Soft Nation?

March 27, 2012

Setiap bepergian ke luar negeri, khususnya ke negara-negara, maju selalu saja terbersit pertanyaan-pertanyaan mengapa Indonesia tidak dapat seperti mereka? Menyaksikan berbagai fasilitas publik yang sangat baik di negara orang, segera saja timbul kesedihan melihat fasilitas publik di Republik tercinta yang sungguh tidak memadai; baik fasilitas angkutan umum, saluran-saluran air buangan, jalan raya maupun berbagai fasilitas publik lainnya yang tidak perlu disebut satu persatu. Kalaupun semula tersedia, namun dalam waktu tidak lama sudah rusak, tidak terpelihara. Atau memang tidak ada sama sekali atau sekurang-kurangnya tidak memadai. Pada akhirnya saya harus mengakui bahwa ada sesuatu yang salah di Republik ini. Dengan kekayaan alam yang melimpah, tidak seharusnya ada rakyat di negara ini, dalam jumlah yang relatif besar, masih sangat miskin; dengan kekayaan alam itu, seharusnya seluruh amanat undang-undang dasar mengenai kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Betapa menyesakannya menyaksikan daerah-daerah padat dan kumuh diperkotaan, di bantaran sungai, di sekitar tempat penimbunan sampah, dan banyak lagi. Kita tidak menafikan usaha-usaha keras pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat selama ini. Namun menyaksikan fakta negara jiran dapat memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada rakyatnya, maka tentunya ada sesuatu yang harus diubah karena pasti ada yang salah. Perubahan itu nampaknya harus bersifat mendasar, mungkin juga akan meliputi seluruh aspek kehidupan. Semua harus dan pasti dapat berkontribusi agar terjadi perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa berbagai sarana dan prasarana dan pembangunan ekonomi itu amat sangat penting, tidaklah dapat diragukan lagi. Namun apabila kenyataan bahwa sarana dan prasarana yang sudah dibagun (atau malah baru dibangun) ternyata cepat sekali rusak; apabila pembangunan ekonomi itu pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang dan menyisakan sebagian besar rakyat masih dan tetap berada jauh di bawah garis kemiskinan maka pelaksanaan pembangunan itu jelas mengandung sesuatu yang secara fundamental salah. Konsentrasi nampaknya lebih perlu ditekankan pada pembangunan manusianya. Ini menjadi semakin penting manakala drama kolosal penyalahgunaan wewenang dan amanah menjadi tontonan publik tanpa menimbulkan rasa malu dan risih sedikitpun pada para pelakunya. Perampokan kekayaan rakyat dilakukan secara berjamaah dan terang-terangan dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Pelaksanaan kejahatan itu dilakukan sedemikian canggihnya sehingga jejak-jejak yang dapat menjerat mereka di ranah hukum praktis tidak ada. Seandainyapun jejak itu tercium juga masih banyak cara dan jalan yang tersedia untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Selama lembaga hukum masih dipenuhi oleh para pengabdi kenikmatan dunia maka tidak ada yang tidak dapat dibeli dengan uang. Menggelontorkan puluhan milyar tidak ada artinya karena yang dirampok berorde trilyunan rupiah. Jadi penyebab berbagai kegetiran di negara yang mendapat limpahan kekayaan alam luar biasa itu mungkin bersumber dari lemahnya karakter para penyelenggara negara, para politisi, para pengusaha dan mungkin juga pada sebagian besar rakyatnya. Ini mungkin yang dikatakan oleh Gunnar Myral sebagai soft nation, bangsa lembek; ini pula berarti yang harus diperangi oleh Indonesia agar ia dapat menjadi bangsa yang lebih bermartabat karena memang hanya dengan itu rakyat dapat hidup dengan harkatnya sebagai makhluq ciptaanNya yang paling mulia, sejahtera dan bermartabat. Indonesia pasti bisa!



Comments are closed.