Tulisan ini termuat di Note saya di Facebook..

Dan juga saya simpan di blog ini..

Dari namanya semestinya dapat disimpulkan bahwa gedung seperti ini dibangun tentunya dengan tujuan agar dapat menunjang perkembangan dan peningkatan kualitas kesenian di daerahnya. Jika dilihat dari sisi tujuannya tidak ada yang salah, bahkan dapat dikatakan tujuannya sungguh mulia sekali karena ini menyangkut ‘rasa’ yang dimiliki oleh masyarakat daerah itu disamping juga diperuntukkan sebagai wujud apresiasi dan kebanggaan dari sisi pengambil & penanggung jawab kebijakan, dalam hal ini PemDanya, kepada masyarakatnya. Jika tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan BENAR maka masyarakat di daerah itu akan dapat meng’ekspresi’kan dirinya dalam bentuk kesenian yang khas yang nantinya menjadi ciri & ‘icon’ yang bersifat unik. Dimasa yang lalu, hal ini pernah terjadi pada saat Srimulat sedang berada pada masa jayanya.

Pada kenyataan yang ada sekarang, hampir semua Gedung Kesenian yang dimiliki oleh PemDa2 di seluruh Indonesia, tidak mampu untuk mewujudkan tujuannya itu. Pengecualian tentunya terjadi misalnya pada Gedung Kesenian Jakarta. Karena ketidak berhasilannya mencapai apa yang menjadi tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan Gedung Kesenian itu ‘hanya’ menjadi beban keuangan bagi PemDa-nya, yang ujung2nya juga menjadi beban bagi masyarakatnya. Hal ini tentunya akan menimbulkan tanda tanya, Kenapa hal itu terjadi?

Pada kesempatan ini, penulis tidak akan berusaha menjawab tanda tanya itu dari sisi keuangan, kebijakan, sosial, budaya bahkan dari sisi politiknya sekalipun. Penulis akan menekankan hanya dari salah satu aspek fungsional Gedung Kesenian itu sendiri, yaitu dari sisi akustik-nya. Sisi akustik ini merupakan salah satu aspek terpenting berupa media komunikasi anntara seniman & audience-nya, yang mesti menjadi ‘roh’ dari keberadaan bangunan ini. Tanpa adanya kondisi yang tepat bagi ‘roh’nya ini, bisa dipastikan bahwa fungsi gedung itu tidak akan tercapai. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kondisi akustik yang seharusnya dibuat/dirancang agar terjadi di dalam Gedung Kesenian ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, hal pertama yang mesti diperhatikan adalah kesenian atau seni pertunjukan apakah yang mau dipresentasikan dan dijadikan sebagai ‘icon’ dari daerah tersebut? Hal ini berhubungan dengan cukup lebarnya domain dari bidang seni pertunjukan itu sendiri. Yang paling berwenang untuk menjawab tentunya para budayawan, terutama sekali budayawan seni pertunjukan di daerah itu. Konsultasi dan usulan dari para budayawan daerah itu menjadi salah satu kunci utama kearah pencapaian tujuan dari keberadaan gedung itu. Disamping itu, diperlukan juga suatu telaah yg cukup mendalam atas potensi seni pertunjukan yg dimiliki oleh daerah itu, misalnya melalui suatu ‘feasibility study’ yg nantinya bermanfaat untuk menunjang ’sustainability’nya.

Setelah diketahui ‘ciri khas local genius di bidang seni pertunjukan di daerah itu’, selanjutnya perlu dicari karakteristik akustik dari seni musik yang menunjang seni pertunjukan itu sendiri. Berbagai jenis seni musik, apalagi yang berkarakteristik tradisional, dimiliki oleh bangsa ini, dan seni ini cenderung menghasilkan keunikannya masing-masing. Sebagai contoh, kota Bandung memiliki musik tradisional yang khas, misalnya musik angklung dan musik degung. Secara akustik karakteristik musik angklung tentunya berbeda dengan karakteristik musik degung. Konsekwensinya, gedung yang sesuai untuk musik angklung tentunya akan berbeda dengan musik degung. Dengan kenyataan seperti ini, apakah masing-masing seni musik itu mesti memiliki gedung keseniannya masing2..? Jika ditinjau dari sisi akustik, dengan tujuan untuk menonjolkan kualitas seni musiknya masing2, maka jawabannya adalah “ya”, masing2 seni musik ini HARUS memiliki gedung kesenian yang khusus diperuntukkan bagi pagelarannya.

Untuk mengurangi biaya yg dibutuhkan untuk membuat masing2 gedung kesenian tersebut, Apakah bisa dicarikan suatu kondisi akustik yg ’suitable’ untuk kedua jenis musik ini? Tentu saja bisa, selama kondisi tersebut masih cukup memadai untuk dapat menunjang ‘performansi’ keduanya. Namun sering terjadi, kompromi seperti ini tidak dapat dilakukan sebagai akibat dari terlalu besarnya perbedaan karakteristik akustik yang dibutuhkan tersebut.
Apakah bagian dari karakteristik akustik yang paling berpengaruh kepada sisi arsitektur ruangannya? Salah satu dari beberapa komponen akustik tersebut disebut dengan ‘waktu dengung’ ruangan. Besaran ini sangat tergantung kepada volume ruangan dan jumlah total luas permukaan2 ruangan dikalikan dengan koefisien penyerapan suara dari masing2 permukaan ruangan tersebut. Makin besar volume ruangan makin panjang waktu dengungnya, namun makin luas volume permukaan ruangan makin kecil waktu dengungnya.

Secara umum, disamping komponen ‘waktu dengung’ terrsebut, kondisi akustik yang baik sangat ditentukan oleh faktor spektral, temporal dan spatial dari medan suara yang didengarkan ‘audience’. Seluruh komponen itu (beserta turunan2 parameternya yang bersifat subjektif) mesti berada pada kondisi optimum atau pada suatu ‘range’, yang sangat tergantung kepada karakteristik dari musiknya sendiri. Permasalahan utamanya adalah ketiadaan dari data kondisi akustik optimum tersebut, yang akhirnya berdampak kepada “pen’dikte’an seni musik oleh perkembangan teknologi elektronik sistem tata suara”. Hal terakhir itu, secara tidak langsung mengakibatkan bergesernya ‘preferensi’ masyarakat atas kondisi akustik yang baik itu, dari kondisi ‘natural’ menjadi kondisi ‘artificial’. Pada kondisinya yang cukup ekstrim bahkan mengubah persepsi masyarakat dengan menjadikan ‘kondisi akustik yang dihasilkan oleh home-theatre system lebih baik dari theatre yang sebenarnya’.

Jadi, kondisi akustik yang baik itu, yang ‘natural’ atau ‘artificial’..?

