Archive for August, 2012

Mengunjungi Turki (2)

Monday, August 13th, 2012

Penerbangan dari Istanbul menuju Neshevir memerlukan waktu sekitar 90 menit. Bandara Neshevir amat sederhana, kurang lebih sama dengan Bandara Husein Bandung. Bedanya dengan Bandung, bandara Neshevir ini nampaknya berlokasi di dataran tinggi, ditengah-tengah padang terbuka, jauh dari perumahan penduduk. Bandara Husein Bandung berada di tengah-tengah pemukiman padat. Dari Neshevir kami masih harus berkendaraan mobil sekitar 2 jam menuju kota Nigde. Selama perjalanan darat ini, setengah terkantuk-kantuk, saya menyaksikan hamparan tanah luas, jarang perumahan penduduk. Kota Neshevir nampak merupakan  suatu komunitas yang berada di tengah-tengah padang. Akhirnya kami tiba di kota Nigde sekitar pkl 10-an malam, kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar seratus ribuan keluarga saja. Karena musim panas, sekitar tiga minggu sebelum Ramadhan 2012 M, maka shalat subuh sekitar pkl 3 dini hari dan isya sekitar pkl 10-an malam. Pembangunan kota tampak di mana-mana: jalan-jalan sedang di hotmix, pembangunan apartemen-apartemen baru (di kota praktis tidak ada rumah individual, semuanya tinggal di apartemen untuk menghemat biaya pemanas di musim dingin). Universitas Nigde mempunyai kampus baru yang luas di pinggiran kota; masih gundul, pohon-pohon belum tumbuh sepenuhnya. Para mahasiswanya yang menjadi panitia umumnya tidak dapat berbahasa Inggris (tentu sangat berbeda dengan mahasiswa Indonesia yang umumnya dapat berbahasa Inggris, walau mungkin terbata-bata dan dengan tata bahasa yang belum sempurna). Seusai konferensi, kami sempat mengunjungi situs wisata yang spektakuler di Cappadokiya (ejaan mungkin salah). Suatu wilayah luas dengan ratusan “jamur” raksasa dari baru alam. Nampaknya “jamu” batu itu mempunyai dua jenis batu yang berbeda kepadatannya. Sebagian besar (bagian bawahnya) mudah tererosi angin sedangkan bagian atasnya sangat keras dan tidak mudah tererosi. Akibatnya setelah ribuan tahun, gunung-gunung kecil itu berubah bentuk menjadi seperti jamur payung; sungguh menakjubkan karena jumlah yang amat banyak di suatu hamparan padang luas. Wilayah itu dulunya merupakan daerah tumpahan lahar gunung berapi yang tampak dikejauhan. Masih di wilayah itu kami mengunjungi sentra produk pecah belah keramik, batu berharga, dan kerajinan tangan lainnya. Menariknya adalah bahwa penduduk lokal menolak industrialisasi manufaktur modern sehingga daerah itu tetap bersih dan dapat bertahan hidup karena keunikan produksi kerajinan tangannya yang amat khas. Pariwisata menjadi andalan kegiatan ekonominya. Walaupun tempatnya amat terpencil dan sungguh sulit dicapai, namun ribuan wisatawan terus mengalir sehingga roda ekonomi dan kehidupan sejahtera masyarakatnya nampaknya tetap terjaga. Indonesia tentu amat kaya pula dengan situs-situs yang dapat ditawarkan oleh oleh kegiatan pariwisata sehingga juga dapat memancing kehadiran jutaan wisatawan; yang dibutuhkan adalah visi dan manajemen modern. Perjalan ke luar negeri selalu dapat menjadi cermin untuk melihat diri sendiri dengan lebih jelas.

Mengunjungi Turki (1)

Tuesday, August 7th, 2012

Ini merupakan perjalanan saya ke Turki untuk pertama kalinya dalam rangka memenuhi undangan untuk menjadi salah satu pembicara dalam Incternational Conference on Computation in Science and Technology. Saya beruntung karena konferensi tidak diadakan di Istambul atau Ankara tetapi di kota dan Universitas Nigde, sebuah kota yang berada di bagian tengah-selatan Turki. Perjalanannya memang melelahkan, dari Jakarta malam hari dan tiba di Istambul keesokan harinya, setelah terbang selama sekitar 13 jam. Karena pesawat berikutnya menuju Neshevir baru akan berangkat sekitar pkl 19.40 maka seharian itu saya manfaatkan bersama kawan-kawan yang lain untuk mengunjungi situs-situs sejarah di Istambul: Masjid Biru (Blue Mosque), Aya Sophia, Masjid Sulaiman, Istana Topkapi dan Bazaar. Nampak dengan jelas bekas-bekas Turki sebagai Negara raksasa masa lalu. Ornamen-ornamen keramik berwarna biru yang cukup banyak itu mungkin yang menyebabkannya diberi nama Masjid Biru. Ini termasuk salah satu situs pariwisata di Istambul, yang penting untuk dikunjungi; masih digunakan untuk shalat lima waktu. Meskipun demikian wisatawan (Muslim maupun non Muslim) dapat masuk ke dalam untuk melihat karya arsitektur masa lalu yang luar biasa. Pengunjung dibekali tas untuk menyimpan sepatu dan kain penutup untuk pengunjung perempuan. Dari Masjid Biru kami berjalan kaki menuju Museum Aya Sophia. Museum ini dulunya adalah Gereja Orthodox (Bizantium), kemudian menjadi Masjid dan akhirnya dijadikan museum. Walaupun sering melihat fotonya, namun melihat secara langsung tetap saja membangkitkan kesan tersendiri, sulit diungkapkan dengan kata-kata: luar biasa. Kemudian kami menuju istana Topkapi yang berada dalam jarak tempuh jalan kaki dari Masjid Biru. Sisa-sisa Istana Topkapi yang masih terpelihara benar-benar mengindikasikan adanya kemewahan masa lalu; suatu kompleks yang luas, nyaman di atas perbukitan menghadap selat Bosphorus(?). Puncak kemewahan apakah awal dari keruntuhan suatu peradaban? Artefak-artefak masa lalu yang masih tersisa, entah itu Piramida di Luxor (yang saya sempat masuk ke dalamnya di awal tahun delapan puluhan), reruntuhan istana Romawi, Kekaisaran Persia, dll nampaknya merupakan puncak kemewahan di jamannya yang hingga kini masih tersisa (mungkin dapat menjadi pelajaran bagi generasi manusia berikutnya). Kami berjalan kaki sejak sekitar pkl 9 hingga tengah hari menjelang dhuhur di kompleks ketiga situs itu. Setelah makan siang, dengan mobil kami menuju Bazaar. Saya sempat shalat dhuhur berjamaah di Masjid yang berada di depan (?) Bazaar: sebuah kompleks pasar, atau Mall yang khas. Tidak cukup waktu untuk melihat keseluruhan kompleks Bazaar karena kami harus segera menuju bandara untuk terbang lagi ke Neshevir.