adalah salah satu pertaruhan bagi masa depan bangsa. Tersedianya pendidikan formal yang baik dan terjangkau oleh rakyat yang paling miskin sekalipun merupakan salah satu impian hampir semua anak bangsa ini. Walaupun ukuran pendidikan formal yang baik mungkin berbeda untuk setiap orang namun ada sejumlah kata kunci yang nampaknya akan diterima oleh akal sehat setiap orang. Pendidikan yang baik seharusnya menghasilkan peserta didik dengan sejumlah karakter, kemampuan, dan ketrampilan yang pada akhirnya membawanya untuk menjadi insan yang bermanfaat bagi diri, sesama, dan lingkungannya. Bermanfaat dalam arti diri, sesama, dan lingkungannya selamat dari segala tindak dan perilaku yang bersifat merusak. Kata “merusak” memang masih memerlukan tafsir dan hal itu berarti tersedianya ruang perbedaan. Sebagai contoh apakah suatu objek pornografi itu bersifat merusak bagi peserta didik usia dewasa (misal mahasiswa)? Yang jelas pada bangsa ini pernah terjadi debat publik mengenai masalah pornografi yang cukup panjang dan melelahkan. Saya sendiri termasuk yang memilih untuk memasukkan pornografi sebagai sesuatu yang bersifat merusak. Pendidikan yang baik harus mampu menghasilkan peserta didik yang mempunyai sensitivitas (dan kemudian terdorong untuk menjauhi dan bahkan mencegah) terhadap segala sesuatu yang bersifat merusak diri, sesama dan lingkungannya. Ketidakjujuran tentu termasuk ke dalam katagori hal yang bersifat amat merusak. Karakter yang berpihak kepada kejujuran harus tertanam dengan kuat melalui proses pendidikan. Seluruh hasil proses pendidikan akan menjadi sia-sia manakala karakter kejujuran tidak terbentuk. Pembentukan karakter ini tentu tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada pendidikan formal saja. Lingkungan, keluarga dan masyarakat, harus juga turut bertanggung jawab bagi terbentuknya karakter yang amat penting ini. Indonesia yang saya impikan adalah negara yang dibangun oleh sistem dan manusia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.  Sistem yang akan menyebabkan ketidakjujuran menjadi sangat sulit untuk diwujudkan. Manusia Indonesia akan sangat malu dan sangat sulit melakukan ketidakjujuran betapapun kondisi sosial dan ekonominya. Kejujuran menjadi harga diri manusia Indonesia. Dengan kejujuran itu mereka dapat melihat secara jelas hak dan tanggung jawab sosialnya. Karena kejujuran itu pula mereka tidak berani mengambil sesuatu yang menjadi haknya. Kejujuran itu pula yang menyebabkannya dengan mudah mengakui kesalahannya seandainya itu terjadi; kejujuran pula yang akan menyebabkan sangat sulit melakukan kesalahan secara sengaja. Pribadi-pribadi dengan karakter yang mempunyai integritas kuat adalah hasil atau konsekuensi logis dari hidupnya nilai-nilai kejujuran dalam masyarakatnya. Kejujuran adalah pilar utama dari perjalanan kepada kemujuran yang akan membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Membangun masyarakat seperti itu jelas tidakmudah namun itu merupakan sebuah keniscayaan.