Archive for April, 2012

Bekal Menuju Puncak

Thursday, April 26th, 2012

Sudah lebih dari tiga puluh tahun saya menyaksikan para mahasiswa datang ke dan kemudian pergi dari kampus. Tiga puluh tahun nampaknya sudah lebih dari cukup bagi seseorang selepas pendidikan sarjananya untuk mencapai posisi di atau sekitar puncak kariernya. Oleh karena itu saya menyaksikan sebagian dari mereka yang menurut ukuran umum benar-benar mencapai puncak tertinggi dalam kariernya. Ada yang menjadi komisaris utama, presiden direktur, menteri, tokoh masyarakat dan berbagai atribut yang dapat dinilai sebagai keberhasilan atau kesuksesan hidup. Dalam kapasitasnya itu mereka dapat berkontribusi untuk membuat cukup banyak manusia yang lain menjadi lebih sejahtera; mereka telah mampu mencapai maqom untuk dapat menjadi rahmat bagi cukup banyak manusia dan alam sekitar. Sebuah nikmat atau anugerah yang sungguh tidak diberikan olehNya kepada sembarang orang; karena posisi atau atribut itu memang tidak banyak tersedia. Sudah barang tentu di dalamnya juga terkandung amanah dan ujian yang tidak kecil. Yang selalu menggoda bagi saya adalah apakah ciri-ciri mereka sewaktu masih mahasiswa dulu dan faktor-faktor dominan apa saja yang berpengaruh terhadap karier mereka selanjutnya? Jawaban ini tentu akan sangat bermanfaat jika kita ingin membentuk pemimpin masa depan sejak dari bangku sekolah atau kuliah. Memang selalu ada saja faktor X namun hal ini tidak harus menyebabkan kita mengabaikan faktor-faktor dominan yang terukur. Faktor-faktor dominan ini dapat dibuat, dibentuk atau diciptakan. Pada akhirnya memang kemudian kita berbicara dengan bahasa kebolehjadian, seperti: jika semua faktor-faktor dominan itu tersedia maka kebolehjadian terwujudnya harapan menjadi lebih besar dari setengah. Di samping mengamati keadaan nyata yang lewat di depan mata, juga dari membaca buku dan artikel mengenai kisah sukses orang-orang terkenal, pada umumnya faktor-faktor dominan itu pada dasarnya sudah lama dikenal. Faktor-faktor itu direkam dalam sejarah panjang manusia, berabad-abad, sepanjang usia manusia itu sendiri. Karakter, dan bukan personalitas semata, akan sangat menentukan perjalanan karier seseorang. Karakter merupakan sikap atau tingkah laku yang tidak dibuat-buat karena ia merupakan cerminan dari dalam diri, terbentuk dalam suatu proses hidup yang panjang, bahkan bisa jadi merupakan bagian dari keyakinan diri. Sedangkan personalitas (persona merupakan bahasa Latin yang artinya adalah topeng) merupakan sikap atau tingkah laku yang bisa semu, dibuat-buat sebagai respons terhadap rangsangan dari luar. Manakala faktor-faktor dominan itu mengarah pada terbentuknya karakter yang sejalan dengan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, integritas, dan nilai-nilai mulia lainnya maka pribadi-pribadi bentukannya telah berada di jalur menuju puncak karier hidup sejati. Nilai-nilai itu ternyata menjadi semakin penting di jaman modern ini. Dengan tersedianya jejaring sosial yang menjangkau setiap jengkal tanah di jagad raya ini, sekali seseorang dikenal sebagai tidak jujur yang kemudian menyebar di jejaring sosial maka habis sudah karier masa depannya. Terus bentuklah karakter mulia, betapapun sulitnya itu, karena ketibaanmu di puncak sejati hanyalah persoalan waktu.

Apa Visi Abadimu?