Komentar & Response

Felix Susanto
Felix Susanto at 9:04pm April 12
Pandangan yang menarik Pa Komang.
Secara budaya yang berkembang musik-musik kita adalah penyatuan diri dengan Tuhan atau alam. Sehingga kondisinya secara budaya adalah natural.
Namun jika kita ingin mengkoordinir ruang akustik untuk pentas musik tradisional mungkinkah disediakan ruangan semi terbuka (seperti taman atau sejenisnya) yang memiliki tata akustik yang dapat mengayomi semua jenis alat musik?
Karena jika kita memfasilitasi dengan ruang berkesenian yang memiliki akustik yang baik, bisa-bisa kepuasan audience hanya terpenuhi dengan mendengarkan langsung dari ruang kesenian di daerah alat musik tersebut berasal. Dan itu akan sangat menyulitkan penyebaran budaya musik tradisi di Nusantara dan pertukaran budaya antar daerah di Nusantara. Karena kita dapat salah menilai mutu atau kuatitas musik tradisi yang tampil bukan di daerah asalnya.
Maaf jika sudut pandang saya ada yang keliru.
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 9:14pm April 12
Terima kasih Pak Felix atas komentar & usulannya.
Secara teknis memang sangat memungkinkan Pak, meskipun dari sisi kualitas akustik yg diterima audience nya tidak mungkin untuk mencapai kondisi optimal. Disamping itu kondisi lingkungan yang bising jg cukup mengganggu ‘attention’ yg ada pada audience, disamping mengurangi tingkat ‘dinamis’ dari Read Moremusiknya.
Dari sisi akustik, landscape yg bagus dapat meningkatkan suasana ‘outdoor space’ itu Pak.. Prof. saya di Jepang bahkan pernah mengupas tentang ‘acoustics spaciality’ dari lingkungan hutan lho..
Felix Susanto
Felix Susanto at 9:55pm April 12
Pak Komang, manggil saya Felix saja, atau mas Felix. (terserah).
Saya sudah seperti cucu Bapa, jadi tidak pantas dipanggil Bp.
Maaf, saya sempat lupa dengan kendala di kota-kota besar di Indonesia.
Hasil pengamatan Prof. Bp menarik juga tentang ‘acoustics spaciality’ di lingkungan hutan, karena dengan bekal ilmunya kita dapat memahami kekayaan budaya Alat Musik Tradisional Nusantara. Sehingga dapat dipahami dan dapat dimasuki oleh disiplin ilmu lainnya. Sehingga alat musik kita dapat disalamatkan secara utuh.
David Klein
David Klein at 12:39am April 13
Istimewa Pak Komang. nanti saya konser 5.1 di RRI Bdg saja ya Pak, duet elektrik piano, RT60 harus di bawah 0,8s
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 10:57am April 13
Kalau saya siih berpendapat tata akustik yg baik itu butuh hibridisasi keduanya. Sbb tujuan tata akustik itu utk mewadahi kegiatan audio – video yg beragam. Hanya kalau boleh mengurutkan prioritasnya : 1) Design ruang yg sesuai dgn hitung teknis fisika bangunannya dulu – jgn sekedar ada hall, bangku, dan panggung sdh disbt gdg seni pertunjukan. 2) Read MoreBila syarat akustik tercapai, kombinasi tata suara buatan guna mendukung optimalisasi audio – video bisa ditambah tetapi dgn ongkos investasi yg relatif lbh masuk akal, sbb tata akustik “natural” ruang sdh dikemas dlm tata kelola ilmu fisika akustik. 3) Kecuali peruntukan gdn tadi mmg sdh khas utk suatu seni perform tertentu – mis. angklung yg tadi – bisa saja mmg dikemas murni natural akustik guna meraih audio yg natural. Dlm hal ini pembuatan gdg. akan terjadi pengkatagorian & klasifikasi yg lbh rinci sesuai kebutuhan dan tujuannya.
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 10:59am April 13
Anyway saya juga main guitar di band jadi kalau manggung yg ruang bnyk kaca, marmer, waah ampun suara mental-mentul, jadi gariing suara yg keluar nggak warm. Kalau sound engineer dan tata soundnya bagus siih lumayan bantu, tapi enggak, waah babak belur ! Maklum artis kampuung jadi jarang dapat tata sound bagus. He he he he he !
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 11:15pm April 14
Great Pak Peter.. karena anda juga pemusik dan memiliki ‘kemampuan’ untuk mengungkapkan ‘the good or bad sound’, hal ini sendiri sudah merupakan kelebihan yang sangat baik Pak. Seringnya, seniman tahu mana yang ’sound’ yang baik atau jelek, tetapi tidak mampu untuk mengungkapkannya secara riil dengan ‘rangkaian kalimat verbal’ yang sederhana Read Moresekalipun. Opini tersebut sebenarnya sangat kami perlukan untuk dapat mengambil ‘langkah2′ untuk memperbaiki dan meningkatkan ‘performansi nya para seniman’ itu.. Salah satu upaya untuk ‘menjembatani’ hal ini adalah dengan memanfaatkan konsep ‘physio-acoustics’ yaitu dari response EEG para seniman atau empu musik tradisional Indonesia.. Riset tentang hal ini sedang kami kerjakan Pak Peter.. mudah2an dapat bermanfaat.. Mohon dukungannya ya Pak (honestly lho).. -)
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 10:34am April 15
Pasti Pak !
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 9:41pm April 15
Terima kasih David Klein.. You always know what I mean.. -)
Kalau konser jangan lupa undangan (freepass)nya ya.. ;-)
nanti juga anda saya undang lagi ke Kampus lho.. pasti -)
Pak,
Saya sangat tertarik dengan semua isi blognya D Apakah karena Saya juga pemusik yang sangat manja dan mencle dan terkesan sangat sensitif hampir tidak toleran jika ditanyakan ttg kualitas suara.
Oh iya pak, Dengan membaca (masih beberapa dan belum smua) artikel yang bapak muat, Saya berpikir. Berarti sebenarnya Acoustic Engineer (misalnya seperti Bapak, ceileee D ) harusnya sangat berperan dalam hal seni musik pertunjukan. Dalam artian,
Dengan ilmu acoustic seorang engineer itu bisa merekayasa satu gedung menjadi memiliki multi acoustic karakteristik. Sehingga, gedung2 pertunjukan di Indonesia yang sudah jelek akustiknya dapat diperbaiki sehingga memiliki akustik yang baik, atau bahkan dapat membuat gedung yang akustiknya secara fleksibel bisa disesuaikan dengan genre musik yang akan dimainkan, sehingga gedung itu benar2 bisa dipakai untuk pertunjukan apapun.
Apakah pendapat Saya ini benar atau sudah tersesat ya Pak ?

rgrds,

Ecko Manalu

Dear Ecko,
Terima kasih atas komentarnya..
Betul sekali, sebagai Acoustician (atau ‘acoustics engineer’) saya memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk merancang kondisi akustik yang baik, bahkan sampai sekelas ‘Concert Hall’ dengan kualitas akustik yang bertaraf International (ini bukan untuk menyombongkan diri lho.. tapi memang sampai seperti itulah adanya). Bukan hanya untuk merancang akustik bagi ruang ‘indoor’ tetapi juga ‘outdoor’, bahkan sampai ke merancang kondisi bising ‘noise design’ di industri (pabrik2/power plan/refinery plan) dan juga lingkungan (airport, perkotaan dsb.nya).
Untuk lingkungan seni pertunjukan, misalnya pertunjukan musik, film, drama, sendratari dsb.nya, peran utama saya sebenarnya adalah disisi akustik ruangannya, yaitu merancang gedung pertunjukkan/gedung kesenian/ruang rapat – conference hall/ruang serbaguna/concert hall dsb.nya sehingga kondisi akustiknya sesuai dan tepat untuk maksud tersebut. Kemudian juga merancang sistem tata suara dan instalasinya untuk keperluan itu.
Sementara untuk operasional sound system pada saat pertunjukan berlangsung, ditangani oleh ’sound engineer’ yang menangani operasional peralatan sound system sehingga menghasilkan suara yang baik dan tepat.
Gedung yang kondisi akustiknya fleksibel sesuai dengan kebutuhan ‘genre’ musik yang dimainkan bahkan juga bisa dipakai untuk hal lain diluar pertunjukan musik, biasanya disebut multi-purpose hall atau Gedung Serba Guna..
Mudah2an bisa menjawab ya…
Sebagai seorang musisi, memang sebaiknya Ecko juga belajar akustik agar dapat menghasilkan performansi musik yang baik..
wah… paparannya luar biasa pa komang…

salah satu impian saya nih membangun gedung konser/kesenian yang secara akustik dan tata letak kursi enak untuk nonton..

