What is this? From this page you can use the Social Web links to save Dengan Mahasiswa Aceh to a social bookmarking site, or the E-mail form to send a link via e-mail.

Social Web

E-mail

E-mail It
June 13, 2011

Dengan Mahasiswa Aceh

Posted in: Uncategorized

Tulisan ini saya sampaikan dalam acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tanggal 13 Juni 2011.

Peradaban atau tamaddun sering digunakan sebagai padanan dari kata civilization. Kata yang terakhir ini mempunyai berbagai definisi, mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Dalam kata ini sekurang-kurangnya terkandung makna budaya, pola hidup, bentuk-bentuk pemerintahan, stratifikasi sosial, sistem ekonomi, literasi, infrastruktur, dan berbagai produk budi daya manusia lainnya. Kalau kita telusuri fakta sejarah maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ada sejumlah peradaban yang benar-benar telah mati, musnah, tiada sisa kecuali sejumlah artefak, benda-benda mati, saksi bisu yang tidak dapat bohong bahwa dulu pernah ada peradaban tersebut. Artefak-artefak Inca-Maya, Mesir purba, atau Romawi kuno, mungkin merupakan sebuah bukti mengenai adanya peradaban Inca-Maya, Mesir pruba atau Romawi kuno itu. Tentu amat menarik untuk mencari jawaban mengapa dan bagaimana peradaban-peradaban besar di jamannya itu dapat mati bahkan punah; demikian juga sama menariknya mencari jawaban mengapa dan bagaimana peradaban berikutnya lahir dan kemudian menggantikan peradaban yang telah mati dan musnah itu. Cukup banyak buku-buku yang membahas mengenai the fall of civilizations atau societal collapse, misal untuk menyebut dua buah saja, karya Jared Diamond (2005): Collapse: How Societies Choose to Fall or Succeed, dan karya Edward Gibbon (1909): The Decline and Fall of the Roman Empire.

Menurut Al-Qur’an setiap peradaban itu, sebagaimana makhluq hidup lainnya, mempunyai batas usia atau ajal. Di samping itu, masih menurut Al-Qur’an, kejayaan peradaban itu dipergilirkan, ada suatu periodisitas. Saya tertarik untuk mengamati di manakah sebenarnya posisi bangsa yang berbahasa Indonesia itu dalam sejarah peradaban besar lainnya. Kita mengenal sejumlah peradaban yang mendunia di jamannya masing-masing: Inca-Maya, Mesir purba, Romawi Kuno, China, Kisra Parsia, Syailendra Jawa Kuno, Islam, Modern-Barat. Karena kendala tranportasi dan komunikasi, peradaban purba atau kuno umumnya terlokalisir. Karena sifatnya yang lokal itu maka kehancuran dan kepunahannya tidak menimbulkan dampak mendunia dan berkepanjangan. Di samping itu, posisinya dalam sejarah dapat digantikan oleh peradaban baru yang mungkin tidak ada kaitannya sama sekali dengan peradaban lainnya yang telah musnah. Bahkan peradaban kuno mungkin identik dengan kota dalam peradaban modern barat. Oleh karena itu, sebuah bencana alam dahsyat dapat saja menyapu habis suatu peradaban kuno (legenda peradaban atau kota Atlantis kuno dapat menjadi contoh). Namun dengan kemajuan sarana/prasarana transportasi, jangkuan peradaban semakin meluas dan bahkan kini kita benar-benar telah berada dalam suatu peradaban dunia dalam arti yang sebenarnya (mencakup seluruh penjuru dunia). Peradaban dunia telah hadir: gaya hidup, sistem pemerintahan atau politik, sistem ekonomi, tata kota, dan sebagainya yang praktis secara umum mirip, seragam, atau dalam proses dipaksakan untuk seragam (misal model gaya hidup dan demokrasi ala Amerika; model pasar dan persaingan bebas dsb). Memang masih mengandung sejumlah uniqueness di sana sini. Uniqueness atau distinctiveness itu dapat meredup (bahkan dapat hilang dan punah) seiring kuatnya pengaruh kesamaan global.