Wednesday, April 18th, 2012

Keinginan jangka panjang atau cita-cita atau visi walaupun amat diperlukan namun karena sifatnya yang berjangka panjang maka sering kali ia timbul tenggelam. Bahkan bisa jadi hilang, berubah dan digantikan oleh impian yang lain, impian baru yang ditemukannya ditengah perjalanan dalam ruang waktu. Perjalanan waktu dapat menyebabkan perubahan visi seseorang; pengetahuan yang bertambah dan wawasan yang semakin meluas dapat digunakannya untuk melakukan evaluasi terhadap visi hidup: realistis atau tidak. Namun tidak sedikit pula yang tanpa kenal lelah mewujudkan visi impiannya dan akhirnya terwujud setelah puluhan tahun dikejarnya. Banyak orang-orang hebat yang telah mempunyai impian besar sejak usia muda dan dengan konsisten impian itu dikejarnya terus, tanpa mempedulikan berbagai rintangan dan halangan yang sungguh tidak kecil. Tentu timbul pula rasa pesimis manakala impian itu berada di puncak yang tinggi padahal posisi saat ini sungguh berada di bawah, sangat bawah, sehingga dirasa seperti pungguk merindukan bulan. Bagaimana manusia dapat mengetahui impiannya suatu saat akan menjadi kenyataan dan oleh karena itu bersedia terus konsisten dan istiqomah mengejarnya? Di sisi yang lain, mengapa pula seseorang merasa harus mengubah impiannya, padahal sudah berjalan cukup panjang di ruang waktu dan bersedia untuk kembali memulai dari nol? Alangkah nyamannya jika ada jaminan bahwa impiannya akan terwujud, meskipun ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Bandingkan dengan meskipun tidak ada syarat-syarat yang jelas tetapi tidak pula ada jaminan bahwa impian itu akan tercapai. Fakta-fakta cukup banyak menunjukkan bahwa meskipun sejumlah syarat-syarat rasional seperti kerja keras, cerdas, tuntas, mawas dan ikhlas sudah dipenuhi, namun tidak ada jaminan bahwa yang diinginkan pasti akan tercapai. Dalam situasi seperti ini, manusia kemudian berbicara mengenai kebolehjadian; setelah melalui kerja keras, cerdas, tuntas, mawas dan ikhlas maka kebolehjadian tergapainya suatu keinginan akan bertambah atau meningkat. Apakah kebolehjadiannya dapat sama dengan satu? Jawabannya adalah tidak ada seorang manusiapun yang tahu dan sanggup memberi jaminan. Dengan kata lain kerja keras, cerdas, tuntas, mawas dan ikhlas hanya sampai pada tingkat sebagai syarat perlu namun belum cukup. Sebagai suatu syarat perlu maka hal tersebut tidak boleh sama sekali diabaikan. Di suatu titik dalam ruang waktu mungkin seseorang merasa bahwa kebolehjadian tercapainya visi menjadi lebih kecil dari setengah, kemudian sampai pada kesimpulan untuk mengubah visinya. Yang berat adalah jika hal itu terpaksa dilakukannya setelah melalui perjalanan yang panjang, melelahkan dan dengan berbagai pengorbanan yang tidak kecil. Juga menarik untuk disimak (bahkan dirasakan sendiri) setelah perjalanan panjang, melelahkan dan akhirnya mencapai impiannya namun diluar dugaan, sungguh ia tidaklah seindah seperti yang dahulu pernah dibayangkan! Inilah sejumlah anekdot di sekitar makhluq yang disebut manusia. Mereka melihat sebuah puncak, merasa nyaman jika berada di sana, dikejarnya dengan susah payah, akhirnya tiba di puncak yang memang menyegarkan, dapat melihat sekililing, kebawah ketempat yang lebih rendah. Tunggu, sebentar kemudian ia sadar ternyata ada puncak lain, yang semula tidak tampak. Maka perburuan barupun dimulai kembali. Sampai kapan hal berulang itu akan dan dapat dipertahankan terus berlangsung? Masihkah engkau belum menemukan puncak yang sesungguhnya?

