Archive for June, 2011

Guru dan Murid

Thursday, June 23rd, 2011

Ini kisah guru (Imam Syafei) dan murid (Imam Hambali) yang saya peroleh secara berantai dari sebuah mailist alumni, yang menurut penulisnya diperoleh dari khutbah Jumat yang diikutinya. Karena isinya yang sarat pesan-pesan universal maka saya coba tulis ulang di sini. Di kisahkan suatu hari Imam Hambali mendengar kabar bahwa gurunya mengunjungi Baghdad tempat di mana dia tinggal. Sebagai murid yang berbakti maka Imam Hambali menemui Sang Guru untuk berkhidmat sekaligus ingin menimba ilmu. Oleh karena itu Imam Hambali memohon kepada Imam Syafei untuk berkenan memberinya pengajaran. Namun Imam Syafei menjawab agar Imam Hambali berguru dulu kepada pembantu Beliau yang kebetulan seorang penggembala ternak. Imam Hambali terkejut mendengar jawaban Gurunya dan mencoba mengulang sekali lagi permohonannya yaitu untuk berguru langsung kepada Imam Syafei, bukan kepada pembantunya. Namun lagi-lagi Imam Syafei menyarankannya untuk berguru ke pembantunya dahulu. Pada akhirnya sebagai seorang murid yang taat kepada Sang Guru maka Imam Hambalipun dengan penuh tanda tanya menemui Pembantu itu. Imam Hambali yang masih ragu akan tingkat keilmuan Sang Pembantu mencoba memulai diskusi dengan sebuah pertanyaan untuk mengujinya. Imam Hambalipun kemudian bertanya:”Wahai Saudaraku, bagaimana pendapatmu mengenai seseorang yang terlupa pada saat shalat sehingga meninggalkan satu rakaat dan terus melakukan salam?”. Sang Pembantupun menjawab dengan kalem “Apakah aku harus menjawab menurut pendapatmu atau pendapatku?”. Bukan main terperanjatnya Imam Hambali mendapat jawaban seperti itu, karena bagaimana mungkin seorang pembantu yang sederhana itu dapat menawarkan suatu pilihan jawaban, yang umumnya hanya dapat diberikan oleh seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kemudian Imam Hambalipun menimpalinya “Jawablah menurut pendapatku dan pendapatmu.”

Sang Pembantu itu kemudian menjawab “Menurut pendapatmu, apabila lupanya belum lama (kira-kira selama dua rakaat), maka yang bersangkutan hanya perlu menambahkan satu rakaat yang terlupakan dan kemudian diikuti dengan sujud sahwi, tetapi kalau sudah lama baru teringat maka orang tersebut wajib mengulang shalatnya lalu sujud sahwi”. Bukan kepalang terkejutnya Imam Hambali mendengar jawaban itu dan terheran-heran karena ternyata Sang Pembantu itu mengetahui persis pendapatnya. Kemudian Pembantu itu melanjutkan: “Sedangkan menurut pendapatku …. apabila akulah yang melaksanakan shalat tadi maka akupun akan melakukan hal yang sama sebagaimana pendapatmu, tetapi kemudian aku akan melakukan puasa selama satu tahun sebagai tebusan atas kesalahanku pada Tuhanku, karena aku merasa sangat takut dan malu telah lupa padaNya dan memikirkan hal lain di dalam shalatku.”

 

Imam Hambali kembali tercengang serta terpana mendengar jawaban dari Sang Pembantu itu. Beliau tercenung menyadari betapa tingginya derajat atau maqom orang ini karena betapa kuatnya rasa takut dan rasa malunya kepada Tuhannya, meskipun ia hanya seorang yang berstatus sebagai pembantu, status sosial yang sering dipandang rendah oleh kebanyakan orang.

Uang adalah milikmu, tapi tidak untuk sumber daya.