Nampaknya satu demi satu uniqueness itu tertaklukan: di mana-mana ada McD, KFC, demokrasi ala Amerika, model pasar bebas; ada kekuatan hegemonial. Padahal kalau melihat hasil studi Edward Gibbon yang mengatakan: The decline of Rome was the natural and inevitable effect of immoderate greatness. …. the cause of destruction multiplied with the extent of conquest; and, as soon as time or accident had removed the artificial supports, the stupendous fabric yielded to the pressure of its own weight. Bahwa ada batas usia, ada waktu kejayaan dan keruntuhan, sudah menjadi sunatullah, namun kapan dan bagaimana peradaban modern yang kita kenal ini akan berakhir (ada kepastian) masih agak samar atau misteri. Namun effeknya pasti akan luar biasa, mendunia karena peradaban modern ini tidak lagi bersifat lokal. Bayangkan jika tiba-tiba Amerika collapse, dan uang dollar tidak punya arti lagi; ekonomi dunia collapse. Krisis-krisis yang baru lalu belum sepenuhnya menggambarkan hal ini karena dollar Amerika masih kokoh, superiority militernyapun masih gagah perkasa, tiada tandingan. Jika peradaban ini runtuh, maka siapapun yang lebih banyak mempunyai kemiripan dengannya atau menjadi subordinatenya akan merasakan dampaknya yang semakin besar. Di sinilah pentingnya uniqueness atau distinctiveness itu. Mengenai hal ini sebenarnya dalam krisis mortgage yang baru lalu telah ada pelajaran cukup nyata: Siapapun yang menjadi bagian dari sistem keuangan Amerika ikut terpukul dengan goncangnya sistem keuangan itu. Ada sejumlah komunitas yang lenyap, ada artefak yang hilang, ada wilayah luas yang rusak, berubah, bahkan mungkin lenyap dari permukaan bumi dalam punahnya suatu peradaban. Demikian pula nantinya jika peradaban modern yang kita kenal sekarang ini telah tiba ke batas usianya. Meskipun demikian ada sejumlah elemen dari peradaban modern barat yang akan tetap bertahan, sebagaimana sejumlah elemen peradaban Romawi/Yunani kuno tetap terwariskan hingga saat ini (walaupun secara keseluruhan peradaban mereka telah musnah dan lenyap).

Indonesia tentu tidak dapat dan memang tidak perlu mengisolasi diri agar tidak terseret dalam kepunahan peradaban mendunia saat ini. Ada sejumlah hal yang akan menyebabkan runtuhnya suatu peradaban. Dari banyak tulisan mengenai hal itu dapat dilihat adanya beberapa hal yang akan berujung pada pelemahan internal pilar-pilar penyangga peradaban. Walaupun hal itu merupakan hasil dari kajian tentang peradaban masa lalu yang sangat terlokalisir namun perlu juga dicermati jika digunakan untuk peradaban saat ini yang bersifat mendunia. Pertama, yang bersifat nilai-nilai, yaitu exploitative, greediness (keserakahan), ketidakadilan, kesewenang-wenangan atau kepongahan. Eksploitatif dan keserakahan praktis tidak mengenal batas dan akhirnya akan menerabas batas-batas maksimal yang dapat dipikul oleh ekosistem. Perubahan iklim global merupakan konsekuensi logis dari peradaban global saat ini yang mempunyai indikasi kuat bersifat eksploitatif dan serakah. Iklim global dapat amat destruktif, masif dan global manakala terus berpusar menjadi liar akibat eksploitasi alam dan keserakahan yang tidak terkendali lagi. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pada akhirnya pasti akan mengundang perlawanan dan perang yang jika berkepanjangan juga akan melemahkan pilar-pilar sosial kemasyarakatan (karena biaya riil maupun sosialnya tidak akan terpikulkan lagi). Contoh yang spektakuler adalah runtuhnya Soviet Empire karena perang berkepanjangan di Afganistan. Kedua, yang bersifat fisis, seperti menurunnya daya dukung ekosistem (energi, pangan, dsb) sampai ke batas-batas yang tidak dapat ditoleransi lagi; atau hilangnya daya dukung sistem dalam memecahkan kompleksitas persoalan yang terus meningkat yang berakibat pada kekacauan sistem sosio-politico-economico yang melemahkan dan kemudian menghancurkan peradaban itu dari dalam. Bagi Indonesia menjadi amat penting untuk tidak saja bertahan dari sapuan keruntuhan peradaban global namun juga bahkan keluar menjadi penyelamat karena kemampuannya menawarkan jalan atau peradaban alternatif. Pertanyaannya adalah adakah kemungkinan atau peluang untuk itu?