Comments No Comments »

Tulisan ini saya buat di Note nya Facebook… jadi ini adalah copy-paste nya.. -)

Dan saya muat juga di blog ini

Bagi beberapa orang pembaca, judul di atas mungkin dipersepsikan atau dirasakan aneh dan tidak ada relevansinya, kenapa? Subjek dari judul tersebut, meskipun tidak dituliskan, tentunya adalah orang, apakah itu penulis, pembaca atau siapa saja. Predikatnya menunjukkan aktifitas yang berhubungan dengan kemampuan salah satu indra manusia yaitu telinga, sementara objeknya (yang umum dipahami orang, apalagi oleh para arsitek) berhubungan dengan kemampuan indra penglihatan yaitu mata. Jadi namppaknya tidak ada keterkaitan antara predikat dengan objeknya, apakah memang demikian..?

Dalam keadaan sadar, maksudnya tidak dalam kondisi tidur apalagi pingsan, bagi yang memiliki indra pendengaran yang normal maka kita dapat mendengar suara2 yang sampai ke telinga kita. Disini, kita tidak mempermasalahkan dulu tentang kualitas suara2 tersebut dari sisi fisikanya, namun yang terpenting bahwa suara2 itu sampai ke telinga kita. Kemudian, kita perhatikan posisi dimana kita berada, apakah itu di dalam ruangan/bangunan atau di luar ruangan/bangunan, namun satu hal yang pasti,kita pasti berada pada suatu ruang yang riil. Selanjutnya coba kita perhatikan dengan baik salah satu suara yang kita dengarkan itu, lalu perhatikan dari mana sumber suara itu berasal. Sebagai contoh yang sederhana, coba kita (hanya) perhatikan suara yang berasal TV yang ada di kamar tengah (misalnya). Dari posisi tempat duduk kita, maka kita dapat mendengarkan TV itu secara langsung sesuai dengan arah pandangan mata kita ke TV itu. Apakah kita hanya mendengarkan suara langsung dari TV saja? Ternyata tidak, karena sesuai dengan sekuensial waktu yang pendek (dg ukuran mikro sampai mili detik) kita juga mendengarkan suara pantulan yang diakibatkan oleh bidang pembatas ruang, misalnya dinding,lantai, langit2 dan juga benda2 yg ada di ruangan tersebut. Disamping itu juga, telinga kita juga menerima pantulan berulang-ulang yang diakibatkan oleh permukaan ruang itu. Suara yang terakhir ini sering disebut dengan suara dengung. Nach, kombinasi dari suara pantulan dan juga suara dengung itulah yg merupakan ‘response suara’ dari ruang itu. Perlu diketahui bahwa response ruang ini tergantung kepada volume, luas ruang dan juga karakteristik akustik dari material2 permukaan ruang itu.

Secara umum, kombinasi suara2 itulah yang memberikan impresi terhadap arti dari suara yg akhirnya terdengar oleh telinga kita. Pertanyaan yang sering muncul adalah sejauh mana kita memiliki kemampuan untuk membedakan ‘response suara dari ruang’ itu. Untuk memahami hal ini, pada perangkat audio yang biasa dipakai untuk karaoke ada suatu fungsi yang sering disebut echo dan reverb. Dengan fasilitas ini kita semdiri dapat mencoba sejauhmana kita bisa membedakan nilai echo dan reverb itu. Disamping itu, dengan sarana inipun kita dapat mengetahui kondisi echo & reverb mana yang secara subjektif memenuhi selera subjektif kita sendiri. Bisa dipastikan bahwa hampir setiap orang akan memilih echo & reverb yang tidak berharga nol (atau tanpa echo & reverb). Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan suara yang baik (secara umum dan bersifat subjektif) kita akan memerlukan echo & reverb itu, atau dengan kata lain kita ‘memerlukan ruang’. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa kita tidak hanya dapat melihat ruang, tapi kita dapat mendengarkan ruang.

Bagaimana dengan ruang anda sekarang..? Apakah anda dapat mendengarkan ‘response suara’nya itu..? Mungkin…  kalau untuk ruang di rumah kita sendiri kita tidak terlalu memperhatikannya, tapi kalau kita perhatikan betul maka kita dapat membedakan suara di dalam ruang tidur, ruang tengah atau di kamar mandi (mungkin ini adalah ruang ‘favorit’ anda untuk bersenandung atau menyanyi). Bagi yang memiliki apa yg populer saat ini dengan sebutan ‘home theatre’ tentu dapat memahami arti dari ‘response suara’ dari ruang itu. Dan sering juga terjadi kalau pemilik ‘home theatre’ itu tidak puas dengan kondisi akustik ruang home theatrenya itu. Hal ini terjadi karena adanya ‘cacat’ akustik sebagai akibat tidak tepatnya ruang itu dibuat.
Selanjutnya, bagi ruang ditempat kerja dan juga ruang yang bersifat publik, hal yang sama juga terjadi, misalnya di sekolah, kampus, kantor, ruang rapat, auditorium, gedung olah raga, gedung kesenian dan sebagainya. Pada semua ruang itu juga terdapat ‘response suara’ dari ruang itu masing2, dan hal ini ’sering’ terabaikan ketika membuat ruang itu. Apakah perancang ruang itu tidak tahu akan hal itu, saya yakin jawabannya adalah tidak, karena perancang ruang atau arsitek pd umumnya mempelajari hal ini ketika kuliah dulunya. Mungkin persoalan utamanya adalah karena kurangnya perhatian kita kepada kondisi alami yang ada dilingkungan kita sendiri baik di dalam atau di luar ruang.

Yang akhirnya kita alami adalah pada kondisi tertentu secara langsung maupun tidak langsung kita dirugikan oleh ‘ke-kurang perhatian’ kita itu. Sebagai contoh, kita ’sering’ tidak sadar bahwa anak kita yg bersekolah di sekolah yang terletak dipinggir jalan yang ramai, tidak dapat menerima pelajaran yg diberikan secara utuh, dan hal ini ’sering juga’ kita anggap biasa. Banyak contoh lain yang bisa kita temukan di dalam keseharian kita berada di suatu ruang (terbuka atau tertutup dan juga di dalam atau di luar ruangan).

Silahkan anda ‘dengarkan’ sendiri ruang anda.. -)

Komentar & Response

Saptono Istiawan
Saptono Istiawan at 1:37am April 16
Dengan pendengaran saja apakah kita bisa memastikan apakah ruang itu bundar atau persegi Prof? Maksud saya bila kita berada disatu ruangan pandangan kita dan pendengaran kita sama sama atau saling memperkuat rasa ruang?
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 7:13am April 16
Pak Saptono, terima kasih atas response nya. Mohon maaf Pak, kualifikasi/jabatan saya bukan Prof., namun hanya pemerhati & praktisi saja.
Betul sekali Pak Saptono, pendengaran kita tidak memiliki kemampuan untuk mengenali bentuk ruang/benda yang biasa kita nyatakan dengan 3 dimensi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan faktor dimensi untuk Read Morepenglihatan (3 dimensi untuk ruang dan 1 dimensi utk waktu), sementara pada pendengaran dimensi untuk ruang hanya ada satu sementara 3 dimensi dinyatakan dengan waktu.
Pada kehidupan alami & nyata, kedua indra ini mesti sinkron dan selaras (tentunya pd orang normal), shg menafikkan salah satunya akan menimbulkan dampak ‘ketidak nyamanan’. Sebagai contoh, jika kita mendengarkan musik melalui headphone, maka ruang yg kita dengarkan terputus dengar ruang riilnya. yg terdengar oleh kita adalah ‘ruang virtual’ yg tertanam didalam rekaman musiknya (dan ini diciptakan oleh ’sound engineer’ ketika proses rekaman dilakukan).
Cristover Tobing
Cristover Tobing at 8:23am April 16
pak,.. kira-kira apa yang terjadi kalau kita berada dalam suatu ruangan yang hampa udara? apakah efek echo suara dari ruangan akan tetap sama seperti didalam ruangan biasa??
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 10:08am April 16
Pak Crist, yg pertama terjadi adalah kita mati lho, soalnya tidak ada udara.. jd kita tidak bisa mendengar apa2.
Yg kedua, kalau tidak ada udara, kita tidak bisa mendengar apa2 Pak, karena medium penjalaran suara itu sebelum sampai ke telinga kita adalah udara.
Peter Yogan Gandakusuma
Peter Yogan Gandakusuma at 2:10pm April 16
Mantab.
Memang sbgi ilmu terapan, asitektur identik dgn ruang dan bentuk. Belum bnyk yg bicarakan kaidah waktu. Mungkin kaidah arsitektur Feng Shui sdh melakukannya. Sementara suara merambat melalui ruang dan mencapai telinga kita dlm hitungan waktu rambat. Dgn demikian argumen ttg ruang yg bisa didengar, masuk akal dan bisa diterima. Sementara seringkali arsitek selama masa belajarnya “sering kabur” krn kalau belajar soal ini selalu identik dgn matematika + fisika, hal yg sering dikhawatirkan oleh anak-anak, orang tua, termasuk arsitek ! He he he >_<Ada nggak ya Pak, buku / cara praktis ttg menghitung hal ini di Gramedia ? Sbb majalah yg sering saya beli biasanya cuma bicara ttg terapannya saja, tapi jarang yg ada rumus praktis ttg hal ini, atau kalau ada koq ya rumit yaa ? Atau sy yg telmi ? Malah biasanya cuma ttg estetika ruang karaoke & home theater dgn pendekatan jual barang elektronik doang tuh.

