Archive for September 8th, 2011

Indonesia Yang Kuimpikan (7)

Thursday, September 8th, 2011

Seorang kawan baru saja pulang mengunjungi sejumlah kota (termasuk Beijing yang penduduknya dua kali lipat Jakarta) di Cina. Kekaguman luar biasa dia sampaikan menyaksikan apa yang di lihatnya di Cina yang bersih, rapi, maju dan modern. Kekaguman itu timbul karena dia ingat benar pada tahun 1994 dia menerima petinggi Bank Dunia yang berasal dari Cina mengatakan “I wish Cina like Indonesia”. Petinggi itu mengungkapkan kekaguman kepada Indonesia dan kekecewaannya terhadap negerinya, Cina, yang menurutnya serba tertinggal dibanding Indonesia. Tidak lebih dari 20 tahun kemudian Cina telah berubah total, menjadi negara super modern, kaya dan makmur.  Beberapa tahun silam, kalau ada yang mengeluhkan mengapa Indonesia tidak sekaya dan semakmur Singapura atau Malaysia, para pejabat umumnya berkilah bahwa penduduk Indonesia jauh lebih besar dibanding kedua negara itu. Artinya, mengurus Indonesia jauh lebih sulit karena jumlah penduduknya berkali lipat dibanding Singapura atau Malaysia. Kini alasan jumlah penduduk yang besar dalam membela ketertinggalan negara kita tidak lagi dapat digunakan. Cina dengan jumlah penduduk satu milyar ternyata dapat dengan gagah menjadi negara maju dan modern. Bagaimana Cina mendidik bangsanya sehingga hanya dalam bilangan 20 tahun dapat menyulap dirinya dari negara dengan citra jorok, kumuh, komunis puritan, tertutup menjadi negara modern, bersih, rapi, makmur, komunis kapitalistik (terminologi yang kacau, tapi nyata)? Indonesia semestinya juga bisa, tidak ada alasan untuk tidak bisa menjadi negara yang maju, modern, bersih, teratur, kaya, makmur dan sejahtera. Pemimpin harus dapat menjadi contoh mengenai etos kerja keras, cerdas, tuntas, mawas dan ikhlas. Dengan reformasi, Indonesia kini menjadi lebih (bahkan sangat) terbuka. Usia reformasi sudah lebih dari 10 tahun, berarti sudah lebih dari separuh waktu yang dibutuhkan oleh Cina dalam mengubah dirinya dari negara yang carut marut menjadi negara super modern. Kunci dari itu semua adalah pada keunggulan sumber daya manusia, lebih khususnya para pemimpinnya, yang visioner, konsisten, punya karakter integritas yang tinggi, mencintai negara, bangsa dan rakyat dengan suatu keyakinan yang kuat. Pendidikan di Indonesia harus mampu menghasilkan sumber daya manusia dengan karakter seperti itu. Saya (mungkin sebagian besar rakyat) tidak dapat menutupi kekecewaan menyaksikan tingkah laku sejumlah besar para politisi, petinggi partai, dan petinggi negara yang telah mengkhianati amanah rakyat. Namun kekecewaan ini tidak boleh menyebabkan kita menyerah pada keadaan, membiarkan negara, bangsa dan rakyatnya ini tetap dalam keadaan terpuruk.

Pertanian, sebagai negara tropis dengan lahan subur yang relatif luas, harus menjadi landasan dalam pembangunan Indonesia modern. Sejumlah komoditi strategis harus dikuasai dan dikendalikan oleh negara.  Benar bahwa negara berfungsi sebagai regulator dan bukan pemain, dan oleh karena itu tidak boleh terlibat terlalu banyak dalam kegiatan ekonomi praktis. Namun untuk sejumlah komoditi startegis sudah seharusnya dikuasai dan ditangani negara dengan tetap memberi peran kepada swasta namun dengan regulasi yang ketat. Membiarkan komoditi startegis pada swasta (yang dapat dipastikan pada akhirnya hanya akan dikuasai oleh sekelompok kecil atau suatu kartel) akan sangat membahayakan eksistensi bangsa dan negara. Komoditi startegis itu sekurang-kurangnya adalah beras, kedele, minyak goreng, gula. Dulu sudah dengan baik ditangani oleh Bulog. Bahwa kemudian di lingkungan Bulog terjadi korupsi tidak berarti fungsi dan peran Bulog harus dikebiri seperti saat ini. Adalah sebuah reformasi kebablasan bila kemudian komoditi strategis itu diserahkan kepada pasar bebas seperti saat ini. Reformasi seperti ini adalah reformasi kebablasan, yang dikendalikan dan diarahkan oleh suatu kelompok kepentingan bisnis.

Kesejahteraan para petani (dan nelayan) yang merupakan salah satu wakil komunitas kelas akar rumput praktis tidak  berubah sejak sebelum merdeka hingga saat ini. Keadaan seperti ini tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama lagi. Harus ada sebuah kebijakan politik nasional yang memihak kepada kesejahteraan mereka dan secara konsisten terus dijalankan tanpa tergantung kepada rezim pemerintahan. Sungguh tidak dapat diterima oleh akal waras di negara yang amat subur dan mempunyai keragaman hayati yang mungkin hanya kalah oleh Brazil itu hingga kini harus mengimpor beras, kedele, dan buah-buahan. Hal itu hanya dapat terjadi karena adanya kekonyolan (untuk tidak menyebutnya sebagai kedunguan) sistem politik atau sistem tata kelola negara dan para pemain utamanya. Harus dilakukan perubahan dalam rangka perbaikan berkelanjutan. Akuntabilitas harus lebih keras dituntut kepada para politisi sebagai pemain utama dalam sistem politik; kepada para penyelenggara negara sebagai pemain utama sistem tata kelola negara.