Saya termasuk yang optimis mengenai masa depan Indonesia, terlepas dari berbagai kekurangan, kelemahan, dan berbagai kesemrawutan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Bagi saya saat ini cuma ada dua jenis peradaban yaitu peradaban yang mempunyai basis nilai-nilai tauhid dan yang tanpa nilai-nilai tauhid. Peradaban jenis pertama saat ini sedang tidur, diistirahatkan oleh Tuhan karena sebelumnya telah diberi giliran mengatur dunia hingga ratusan tahun (dari abad ke 7 hingga praktis abad 15); sebagai gantinya adalah peradaban non-tauhid yang telah menjadi penguasa dunia sejak abad 15 hingga kini di abad 21, yaitu peradaban barat modern. Peradaban ini menurut saya telah mencapai atau melewati puncak kejayaannya dan tanda-tanda diperlukannya peradaban baru yang lebih human, friendly, non-exploitative, benevolent, charitable, generous, just, humble semakin nyata. Persyaratan umum bagi kedua jenis peradaban itu agar dapat mengurus dunia sebenarnya sama yaitu memahami, menguasai dan memanfaatkan sunatullah (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang mengatur alam (dunia) secara benar dan hal tersebut praktis bebas dari nilai-nilai tauhid. Namun ada batas-batas kemampuan manusia dalam bersikap adil dan objektif, yang perlu secara terus menerus mendapat penguatan. Pelemahan dalam sikap-sikap tersebut dapat berujung pada penggunaan sunatullah untuk tujuan destruktif, bahkan termasuk terhadap dirinya sendiri. Di sinilah peran nilai-nilai tauhid tersebut. Inilah alasan pertama Indonesia mempunyai peluang untuk berperan bagi hadirnya peradaban alternatif karena sebagian besar penduduknya cukup akrab dengan nilai-nilai tauhid (walaupun dalam proses globalisasi menghadapi tantangan pengikisan yang luar biasa).

Dalam konteks pergiliran bangsa-bangsa dalam mewarisi dunia, Indonesia belum mendapat kesempatan atau giliran untuk mengejawantahkan nilai-nilai tauhid dalam mengatur dunia. Bandingkan dengan Spanyol, Mesir, Iraq, Turki, Iran, India Mogul yang telah mendapat kesempatan mewarnai peradaban yang mendunia dengan nilai-nilai tauhid itu. Artinya ada keberpihakan sejarah yang tidak dapat dilawan oleh siapapun (mohon maaf kalau terkesan narsis). Jadi sebenarnya Indonesia mestinya hanya perlu faktor penguasaan sunatullah untuk mengurus dunia saja; dua faktor dominan lainnya, yaitu tauhid dan sejarah, telah berpihak padanya. Untuk faktor pertama sudah ada contoh nyata yang jejaknya dapat diikuti; sederhananya, cukup mengcopy saja. Saya mengusulkan fenomena Korea Selatan untuk diikuti jejaknya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua hal saja yang ingin saya garis bawahi mengenai Korea Selatan (yang ditahun 60-an hingga awal 70-an masih sama miskin dan terbelakangnya dengan Indonesia). Pertama, Korea Selatan mampu mengejar ketertinggalan dalam saintek karena berhasil membangun karakter bangsanya dengan karakter yang disiplin, tough, gigih, pekerja keras, dan jujur. Ada sebuah kisah nyata sebagai ilustrasi mengenai karakter itu, yaitu kisah seorang guru besar yang bernama Lim (bukan nama sebenarnya) dan mahasiswa pasca sarjana yang dibimbingnya, Park. Sampai tiba batas waktunya ternyata Park belum dapat menuntaskan thesisnya dan yakin jika diberi waktu tambahan satu bulan saja maka ia dapat menyelesaikannya secara tuntas. Oleh karena itu Park menghadap professor Lim untuk minta waktu tambahan walaupun dalam hati kecilnya ia tahu bahwa hal itu tidak mungkin karena disiplin dan ketegasan beliau sudah amat terkenal. Persis seperti dugaannya, permohonannya ditolak dan Park pun terpaksa di-DO-kan. Akhirnya Park keluar dari universitas dan mendapat pekerjaan tempatnya berkarir. Namun setiap pertengahan Maret Park ditemukan oleh mahasiswa yang berasal dari Indonesia selalu berkunjung ke kampus bekas universitasnya. Setelah tiga tahun berturut-turut selalu muncul akhirnya mahasiswa Indonesia itu tidak dapat menghentikan rasa ingin tahunya untuk bertanya kepada Park, apakah yang mendorongnya selalu datang ke kampus. Park menjelaskan bahwa pertengahan Maret adalah hari guru dan ia kekampus untuk berkhidmat kepada professor Lim. Mahasiswa dari Indonesia tersebut melongo, terbengong-bengong dan dengan keheranan bertanya bukankah professor Lim lah penyebab utama ia di-DO? Dengan tenang Park menjawab bahwa ia memang gagal secara akademik namun ia tidak mau gagal secara moral. Ini jelas sebuah wujud dari karakter yang kuat, dan teguh.