Terima kasih bnyk wawasan akustik saya bnyk terbuka setelah baca bbrp Notes Bpk.
Cristover Tobing
Cristover Tobing at 2:19pm April 16
hm,.. berarti selain material dinding pembatas suatu ruangan, apakah kapasitas udara didalam suatu ruangan juga dapat menjadi salah satu faktor yang perlu di perhitungkan??
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 2:34pm April 16
Betul sekali Pak Crist, misalnya di dalam suatu gedung konser (Concert Hall) yang baik, temperatur dan kelembaban udaranya mesti benar2 di’kontrol’ Pak, disamping utk memenuhi tuntutan kenyamanan audience, juga untuk menjaga kualitas akustik yang dihasilkannya. Oleh karena itu, instalasi AC dari suatu Concert Hall mesti benar2 diperhatikan, disamping jg perlu dijaga agar ‘noise’ yg dihasilkannya berada di bawah NC yg diharuskan.
Andora Suwisto
Andora Suwisto at 9:52pm April 16
nanya donk Pak, parameter terukurnya itu room transfer function bukan?apa ini saja sudah cukup untuk nantinya menentukan kualitas akustik suatu ruangan?Thanks and salam dari Oita^-^
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 3:19am April 17
O-hayou gozaimasu, Andora-san, ii gakusai kara errai shitsumon ga moraimashita… -)
Betul sekali Andora, memang yang dimaksud itu adalah ‘impulse response ruangan’ yang bisa dinyatakan & diukur dengan satu channel microphone. Namun, untuk menyatakan kualitas akustik ruangan kita membutuhkan secara total empat faktor utama berupa faktor temporal, Read Morespektral dan spatial. Komponen spatial yang diterima oleh pendengar mesti dinyatakan dengan response binaural memanfaatkan 2 channel microphone & dummy head. Disamping itu, karakteristik sinyal dari sumber suara juga menentukan dan hal ini yg menyebabkan perbedaan ‘preferensi’ terhadap ‘Sub-sequent reverberation time’ yang berbeda untuk keperluan ’speech’ dan ‘musik’. Semua aspek itu berada di luar ‘inner space’ dari penerimanya yaitu ‘human’..
Andora Suwisto
Andora Suwisto at 7:23am April 17
Kochira koso^-^.. Untuk faktor temporal dan spatial, rasanya bisa terwakili dengan impulse response dari sejumlah kombinasi sumber dan penerima. Untuk faktor spatial, karena manusia mendengar lewat 2 telinga (2 receiver), perbedaan waktu tempuh yang diperoleh keduanya inilah yang dipersepsikan sebagai faktor “ruang”…Moga2 gak terlalu salah jawabannya…Domo sensei, benkyou ni narimashita
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 8:16am April 17
Betul sekali, Andora-san, disisi akustik dimensi spatial/ruang hanya dmemiliki satu dimensi saja, yaitu IACC itu. Coba dibaca bukunya Prof. Yoichi Ando, profesor saya ketika belajar di Jepang, saya yakin pemahaman anda akan bertambah.
Gammatte kudasai ne..
Dian Kusumaningtyas
Dian Kusumaningtyas at 2:17pm April 17
mendengarkan ruang…. adalah sesuatu yang sangat personal menurut saya. otomatis untuk yang ‘peka’ dapat mendengarkan ruang dengan baik. Buat saya ruang selalu bicara mengenai; penciptanya (arsiteknya); filosofinya; cahayanya, aromanya, suaranya dllnya lagi… di China sebuah perguruan shaolin akan mengajarkan kemampuan mendengarkan ruang dgn mataRead More tertutup; di India diajarkan dengan meditasi…. kegagalan atau hilangnya kemampuan dan kepekaan arsitek terhedap kemampuan mendengarkan ruang… bukan karena sekolahnya tapi karena degradasi kepekaan manusia terhadap lingkungan.
For me… i still work and develop all my senses…
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 2:53pm April 17
Good points Bu Dian.. I can not argue with that.. Thank’s Bu..
Saptono Istiawan
Saptono Istiawan at 9:21am April 20
Pak Komang maaf atas kesalah panggilan saya. but for me you looked as one. and I think it’s jut a matter of time…..btw mengenai dimensi waktu pada pendengaran kita saya jadi berpikir apakah kita mendengar suatu sinyal secara langsung atau melalui suatu memory.
mohon kliik: http://arungmaya.blogspot.com/2009/04/nano-memory.html untuk kejelasan maksud saya
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 5:24pm April 20
Pak Saptono, pd perkembangan terakhir dr ilmu akustika ruang, sudah dikembangkan suatu analisis yang merupakan kombinasi dari analisis spektral & temporal. Pengembangannya berbasis kepada konsep ’statistical analysis’, yaitu apa yang disebut dengan ‘auto-correlation function’. Dari fungsi ini akan dihasilkan suatu besaran tunggal yang merupakan Read Moreciri dari sinyal itu sendiri. Sebagai contoh, jika dilihat pada kurva ‘auditory respose’ maka suara pembicaraan manusia mmemiliki daerah frekwensi & dinamik level yang tertentu, lebih sempit dibandingkan dengan sinyal musik. Dengan memanfaatkan konsep ‘auto-correlation function’ tersebut, maka kita dapat membeda-bedakan sinyal akustik pada setiap ucapan dan lagu dengan satu besaran yg disebut dengan ‘effective duration of auto-correlation function’ yg biasanya disebut dengan TauEE, dan memiliki dimensi waktu (tidak nyata).
Besaran ini diyakini bersifat seperti ‘repetitive feature’ yg ada di dlm sinyal suara itu sendiri, dan dalam bentuk seperti ini tersimpan di dalam memory otak manusia.
Kombinasi antara adanya memory pd otak dan ‘trigger’ akibat TauEE ini, misalnya dapat menyebabkan manusia dapat mengenali ungkapan kalimat dari pembicara meskipun ungkapan belum selesai disampaikan. Hal yg sama tidak akan dapat dilakukan ketika kita mempelajari bhs yg baru. krn di memory kita belum tersimpan.. Demikian juga halnya ketika kita mendengarkan musik atau suara2 dr lingkungannya yg biasa didengarkannya..
Satu hal lagi, adanya ‘repetitive feature’ pd sinyal speech atau musik yang berbeda-beda ini menyebabkan terjadinya kebutuhan akan kondisi akustik ruang yang berbeda-beda.. Dan hal ini, tidak sepenuhnya dapat diatasi dengan memanfaatkan sistem tata suara. Oleh karena itu, jika ada ‘vendor’ sound system yg menyatakan bahwa systemnya dapat mengatasi semua dampak akustik ruang, itu berarti vendor tsb ‘menipu’ anda agar membeli produknya.. ;-)
Ismail Al Anshori
Ismail Al Anshori at 11:35pm April 21
pak komang, mau nanya.. adakah hubungan antara IACC dgn permukaan yg diffuse? misalny, semakin diffuse permukaan ruangan maka IACC akan makin tinggi/rendah.. tararengkyu pak..
Komang Merthayasa
Komang Merthayasa at 8:04am April 22
Pertanyaan yg sangat baik Ismail.. Krn latar belakang anda FT & akustik, sy jelaskkan agak teknis sedikit ya..
Nilai IACC ditentukan oleh adanya impulse response di telinga kiri & kanan, akibat adanya ruang – termasuk semua karakteristik akustik dari seluruh permukaan ruang, dari satu sumber suara.
Dengan demikian, sekuensial waktu dari sinyal beserta nilai energinya merupakan komponen utama dari nilai IACC. Satu hal lagi, IACC harus dihitung dengan memanfaatkan karakteristik spektral telinga manusia, maka dipakailah ‘weighting network A’ – dBA. Dengan demikian dapat dipahami bahwa IACC sangat tergantung kepada kondisi akustik ruangan, independen terhadap karakteristik sinyal yg dihasilkan oleh sumber.
Permukaan difus (secara akustik) akan menentukan karakteristik energi sekuensial yg sampai ke kedua telinga. Penempatan & karakteristik permukaan difus (mis. Schroeder diffusor sampai BAD panel) sangat menentukan apakah IACCnya akan turun, tetap atau malahan naik. Perlu jg dipahami, diffusor memiliki karakteristik akustik yg cukup unik, meskipun typenya sama jika dipasang dg cara berbeda akan menghasilkan ’sound field’ yg berbeda. Karena itu, ’salah besar’ kalau mencoba memanfaatkan design instalasi difusor disatu ruang kemudian di’copy paste’ di site yg lain.
Satu ‘hint’ yang cukup aplikatif : Nilai IACC sangat dipengaruhi oleh kondisi akustik permukaan dinding pada ‘bidang dengar’- bidang horisontal antara telinga & sumber.
Mdh2an bisa cukup menjawab ya.. Ismail.. ;-) Good luck with your journey.. -)
Salam utk Pak Paul ya…;-)

