BBM dan Korea (Lagi)

March 22, 2012

Energi kini, apalagi dimasa mendatang,  akan (sudah) menjadi persoalan bagi setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Dalam bentuk BBM, di Indonesia, ia menjadi buah simalakama bagi setiap penguasa. Kebijakan BBM yang bersifat turun temurun itu akan terus menghantui setiap penguasa, khususnya di masa jabatan pertama setiap Presiden (kecuali kalau ia tidak memperdulikan pemilihan berikutnya). Presiden SBY sebenarnya mendapat kesempatan emas untuk menghentikan jebakan BBM dan dengan demikian dapat mewariskan situasi yang lebih sehat kepada Presiden berikutnya (dengan catatan dia bersedia mengorbankan “nama baiknya” ). Subsidi BBM memang telah menjadi beban APBN yang luar biasa beratnya bagi pemerintah Indonesia, tidak peduli siapapun Presidennya. Harus ada sumber energi alternatif, khususnya untuk transportasi. Menteri Dahlan Iskan mengusulkan alternatif berupa mobil listrik. Walaupun bukan sebuah alternatif terbaik namun sudah lumayan untuk memancing perhatian nasional. Bangsa ini harus terus menerus dibangkitkan kesadarannya agar dapat semakin cepat menemukan “musuh” bersama sehingga seluruh potensinya dapat dibangkitkan dan didayagunakan. Revolusi 1945 diawali dengan proses panjang sejarah menemukan musuh bersama yang disebut “penjajahan” dan harus dienyahkan. Maka ditemukanlah visi yang amat singkat, padat dan tegas “merdeka atau mati”. Hasilnya memang luar biasa, kemerdekaanpun akhirnya dimiliki oleh bangsa ini. Dalam rangka bangkit menuju ke bangsa modern, bangsa Korea mampu menemukan “musuh” bersamanya yang kemudian melahirkan visi singkat, padat, mudah diingat oleh masyarakat: “mari kalahkan Jepang”. Presiden Park Chung Hee menemukan jalan itu. Rakyatnya menerima tantangan itu dengan suka cita dan siap berkorban untuk itu karena Park Chung Hee memang hidup sederhana dan bersahaja saja. Di masa revolusi 1945, seluruh rakyat dengan bulat bersedia pula berkorban karena nyaris seluruh elit politik nasional sungguh amat bersahaja hidupnya, mereka hadir bersama sependeritaan ditengah rakyatnya. Sebenarnya rakyat juga tahu bahwa negaranya akan bangkrut jika harus terus memberi subsidi BBM namun nampaknya rakyat masih enggan dan tidak rela berkorban karena para elit politiknya hidup berfoya-foya. Adalah salah besar berasumsi bahwa seluruh rakyat dapat dibohongi; adalah salah besar berasumsi bahwa kesabaran rakyat  tidak ada batasnya.  Semoga saja masalah energi nasional ini dapat menjadi awal kesadaran baru, khususnya bagi para elit politik nasional. Kalau Korea bisa bangkit menemukan jati dirinya kembali, kenapa Indonesia tidak?.



Comments are closed.