Abstraksi

Friday, April 13th, 2012


Manusia telah diberi kemampuan untuk melakukan abstraksi, membayangkan sesuatu yang belum ada atau bahkan tidak ada. Dengan kemampuan itu manusia mengembangkan kreativitasnya, mewujudkan sesuatu yang semula belum ada. Sang Pencipta tentunya juga menghendaki bahwa dengan kemampuan itu manusia dapat membayangkan mengenai hidup setelah mati, membayangkan suasana surgawi, sekaligus juga membayangkan suasana menggelegak di neraka. Karena itu pula manusia dapat memiliki angan-angan, sesuatu yang ingin dicapainya kelak, sesuatu yang saat ini mungkin masih merupakan impiannya. Energi dari dalam diri dapat dibangkitkan dari adanya keinginan untuk mencapai atau meraih sesuatu. Keinginan, ambisi atau cita-cita, atau dalam bahasa yang lebih keren sering pula disebut sebagai visi, dapat menjadi bahan bakar pembangkit energi gerak. Pada saat suatu cita-cita telah dapat dikristalkan dalam benak, tertanam kuat, dan menjadi fokus hidup, bahkan mungkin menjadi suatu keyakinan maka dapat dipastikan ia akan menghasilkan energi gerak yang luar biasa. Energi seperti ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai rintangan dan halangan dalam rangka mencapai keinginan yang masih menjadi impian. Manusia memang diberi potensi dan kemampuan yang luar biasa yang bahkan malaikat sendiri diperintah oleh Sang Pencipta untuk sujud kepada mahkluq ciptaanNya yang disebut manusia itu. Mereka yang sanggup mengkristalkan keinginannya sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari keyakinannya maka dapat dipastikan bahwa keinginan itu, cepat atau lambat, akan terwujud. Kuatnya keinginan seorang manusia bahkan dapat mempengaruhi alam raya sehingga alam seolah-olah turut bergerak mewujudkan keinginan itu. Dalam perjalanan mewujudkan keinginan itu nampak banyak sekali “kebetulan-kebetulan” yang terjadi; ada suatu orkestrasi alami menyertai sepanjang perjalanan di ruang waktu. Ada kalanya keinginan itu benar-benar sesuatu yang berskala kecil dan pula yang berskala “besar”; yang berskala kecil pada umumnya segera tercapai, tergapai dan terwujud; sedangkan yang berskala besar tentu memerlukan waktu yang lebih lama, menuntut kesabaran, ketekunan, dan kekuatan untuk menjaga fokus itu. Baik yang kecil maupun yang besar mengandung plus dan minus masing-masing; setiap pencapaian akan selalu (seharusnya) menambah rasa percaya diri namun di saat yang sama juga menuntut ditemukannya keinginan baru agar energi penggerak hidup segera tersedia kembali. Kemampuan abstraksi perlu terus diasah agar keinginan yang bersifat kecil (jangka pendek) maupun besar dapat terus diciptakan; tanpa adanya keinginan, ambisi, cita-cita, mimpi atau visi, maka kegairahan hiduppun akan sirna atau sekurang-kurangnya hidup menjadi tanpa makna. Temukanlah visi itu sebagai sesuatu yang berdampak panjang, sepanjang mungkin, bahkan sepanjang hayat karena dengan itu energi menjadi selalu tersedia untuk menggerakkan hidup dan karena itu pula tidak pernah dipusingkan untuk setiap saat harus mencari keinginan-keinginan baru yang sebenarnya tidak perlu dan menyita waktu. Temukanlah visi abadi yang memberi energi abadi untuk mengisi hidup menjadi lebih bermakna, memberi mafaat kepada sebanyak mungkin manusia.