Comments No Comments »

Gedung Sultan Suriansyah, Banjarmasin – memerlukan ‘treatment’ akustik yang cukup kompleks.

Pada umumnya, setiap provinsi bahkan kabupaten/kotamadya di Indonesia ini memiliki apa yang disebut sebagai Gedung Kesenian. Hal ini berkaitan dengan upaya dari masing-masing daerah untuk menggairahkan bidang keseniannya masing2 disamping juga sebagai pelengkap infrastruktur fisik daerah. Apapun tujuannya itu, dari definisinya tentunya sudah dapat diketahui bahwa sarana infra-struktur ini semestinya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menunjang perkembangan budaya daerahnya.

Meskipun dari sisi fungsionalnya sudah cukup banyak dan umum diketahui, namun pada kenyataannya pemilik bangunan, perencana, pemakai (dalam hal ini senimannya) dan juga masyarakat belum memahami dengan baik komponen2 fisik yang menunjang fungsionalitas gedung kesenian tersebut. Disamping sebagai bangunan yang dapat melindungi pemakainya dari panas teriknya matahari maupun guyuran hujan, faktor kenyamanan fisik juga sangat menentukan fungsi dari Gedung Kesenian itu. Faktor2 fisik itu antara lain kondisi pencahayaannya, kondisi temperatur & kelembaban udaranya, tata-letak, ventilasinya dan juga kondisi akustiknya.

Kondisi akustik dari bangunan Gedung Kesenian sebenarnya perlu mendapat perhatian yang serious, karena dari sisi fungsi, medium komunikasi yang ada antara ‘performer’ dan ‘audience’ hanya berbentuk visual dan audio. Mengingat variasi ‘performance’ yang biasa dilakukan di dalam gedung kesenian, maka pada umummnya kondisi akustiknya sesuai dengan kriteria ‘multi-purpose hall’. Dari sisi pemanfaatannya, set-up seperti ini akan memberikan fleksibilitas yang baik agar Gedung Kesenian itu dapat menghasilkan ‘income’. Set-up ini juga mengandalkan kepada ‘performance’ dari seluruh komponen sistem tata suara (yg umum mesti terpasang pada ‘multi-purpose hall’). Karena terlalu menekankan kepada pemanfaatan sistem tata suara, maka ‘kesan’ yang berhasil diberikan kepada ‘audience’ tidak maksimal. Hal ini disebabkan karena dalam kesehariannya ‘audience’ sudah terbiasa mendengarkan ‘performance’ dari sarana elektronik berupa sistem audio di rumah, TV atau ‘home theatre’ (misalnya).

Hal yang lebih menyedihkan juga sering terjadi, misalnya secara akustik gedung kesenian itu tidak dirancang secara benar & tepat seperti ‘multi-purpose hall’ sehingga memiliki banyak ‘cacat akustik’ atau juga set-up sistem tata suaranya (dari penempatan speaker, jenis speaker, kualitas komponen2nya sampai kepada set-up mixing) yang tidak baik. Hal ini tentunya akan memberikan dampak yang negatif kepada ‘audience’, bukan hanya kepada ‘performer’ yang tampil disana, tetapi juga kepada gedung keseniannya sendiri. Apalagi jika untuk menonton pertunjukan di Gedung kesenian itu, ‘audience’ mesti membayar mahal. Terabaikannya perhatian kepada masalah akustik dari suatu gedung kesenian, pada umumnya akan berakibat fatal yaitu tidak optimalnya pemanfaatan gedung itu sesuai dengan fungsinya. Tidak jarang akhirnya banyak gedung kesenian yang berubah fungsi menjadi gedung latihan olah raga (bulu tangkis, misalnya), sebagai akibat dari ketidak sempurnaan dari pemakaiannya utk pertunjukan seni. Jika akibat tidak optimalnya pemanfaatan gedung kesenian itu disadari oleh pemilik gedung (dalam hal ini, mungkin PemDa-nya) biasanya dilakukan upaya me’renovasi’ fisiknya. Jika dilakukan renovasi berbasis kepada kondisi akustiknya, tidak jarang solusi yang timbul akan berdampak kepada ‘harga’nya yang mahal sehingga secara ‘politis’ mungkin sulit untuk diimplementasikan. Permasalahan perlu atau tidaknya dilakukan ‘renovasi’ kepada suatu gedung kesenian yang ‘tidak populer itu’ akhirnya akan menjadi semacam ‘buah simalakama’ bagi PemDa-nya. Satu solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan menempatkan semua aspek fisika yang berpengaruh pada posisi yang seimbang di saat gedung kesenian itu berada pada posisi perancangan. Hal ini akan dapat mencegah terjadinya ‘kesalahan design’ di masa mendatang. Sementara itu, untuk Gedung kesenian yang sudah ada dan utilisasinya belum optimal sesuai dengan fungsinya maka perlu dilakukan ‘renovasi’. Sama dengan kondisi tahap perancangan, untuk perencanaan ‘renovasi’ inipun, semua aspek fisika yang berpengaruh (akustik, lighting, ‘air quality’, ventilasi, arsitektur, interior sampai kepada masalah ’safety’) sangat perlu untuk dipertimbangkan. Optimasi dari semua aspek perlu dipikirkan dan dibuat semacam ‘master plan’nya sehingga akibat adanya keterbatasan dana, pelaksanaan renovasi tidak bersifat ‘tambal sulam’. Dari sisi objektif design yang dapat diusulkan adalah menempatkan gedung kesenian sebagai ‘recital hall’ yaitu semacam ‘concert hall’ yang berukuran kecil (kapasitas penonton beberapa ratus orang) dengan karakteristik akustik yang spesifik, sehingga dapat menunjang perkembangan seni musik yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Perlu ditekankan juga bahwa pemanfaatan sistem tata suara mesti diupayakan seminimal mungkin agar ‘performer’ dapat meningkatkan ’skill seni’nya secara optimal dan ‘audience’ memperoleh kondisi medan suara yang bersifat unik dan alamiah.