Kedua, masih dengan contoh Korea Selatan, menciptakan suatu musuh bersama yang harus ditaklukkan. Tentu tidak dalam arti perang fisik, tetapi sesuatu yang harus ditaklukan dalam arti dicapai dengan tekad bersama. Mereka telah menciptakan semboyan “Lets beat Japanese”. Mereka ciptakan sesuatu yang dijadikan target bersama, yang dapat membangkitkan militansi nasional, yang dapat membangkitkan semangat berkorban bersama, yang dapat memperkokoh karakter yang teguh, gigih, dan kuat itu. Mereka pada akhirnya dapat memetik buahnya. Dua tahun lalu saya mengunjungi sebuah laboratorium yang sangat maju di Berlin Jerman Barat, yaitu Fraunhoffer-Institute. Saya mengunjungi fasilitas clean room class 10 (ruang yang hanya mengandung maksimum 10 debu per m3) yang sedang dibangun. Ada suatu peralatan yang amat canggih yang sedang disusun; yang menarik saya adalah alat modern tersebut sedang disusun oleh para teknisi yang berwajah Asia. Saya bertanya kepada Professor Jerman yang mendampingi saya “Who are they?” Jawabnya “They are Korean. Yes we just bought those instruments from Korea and now they setting up the instruments”. Saya benar-benar shock: Jerman membeli peralatan instrumen modern dari Korsel!! Ini benar realitas yang amat mencengangkan saya. Korsel benar-benar luar biasa dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; Samsung, LG, Hyundai, KIA dsb sekarang memang sudah mampu menggoyang dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya masih tetap optimis. Sebagai suatu kiasan, Indonesia saat ini mirip seperti seorang Ibu yang kesakitan karena akan melahirkan seorang anak, pewaris masa depan. Begitu sunatullahnya, setiap kelahiran suatu peradaban besar selalu didahului oleh adanya kebangkrutan moral, keruntuhan tatanan sosial; suatu cara dari Allah untuk membersihkan suatu generasi untuk kemudian digantinya dengan generasi yang baru yang lebih kompatible dengan nilai-nilai fitrah manusia. Begitulah Indonesia saat ini, sedang menuggu kelahiran generasi barunya yang akan mewarisi dunia. Resepnya adalah ikuti atau manfaatkan kecenderungan sejarah (bangkitnya kembali peradaban berbasis tauhid), bangun karakter bangsa melalui pendidikan sejak dini, dan ciptakan tantangan bersama. Pendidikan di Indonesia harus secara serius diarahkan untuk mampu membangun karakter yang kuat, teguh, gigih, pantang menyerah dengan fondasi nilai-nilai tauhid, yaitu keikhlasan, ketulusan, kejujuran, kerendah hatian, dan kesantunan. Hal ini harus dibangun dari segala arah, tidak hanya dari sekolah, namun juga dari masyarakat luas. Ditangani dengan pendekatan total football, semua digerakkan untuk turut memberi kontribusi. Pencipta lagupun dikerahkan untuk menciptakan lagu-lagu anak-anak yang menggugah semangat itu. Diperlukan dua sampai tiga generasi mendatang; dimulai dari anak-anak. Saya usulkan sebagai simbol “tantangan” bersama itu adalah Korea, jadi harus ada semboyan “Mari kita kalahkan Korea”, tentu dalam hal kebersihan, keteraturan, kesejahteraan, keunggulan pendidikan, dan sejenisnya. Ada fastabiqul khoiraat, berlomba-lomba dalam kebajikan dalam mengurus dunia. Bangsa ini pernah mempunyai pengalaman spiritual seperti ini, yaitu dimasa perjuangan kemerdekaan; di sana ada musuh bersama yang mampu membangkitkan militansi bersama, kesediaan berkorban bersama, dan sebagainya. Artinya, pengalaman spiritual kesejarahan itu dapat dipanggil ulang, dibangkitkan kembali; gunakan seluruh potensi untuk itu. Kita memang berlomba dengan waktu namun itu semua bukan sesuatu yang mustahil. Memang masih ada pertanyaan yaitu fakta atau realitas yang ada sungguh amat berbeda, bahkan ada yang mengatakan bangsa ini telah mengalami kebangkrutan moral dan menjadi failed state; jadi apakah itu semua bukan suatu impian di siang hari bolong alias mustahil? Jawabannya: bukan!