Selalu Menjadi Lebih Baik

Wednesday, April 11th, 2012

Selalu menjadi pertanyaan saya: bagaimana membuat Indonesia hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini? Jawaban yang paling mudah adalah perbaiki dirimu dulu, sudahkah engkau hari ini lebih baik dari kemarin sehingga mempunyai bekal untuk menuju esok yang lebih baik dari hari ini. Jawaban ini nampak mudah dan cukup masuk akal, namun melaksanakannya secara ajeg, konsisten, istiqomah benar-benar tidaklah semudah mengucapkannya. Singkatnya, ada tuntutan untuk melakukan perbaikan terus menerus, perbaikan yang terjaga, yang sustain. Bagaimanakah caranya? Banyak cara dan tiap orang dapat memilih jalan dan caranya masing-masing. Mulailah dari memiliki keinginan untuk itu, atau ada niat. Jika niatpun tidak ada, lalu membiarkan hidup mengalir begitu saja, sulit dibayangkan bahwa harapan itu dapat menjadi kenyataan. Tentu saja, hal itu bukan sebuah kemusykilan, hanya menurut logika nampaknya kebolehjadiannya amat kecil. Seandainyapun tercapai, ada perbaikan terus menerus, lebih disebabkan oleh sebuah keberuntungan. Namun perlu diingat bahwa keberuntungan tidak pernah terjadi tanpa henti. Dengan kata lain perbaikan terus menerus memerlukan totalitas, mulai dari niat, tekad, dan bahkan rencana yang matang. Seluruh fakultas manusiawi harus digerakkan dan tanpa henti. Padahal setiap gerakan, apalagi tanpa henti, jelas memerlukan energi, yang tentu saja tidak kecil. Jika diinginkan hal itu sepanjang hayat maka energi itu harus tersedia sepanjang hayat pula. Karena yang digerakkan adalah totalitas fakultas manusiawi maka tentu saja tidak hanya terbatas pada fakultas fisik saja. Dengan demikian energi itu tidak cukup hanya dari makan dan minum semata karena itu hanyalah yang bersifat fisik saja. Ada gerakan-gerakan mental, spiritual, dan jangan lupa ada pula yang bersifat sosial emosional. Selama ini umumnya manusia sering menganggap bahwa cukuplah energi itu digunakan untuk gerakan fisik saja, atau emosi, atau sosial, atau spiritual saja, atau kombinasi sejumlah dari itu. Wujud dari niat, tekad dan rencana yang matang memerlukan kesemua fakultas itu secara bersama dan seimbang, baik untuk menghadapi keberhasilan maupun kegagalan, dalam perjalanan mengarungi hidup agar terjadi perbaikan yang terjaga terus menerus. Jika hanya fakultas fisik saja yang dipelihara, asal kenyang, hidup nyaman, semua fasilitas fisik yang diperlukan kapan saja tersedia maka yang muncul bisa jadi hanyalah perilaku binatang; tidak ada timbang rasa karena sosial emosional tidak pernah diasah, tidak pernah diberi asupan yang memadai. Tidak ada perasaan bersalah sedikitpun manakala dalam rangka memenuhi hasrat-hasrat fisik itu seluruh tatanan sosial dilabraknya. Perilakunya bahkan dapat lebih jelek dari binatang karena bahkan binatang buas sekalipun mengenal tatanan sosial perikebinatangan; setiap wilayah di hutan sabana yang luas di Sarengati Afrika itu, misalnya, ada penguasa komunitas spesies binatang masing-masing, ada adab yang mereka junjung tinggi. Manakala seluruh fakultas manusiawi itu tidak digerakkan secara bersama dan seimbang secara harmonis maka yang terjadi adalah kerusakan, bukan lagi perbaikan. Jika itu yang terjadi maka jangan berharap bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin, dan jangan pula mimpi besok akan lebih baik dari hari ini. Semoga kita dapat menjaga seluruh gerakan fakultas manusiawi masing-masing, sebagai aset fitriah dengan potensi luar biasa itu, secara bersama serta seimbang harmonis sehingga tatanan masyarakat luhur, beradab dan bermartabat dapt diwujudkan. Aamiin.