Bagaimana dengan Gedung Kesenian di kota anda..?

Comments No Comments »

Tulisan ini disampaikan pada:

SEMINAR NASIONAL
PERAN PENDIDIKAN TINGGI DAN PEMIMPIN DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN LOCAL GENIUS

Yang diselenggarakan oleh :

Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Senin 15 Desember 2008

Kontribusi Akustik untuk meningkatkan kualitas musik tradisional Indonesia

Pendahuluan

Kekayaan budaya yang bermacam ragam yang di miliki Indonesia, diantaranya dengan adanya bahasa daerah yang berbeda-beda, salah satunya juga dicirikan dengan adanya berbagai jenis seni musik tradisional yang memiliki keunikan tersendiri. Meskipun memiliki karakteristik tradisional, namun di dalam perkembangannya beberapa jenis musik ini sudah cukup dikenal di mancanegara, bahkan saat inipun sudah ada group-group musik tradisional yang berasal dari luar negeri. Misalnya musik gamelan Bali, musik Gamelan Jawa, Gamelan degung/sunda, angklung, wayang kulit, gondang Batak, kolintang dan sebagainya. Disamping itu, berbagai jenis musik tradisional inipun sudah cukup sering dipagelarkan di berbagai gedung konser (concert hall) yang cukup terkenal di mancanegara. Namun sampai saat ini, tidak ada satupun dari musik tradisional Indonesia yang memiliki kualitas seni musik adi luhung ini yang memiliki ‘rumah’ berupa gedung konser di daerahnya masing-masing.
Bagi penonton/pendengar, hal terpenting yang diinginkannya adalah kondisi medan akustik yang optimal dari hasil dari pagelaran musik tradisional ini. Untuk mencapai kondisi yang optimal dari medan suara inilah peranan ilmu & teknologi akustik semestinya perlu dilibatkan. Secara umum dapat dijelaskan bahwa medan suara yang diterima oleh penonton dipengaruhi oleh faktor spektral, temporal dan spatial dari medan suara. Untuk memperoleh besaran parameter akustik medan suara dari musik tradisional ini, dapat dilakukan dengan melakukan serangkaian penelitian psycho & physio-akustik. Hasil response subjektif dan objektif tersebut dapat digunakan untuk menentukan kondisi medan suara optimum yang diharapkan oleh umumnya penonton di dalam suatu gedung konser. Dengan mengubah besaran parameter ini menjadi besaran dimensi arsitektur, maka gedung konser yang ‘dedicated’ untuk jenis musik tradisional tertentu dapat dilakukan. Hal ini berarti perancangan arsitektur gedung konser tersebut semestinya dapat dilakukan dengan memanfaatkan besaran parameter akustik optimum dari medan suara, yang diperoleh dari penelitian tersebut. Tanpa memanfaatkan parameter akustik optimum ini, maka pagelaran musik tradisional tersebut tidak akan dapat memberikan persepsi yang maksimal tentang kualitas seni musik tradisional ini.
Disamping faktor ruang gedung konser itu sendiri, karakteristik akustik dari sumber suara, yaitu alat musiknya sendiri, juga memiliki peran yang sangat penting, disamping musik hasil gubahan senimannya. Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa belum ada standar karakteristik akustik dari masing2 alat musik tradisional Indonesia ini. Dengan tiadanya standar akustik ini (sesuai dengan faktor spektral, temporal dan spatialnya) menyebabkan terjadinya kesulitan untuk menentukan kwalitas akustik musik tradisional hasil gubahan seniman itu. Hal ini juga menyebabkan terjadinya kesulitan untuk menentukan besaran optimum parameter medan suara itu sendiri, mengingat karakteristik sinyal akustik dari musik itu sendiri sangat menentukan besaran parameter akustik optimum tersebut.
Sampai saat ini, pada umumnya karakteristik akustik dari alat musik tradisional ini dan juga proses pembuatan alat musik itu sendiri sangat tergantung kepada kemampuan pendengaran, pengetahuan dan pengalaman para pembuatnya (empu). Pengetahuan, pemahaman dan penilaian subjektif tersebut, diturunkan secara tradisional dari generasi pendahulunya, tanpa disertai dokumentasi teknis yang memadai dan bersifat objektif (terutama kalau ditinjau dari sisi teknis & karakteristik fisikanya). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang bersifat integral dan sinergis, tentang karakteristik akustik alat musik itu sendiri beserta proses pembuatannya, struktur material, karakteristik material dan juga struktur pendukungnya. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu standar dan paten yang semestinya dimiliki oleh masyarakat sendiri (dalam hal ini ‘mungkin’ dapat dikuasai atau dimiliki oleh negara c.q. Pemerintah/pemerintah daerah).
Di sisi pelaksanaan pagelarannya sendiri, set-up panggung dan penempatan posisi alat musik itu sendiri belum dirancang dengan memanfaatkan karakteristik parameter akustik dan juga performansi visual yang optimum. Tentunya dengan merancang set-up dan penempatan yang tepat dapat meningkatkan ‘preferensi’ medan suara yang diterima oleh penonton. Dalam hal inipun, ‘preferensi’ yang dituntut penonton/ pendengar dapat diperoleh dengan melakukan penelitian yang berdasarkan kepada methoda psiko & physio-akustik.

Objektif:

Sebagai langkah awal dari program ini, perlu dilakukan identifikasi yang lengkap tentang jenis musik tradisional dari masing-masing daerah. Identifikasi ini dilakukan bukan hanya kepada jenis musik tradisional yang sudah cukup mapan dipentas nasional maupun internasional. Peralatan musik tradisional pada umumnya dibuat dengan berpedoman kepada ‘local genius’ yang umumnya dikaitkan dengan adat istiadat dan falsafah kehidupan di daerah itu sendiri. Penelusuran sejarah keberadaan alat musiknya perlu dilakukan sejalan dengan penggalian keterkaitannya dengan aspek kehidupan dan sejarah dari masyarakatnya.
Selanjutnya dilakukan pengkajian aspek fisika dari masing-masing alat musik tradisional ini, dikaitkan dengan aspek pembuatannya. Untuk peralatan musik yang terbuat dari metal, seperti gong, bonang dan sebagainya, proses metalurgi pembuatan alat tersebut perlu dielaborasi secara mendalam. Sementara untuk peralatan musik yang terbuat dari bahan non-metal, pengkajian dari sisi struktur dan juga susunan elemen-elemen mekanis yang mendasarinya perlu ditelaah secara mendalam terutama jika dikaitkan dengan karakteristik akustik yang dihasilkannya. Selanjutnya, proses penalaan yang melibatkan kepakaran dari ‘empu’ pembuatnya juga perlu dikaji dengan memanfaatkan konsep pengujian akustik dari sisi spektral, temporal dan spatialnya. Disamping itu kajian tentang konsep ‘judgement’ yang dilakukan oleh sang ‘empu’ juga perlu dilakukan, mengingat aspek subjektif yang mendasarinya disamping akibat kelangkaan literatur pendukungnya. Dengan kelengkapan kajian/penelitian tersebut maka penyusunan konsep standarisasi alat musik tradisional ini dapat dilakukan, disamping itu, perlu juga dituangkan ke dalam dokumen ‘paten milik masyarakat’ untuk alat musik tradisional tersebut.
Mengingat adanya kenyataan bahwa kondisi medan akustik yang baik bagi ‘presentasi’ jenis musik tertentu sangat ditentukan oleh karateristik sinyal dari gubahan musik itu sendiri, maka penelitian atas karakteristik akustik secara lengkap dari gubahan musik hasil dari kreativitas senimannya perlu dilakukan. Sebagai gambaran, meskipun alat-alat musik yang digunakan sama, namun kreativitas dari seniman dapat menghasilkan gubahan musik yang berbeda-beda, misalnya jika dilihat dari sisi temponya. Hal ini perlu dipahami mengingat jika musik itu dimainkan di dalam ruang tertutup misalnya auditorium, ‘resital hall’, ataupun ‘concert hall’, maka karakteristik sinyal dari gubahan musik tersebut sangat menentukan kondisi akustik optimal yang dapat didengarkan oleh penontonnya.
Objektif selanjutnya adalah mengidentifikasi kondisi akustik optimum sesuai dengan ’preferensi’ dari pendengarnya. Sebelumnya perlu untuk dijelaskan bahwa kondisi medan akustik yang dialami oleh pendengar terdiri dari penggabungan empat parameter utama, yaitu :
1.  Tingkat pendengaran (Listening Level), biasanya besaran ini dinyatakan dengan besaran dBA.
2.  Waktu tunda pantulan awal (Initial Delay Time), yaitu waktu tunda yang terjadi antara suara langsung dari sumber ke pendengar dan suara pantulan,
3.  Waktu dengung subsequent (Sub-sequent Reverberation Time), yaitu waktu dengung yang berhubungan satu-satu dengan posisi sumber suara dan penerima dan
4.  Korelasi silang sinyal antar kedua telinga (Inter-Aural Cross Correlation, IACC), yaitu besaran yang menyatakan adanya perbedaan sinyal suara yang diterima di telinga kiri dan kanan pendengar.

Presentasi lengkapnya dapat di download disini => kontribusi-ilmu-akustik-untuk-meningkatkan-kualitas-musik-tradisional

Bagi yang berminat untuk membaca paper lengkapnya, silahkan kontak : ignmerth@tf.itb.ac.id

Tags:

Comments No Comments »

Tulisan2 dibawah ini menunjukkan kepada kita, bahwa masih banyak masyarakat kita yang cukup memberikan apresiasi yang tinggi terhadap ‘budaya tradisional’ yang dimilikinya. Bagaimana dengan kita sendiri…? Apakah kita masih memiliki semangat dan kerendahan hati untuk mempertahankan apa yang kita ‘miliki’ itu…?

Tulisan menarik dari Kompas

Berkesenian sejak Tahun 1930-an

Minggu, 24 Agustus 2008 | 01:07 WIB

Siapa sebenarnya komunitas seni di gunung-gunung seputar Magelang? Mereka adalah para petani sayur-mayur, padi, dan tembakau. Tak peduli lagi musim paceklik atau makmur, hujan atau kemarau, mereka setia menghidupkan seni.

Seni telah lama mendarah daging dalam masyarakat itu. Komunitas Tutup Ngisor, contohnya, akrab dengan seni mocopatan, tayub, dan gamelan sejak 70-an tahun silam. Setidaknya itu terbukti dari kehadiran Padepokan Cipta Budaya yang didirikan almarhum Yoso Sudarmo tahun 1937.

Kini, padepokan ini tetap lestari dengan kegiatan seni yang tak pernah berhenti. ”Walau sibuk bertani, kami tak bisa lepas dari kegiatan seni,” kata Sitras Anjilin (47), putra ketujuh Yoso Sudarmo. Enam saudara Sitras juga turut menggiatkan seni di dusun itu.

Di Ngampel, masih di kawasan Merapi, dikenal seniman gamelan bernama Hardjo Lulut sejak tahun 1930-an. Begitu pula Dusun Kemiriombo yang punya tokoh wayang klitik bernama Ali yang aktif berkarya tahun 1930-an. Artinya, masyarakat di pegunungan di Magelang itu sudah akrab dengan berbagai bentuk seni sejak Indonesia belum merdeka.

Read the rest of this entry »

Tags: , ,

Comments No Comments »

Saya jadi teringat dengan apa yang pernah dinasihatkan oleh almarhum kakek saya : Kalau mau dihargai oleh orang lain, maka hargai dulu diri kamu sepantasnya..

Apakah kita sudah berusaha untuk menghargai ‘budaya tradisional yang kita miliki’…?

Tulisan dari Kompas

Kelompok gamelan teater Margasari asal Jepang pementaskan “Momotaro” (The Peach Boy) di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (23/8). “Momotaro” merupakan cukilan cerita anak-anak yang cukup populer di Jepang, bercerita tentang seorang anak melawan raksasa. Pertunjukan yang memadukan seni tradisi Jawa dan Jepang tersebut akan digelar juga di Yogyakarta dan Surabaya.

Merdeka Lewat Seni

KOMPAS/ILHAM KHOIRI / Kompas Images
Masyara kat di Dusun Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi, Magelang, sedang menonton wayang bocah, Minggu (17/8) malam. Seni tradisional tetap digemari untuk memperingati kemerdekaan.

Minggu, 24 Agustus 2008 | 03:00 WIB

ilham khoiri & regina rukmorini

Masyarakat pegunungan di Magelang, Jawa Tengah, selalu menunggu 17 Agustusan. Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia dijadikan ajang terbuka untuk menggelar pentas seni. Lewat bermacam bentuk seni yang serba ”ndeso”, mereka menyegarkan jati dirinya, sekaligus menyemai spirit kemerdekaan pada level kehidupan sehari-hari yang sangat nyata.

Minggu (17/8) itu adalah hari istimewa bagi Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang. Seusai magrib, warga di lereng Gunung Merapi itu berkumpul di Padepokan Cipta Budaya yang berdiri gagah di tengah kampung. Mereka menggelar doa bersama, mencicipi makanan ala kadarnya, lantas bersiap menonton wayang bocah dan ketoprak.

Malam itu, wayang bocah mementaskan lakon Cupu Manik Astagina, sedangkan ketoprak menyuguhkan cerita Joko Kendil. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semuanya mengerumuni pentas yang digelar hingga dini hari itu. Saat adegan perang berkecamuk atau muncul guyonan dari punakawan, mereka tertawa gembira.

Read the rest of this entry »

Tags: , ,

Comments No Comments »

Berita dari Antara

Berita ini sebenarnya menunjukkan kepada kita, bagaimana budaya musik dan tari kita dihargai dan ‘diperlakukan’ di macanegara.. Sementara kita sendiri di dalam negeri, jangankan memikirkan keinginan untuk meningkatkan kualitasnya, untuk mempertahankan ‘originalitas’nya saja secara ‘formal’ saja kita belum tentu memiliki kemampuan..

Yang selalu terjadi adalah, upaya saling lempar ‘tanggung jawab’ bukan hanya di kalangan pejabat pemerintahan bahkan di kalangan seniman sekalipun.. semuanya didasari oleh konsep : ‘materialistis’ dan ‘egoisme feodal’..  sementara di kalangan masyarakat umum sendiri, potensi untuk ikut berperan baik secara fisik maupun dukungan moral.. sebenarnya sudah tidak punya ‘reserve’ lagi, akibat dikikis oleh ‘prahara’ ekonomi, bencana, politik bahkan sampai ke unsur sara segala..

Yang mesti kita lakukan adalah kembali ke jati diri kita sendiri, kita adalah orang Indonesia dengan segala atribute yang pernah kita miliki.. Bagaimana kita memulai..? Mari kita diskusikan bersama dan coba mencari kontribusi, sekecil apapun kontribusi itu… it’ll be meaningfull.. :-)

30/03/08 15:07

Pertunjukan Kesenian Indonesia Oleh Remaja Hongaria di Debrece

London (ANTARA News) - Pertunjukan kesenian Indonesia yang dibawakan oleh sebagian besar remaja asal Hongaria penerima beasiswa Dharmasiswa, memukau sekitar 300 penonton di Debrecen, kota kedua terbesar Hongaria.