Apakah peran kita yang sedikit (yang dapat berkesempatan mengeyam pendidikan tinggi) ini? Setiap perubahan besar yang menyejarah selalu diawali dan digerakkan oleh kelompok kecil elite (ingat Rasul dan para sahabat dekatnya, sekelompok kecil elite di masyarakatnya). Kuantitas bukan suatu kendala (kam min fiatin qolilatin gholabat fiatan katsirotan bi idznillah, wa Allahu ma’ashshoobirin). Peran kelompok kecil ini adalah menjaga agar api tauhid terus menyala, dan memperluas cakupan wilayah cahayanya. Tauhid itu artinya semua untuk Allah, tidak ada aku, tidak ada ego, tidak semau gue. Ketaatan total kepada Allah swt ukuran dunianya amat mudah terdeteksi yaitu menjadi rahmat bagi alam semesta, semuanya (manusia, masyarakatnya, lingkungannya, tatanan sosial politik ekonominya, peradabannya) tertangani dengan adil. Ada empat asumsi dasar yang dapat dijadikan pijakan untuk melangkah menyongsong masa depan yaitu:

1. bahwa keadaan Indonesia, bahkan dunia saat ini dan masa depan, dibentuk dan akan selalu dipengaruhi secara significant salah satu di antaranya oleh sains dan teknologi. Membicarakan Indonesia masa depan tidak dapat dilepaskan dari visi sains dan teknologi masa depan Indonesia

2. bahwa di samping mempunyai potensi sumber daya alam dan manusia melimpah yang diperlukan bagi tumbuh dan berkembangnya masa depan yang cemerlang, Indonesia juga mempunyai sejumlah potensi konflik internal maupun eksternal yang bahkan dapat mengancam eksistensinya

3. bahwa pewaris masa depan, yaitu anak-anak muda, khususnya para mahasiswa perlu secepatnya terekspose dengan persoalan multidimensi bangsa, negara dan bahkan persoalan dunia, hubungan antar bangsa, dengan wawasan seluas mungkin agar tingkat kematangan leadershipnya dapat dicapainya secepat mungkin

4. bahwa moral, integritas, budi luhur, dan akhlaq mulia telah menjadi keharusan universal bagi eksistensi secara bermartabat tidak saja individu tetapi juga bangsa dan negara

Lalu apa dan bagaimana peran kalian, mahasiswa Aceh, untuk kebangkitan bangsa besar ini? Kalian telah dibesarkan oleh realitas sejarah yang penuh konflik, bisa jadi jabang bayi bangsa besar ini akan dimulai oleh kalian. Bagi saya, sejarah nampak berpihak pada kalian untuk memimpin Indonesia menjadi bangsa besar. Saya berharap dalam lima puluh tahun ke depan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi salah bangsa yang amat disegani di dunia dan salah seorang Presidennya adalah putera asli Aceh bahkan mungkin kini ada di antara kita semua yang hadir di sini. Persiapkanlah diri kalian sedini mungkin: brain & mind dengan knowledge & tauhid. Selamat berjuang untuk masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil, makmur, dan menjadi berkah bagi dunia.


Return to: Dengan Mahasiswa Aceh