Gayus dan Karakter

Monday, April 9th, 2012

Gayus (lama) tertangkap! Semua terkejut dan berbagai usaha dilakukan agar kasus itu tidak terulang lagi. Tiba-tiba muncul Gayus baru dan tertangkap lagi. Adalah salah besar menganggap bahwa Gayus (lama) adalah sesuatu yang tiba-tiba datangnya dan itu hanyalah sebuah anomali. Dengan orde uang yang dicurinya sedemikian besar, sungguh tidak mungkin bahwa itu hanyalah kasus yang bersifat lokal, terisolasi, berdiri sendiri. Dapat dipastikan bahwa itu hanyalah sebuah puncak gunung es di atas permukaan air, nampak kecil, berdiri sendiri dan terisolasi. Namun sebenarnya, di bawah permukaan, ia adalah sesuatu yang amat besar dan dahsyat, yang sanggup menenggelamkan Kapal Titanic. Karakter Gayus, yang berani menelikung uang negara sampai puluhan milyar, tanpa merasa bersalah, tentu dibentuk oleh proses yang lama dan panjang. Perasaan aman, nyaman, dan tenang dalam melakukan kesalahan tentu dikarenakan oleh bentukan lingkungan dalam waktu yang amat lama. Ada contoh-contoh nyata dan gamblang dari para pendahulu, para senior yang dapat melenggang menilep uang milyaran tanpa tersentuh hukum, dan itu berlangsung terus menerus, mungkin puluhan tahun (rezim orde baru saja berlangsung 30 tahun lebih) tentu telah memberi Gayus sebuah “pandangan dunia” (world view) yang amat menggoda dan bahkan kemudian membentuk dirinya, bahkan barangkali tanpa disadarinya. Karakter, sebuah tingkah laku yang mewujud secara alamiah, tanpa dibuat-buat, tentu dibentuk dalam waktu yang amat panjang sehingga ia tertanam kuat menukik amat dalam di bawah sadar. Karakter dapat dibentuk secara sengaja dan terencana, diproses dan dididikkan; tentu untuk suatu karakter yang berbeda dengan lingkungannya akan memerlukan usaha yang berat namun bukanlah sesuatu yang mustahil. Ada tahapan-tahapan yang harus dilewati, mulai dari dipaksakan secara ketat dan disiplin, kemudian diterima ditataran rasional, dan akhirnya diterima sebagai bagian dari keyakinan. Tindakan mengambil hak orang lain, mencuri atau korupsi secara universal dipandang sebagai tindakan tidak terhormat, tidak layak, tidak bermoral, kejahatan. Namun pandangan pribadi mengenai hal ini dapat mengalami erosi evolutif. Selama proses pendidikan tingkat dasar hingga menengah (bahkan mungkin hingga universitas) pandangan dunia bahwa korupsi adalah suatu tindak kejahatan bisa jadi belum berubah atau bahkan terus mengalami proses penguatan. Dunia pendidikan memang sebuah dunia ideal dan sebagian besar peserta didik memang “terlindungi” di dalam atmosfir ideal itu (walaupun dalam banyak kasus keadaaan ideal di dunia pendidikan juga mengalami erosi akibat kuatnya tekanan lingkungan atau masysrakat yang lebih luas dan kuat). Meskipun demikian tidak diingkari bahwa benih-benih koruptif juga mulai merasuk ke dunia pendidikan, sejak persaingan masuk yang amat ketat (sering memaksa orang tua menempuh jalur yang tidak benar, anak-anak dipaksa untuk berorientasi hanya pada angka kelulusan dan mengabaikan proses). Pendidikan, formal maupun informal, merupakan proses yang amat penting untuk memperlambat erosi evolutif tersebut. Sedikit saja terdapat kesalahan dalam proses pendidikan dapat berakibat fatal, gagal membentuk pribadi dengan karakter kuat, untuk tetap tegak berpijak pada nilai-nilai luhur universal: jujur, tidak menelikung dan mengambil hak orang lain. Jika nilai ini dapat ditegakkan kembali secara massif maka Indonesia masa depan masih akan mempunyai harapan yang dapat dibanggakan. Semoga!