Kesenian Indonesia yang ditampilkan pada malam kesenian Universitas Debrecen itu diisi dengan tari tarian dari berbagai daerah. Acara itu menandai promosi Visit Indonesia Year 2008 (VIY) di kota Hungaria.

Arena Sri Victoria, Sekretaris-I Pensosbud KBRI Budapest, kepada ANTARA London, Jumat, mengatakan penampilan kesenian Indonesia yang berlangsung sekitar satu jam itu memukau hadirin yang terdiri dari para dosen, mahasiswa, pers, dan sejumlah duta besar asing serta tokoh masyarakat setempat.

Acara dimulai dengan menampilkan beberapa nomor tari dari negara Hongaria yang dibawakan oleh kelompok remaja dan mahasiswa.

Menurut Sri, tim kesenian Indonesia yang menampilkan tujuh penari asal Hongaria dan satu dari Indonesia telah menarik perhatian masyarakat Hongaria terhadap dunia seni Indonesia.

Dikatakannya, sebagian besar dari penari pernah menerima beasiswa Darma Siswa RI dan mereka belajar budaya Indonesia dan mengembangkannya sebagai profesi.

Salah satunya, Iveth Bardos, yang dalam acara kesenian ini membawakan ‘Tari Topeng Jawa’ dan telah membuka sanggar tari dan terus melatih muda-mudi Hongaria.

Sebagai tari pembuka ditampilkan ‘Tari Panyembrama’ yang dibawakan Felicia Zinka dan Olivia Zinka dan tari karya Sultan Hamengkubuwono ke-VII, ‘Tari Ayun-ayun’ dibawakan Iveth dan Andrea, dan ‘Tari Yapong’ Betawi oleh Husna.

Penampilan tarian yang diiringi dengan Rindik Bali yang dibawakan Andras Terfy dan Gabor Nemeth serta alunan Gamelan Degung oleh Andras Terfy, Gabor Nemeth, dan Peter Szilagyi menambah semarak kesenian Indoensia.

Seminar Globalisasi

Acara kesenian yang digelar di Universitas Debrecen diawali dengan seminar Globalisasi dan Pluralisme Budaya, dimana Duta Besar RI untuk Republik Hongaria merangkap Republik Croatia dan Bosnia Herzegovina serta Republik Macedonia, Mangasi Sihombing, menjadi salah seorang pembicara.

Dubes Sihombing mengemukakan ragam budaya, keindahan dan potensi Indonesia yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan manca negara.

Ia juga menyinggung mengenai berbagai kesamaan antara kedua bangsa dan negara yang senantiasa menjalin kerjsama, Dubes mencatat kesamaan pada masa pra sejarah dimana di kedua wilayah sama-sama ditemukan fosil-fosil homo erectus pithecanthropus.

Sementara itu Dr. Andras Kesmarky, dosen Universitas Debrecen yang mengetahui bahwa sejumlah warga Hongaria menjadi seniman Indonesia, menyampaikan keinginanya agar mahasiswa Universitas Debrecen mendapat kesempatan mengikuti program beasiswa Darmasiswa Indonesia.

Dr. Andras Kesmarky adalah anggota Tim bantuan Medis Universitas Debrecen yang pertama masuk ke Aceh dan mendirikan rumah sakit lapangan beberapa saat setelah musibah tsunami melanda pantai Aceh dan bahkan ia juga membantu penanggulangan bencana gempa yang terjadi di Jogyakarta. (*)

Tags: , , , , ,

Comments No Comments »

Berita dari Antara

Jadi teringat ketika sekolah di Jepang dulu, ketika berjalan-jalan di suatu tempat selain mendengarkan suara  Gamelan  (Apakah itu Gamelan Bali, gamelan Jawa,  gamelan degung sunda)  maka yang paling membuat teringat dengan tanah air adalah mendengarkan lagu atau irama dangdut ini. Teman2 orang Jepang yang pernah ke Bali - Indonesia, pasti memiliki rekaman kaset/CD Gamelan ataupun lagu musik dangdut.. ;-)

24/08/08 06:41

Pesona Dangdut dan Pop di Darwin Australia

Darwin, (ANTARA News) - Ribuan warga Indonesia, Australia, dan turis asing, Sabtu malam, memadati Kebun Raya Darwin, Australia Utara untuk menikmati pergelaran “Pesona Indonesia” yang berisi musik dangdut, pop serta aneka tarian daerah Indonesia.

Penyanyi Ida Ameida dan Yopie Latul menggoyang banyak penonton yang tetap bertahan dan bahkan berjoget di panggung hingga pukul 23.10 waktu Darwin itu dengan tembang-tembang populer, seperti “SMS”, “Poco-Poco” dan “Sajojo”.

Gelombang pengunjung terus memadati hamparan rumput hijau di depan panggung terbuka itu sejak acara mulai pukul 17.00 waktu Darwin. Banyak di antara mereka adalah para turis asing dan orang tua Indonesia dan Australia yang datang bersama anak-anak mereka.

Pengunjung dihibur oleh musik gamelan selama satu jam kemudian kegiatan itu resmi dibuka oleh Konsul RI Darwin Harbangan Napitupulu sekitar pukul 18.25 waktu setempat. Read the rest of this entry »

Tags: , , , , ,

Comments No Comments »

Berita dari Antara

16/05/08 21:32

Pianis Asal Indonesia Menangi Kompetisi Jazz di AS

San Fransisco, (ANTARA News) - Pianis muda Nial Djuliarso meraih juara pertama kompetisi jazz internasional di San Fransisco, Amerika Serikat (AS).

Nial bersama Bruce Harris (terompet), Yasushi Nakamura (bass) dan Carmen Intorre (drum) yang tergabung dalam Nial Djuliarso Quartet mengalahkan band asal New York, Meaningtone, Kamis malam.

Nial dan kelompoknya berhasil mencuri perhatian melalui tiga lagu yang mereka usung, yaitu Our Delight ciptaan Tadd Dameron, Locomotion oleh John Coltrane, dan satu komposisi asli yang diciptakan Nial.

Final kompetisi itu digelar di Yoshi`s, suatu klub jazz terkemuka di San Fransisco.

Kombinasi pemilihan lagu, tempo, keahlian setiap pemain, komunikasi serta nuansa yang dibangun di setiap lagu oleh Nial Djuliarso Quartet membuat ratusan penonton berteriak kegirangan setiap nomor selesai dimainkan.

Konsul Jenderal RI untuk San Fransisco Yudhistiranto Sungadi tampak di antara penonton.

Usai kuartet Nial menyelesaikan nomor terakhir, para penonton memberikan `standing ovation` (memberikan aplaus sambil berdiri) diiringi tepukan panjang dan teriakan-teriakan bernada kagum. Read the rest of this entry »

Tags: , , , , ,

Comments No Comments »

Berita dari Antara

Karya Budaya Indonesia Agar Didaftarkan ke Hak Intelektual

Denpasar (ANTARA News) - Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir Jero Wacik mengharapkan pemerintah daerah untuk segera mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual.

“Kami himbau kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia agar rajin-rajin mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual,” kata Menbudpar, Ir Jero Wacik di Nusa Dua, Bali, Kamis.

Dalam pembukaan Nusa Dua Fiesta (NDF) 2007 itu, Menbudpar mengatakan, pendaftaran karya-karya budaya nusantara tersebut sebagai upaya untuk melindungi karya budaya Indonesia dari pengakuan negara lain. Read the rest of this entry »

Tags: , , , , ,

Comments No Comments »