Sunday, June 19th, 2011

Saya membaca sebuah kisah yang menarik dari sebuah mailist alumni. Sulit rasanya untuk tidak berbagi mengenai kisah tersebut dan akan saya tuliskan dengan gaya bahasa saya. Peristiwanya itu sendiri terjadi di Jerman, sebuah negara yang maju, kaya dan makmur. Saya sendiri telah beberapa kali mengunjungi negara itu. Dikisahkan oleh penulis di mailist itu bahwa suatu saat ia bersama kawan-kawannya, ditemani penduduk asli Jerman, menuju restoran untuk makan malam. Tentu kisah ini terjadi di Jerman. Segera terbayang olehnya bahwa restoran yang cukup berkelas itu akan merupakan sesuatu yang gemerlap, pengunjung dihidangi berbagai makanan dan minuman. Bayangan seperti itu tentu tidak berlebihan mengingat Jerman adalah negara yang kaya dan makmur, segalanya serba ada dan terjangkau oleh penduduknya. Namun ia agak sedikit terperanjat sewaktu menyaksikan sepasang sejoli yang sedang makan di restoran itu. Mengapa? Karena ia hanya melihat dua buah piring dan dua buah gelas di atas meja. Lho koq sesederhana itu. Lalu ia menengok ke meja yang lain, ia dapati dua orang Ibu yang sudah berumur sedang menikmati hidangannya, masing-masing dengan sebuah piring dan satu gelas minuman saja.  Hal itu jelas amat berbeda dengan gaya hidup di negaranya walaupun tidak sekaya dan semakmur Jerman namun rasanya tidak juga sesederhana Jerman yang disaksikannya itu. Karena lapar, ia tidak berpikir lebih panjang lagi mengenai pengamatan singkat yang mengherankannya itu. Ia segera memesan sejumlah makanan dan minuman; meja makan penuh dengan sejumlah hidangan untuk santapan makan malam bertiga, salah seorang di antaranya adalah orang Jerman. Singkatnya, perut telah terasa sangat kenyang walau masih ada sisa makanan yang telah terlanjur dipesan sekitar sepertiganya. Tidak ada masalah, tokh uang untuk membayar juga telah tersedia. Setelah membayar dan berdiri untuk mulai melangkah keluar, meninggalkan cukup banyak makanan di atas meja yang tidak termakan. Tiba-tiba Ibu tua pengunjung terdahulu itu memanggil dan menegur mengapa makanan itu tidak dihabiskan. Penulis kisah itu dengan enteng menjawab “We paid for our food, it is none of your business how much food we left behind.” Rupanya Ibu tua tidak terima dengan jawaban itu namun ia nampaknya juga tidak ingin berdebat dengan bahasa Inggris. Nampak ia menggunakan handphonenya memanggil seseorang. Tiba-tiba datanglah seorang polisi dan langsung mendenda penulis itu dengan 50 mark. Dengan terheran-heran penulis itu protes atas kenyataan itu namun polisi itu menjawab dengan tegas, yang dalam Indonesianya kurang lebih “Pesanlah makanan yang dapat kamu makan. Uang adalah milikmu namun sumber daya (termasuk makanan) adalah milik masyarakat. Cukup banyak manusia di dunia yang menghadapi kelangkaan sumber daya. Kamu tidak punya alasan untuk dengan seenaknya menghambur-hamburkan sumber daya!!”. Saya tidak punya komentar lebih lanjut terhadap kisah itu kecuali bahwa kisah itu (terlepas kejadian itu benar adanya atau tidak) merupakan sebuah pelajaran yang luar biasa berharganya.

Dengan Mahasiswa Aceh

Monday, June 13th, 2011

Tulisan ini saya sampaikan dalam acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tanggal 13 Juni 2011.

Peradaban atau tamaddun sering digunakan sebagai padanan dari kata civilization. Kata yang terakhir ini mempunyai berbagai definisi, mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Dalam kata ini sekurang-kurangnya terkandung makna budaya, pola hidup, bentuk-bentuk pemerintahan, stratifikasi sosial, sistem ekonomi, literasi, infrastruktur, dan berbagai produk budi daya manusia lainnya. Kalau kita telusuri fakta sejarah maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ada sejumlah peradaban yang benar-benar telah mati, musnah, tiada sisa kecuali sejumlah artefak, benda-benda mati, saksi bisu yang tidak dapat bohong bahwa dulu pernah ada peradaban tersebut. Artefak-artefak Inca-Maya, Mesir purba, atau Romawi kuno, mungkin merupakan sebuah bukti mengenai adanya peradaban Inca-Maya, Mesir pruba atau Romawi kuno itu. Tentu amat menarik untuk mencari jawaban mengapa dan bagaimana peradaban-peradaban besar di jamannya itu dapat mati bahkan punah; demikian juga sama menariknya mencari jawaban mengapa dan bagaimana peradaban berikutnya lahir dan kemudian menggantikan peradaban yang telah mati dan musnah itu. Cukup banyak buku-buku yang membahas mengenai the fall of civilizations atau societal collapse, misal untuk menyebut dua buah saja, karya Jared Diamond (2005): Collapse: How Societies Choose to Fall or Succeed, dan karya Edward Gibbon (1909): The Decline and Fall of the Roman Empire.

Menurut Al-Qur’an setiap peradaban itu, sebagaimana makhluq hidup lainnya, mempunyai batas usia atau ajal. Di samping itu, masih menurut Al-Qur’an, kejayaan peradaban itu dipergilirkan, ada suatu periodisitas. Saya tertarik untuk mengamati di manakah sebenarnya posisi bangsa yang berbahasa Indonesia itu dalam sejarah peradaban besar lainnya. Kita mengenal sejumlah peradaban yang mendunia di jamannya masing-masing: Inca-Maya, Mesir purba, Romawi Kuno, China, Kisra Parsia, Syailendra Jawa Kuno, Islam, Modern-Barat. Karena kendala tranportasi dan komunikasi, peradaban purba atau kuno umumnya terlokalisir. Karena sifatnya yang lokal itu maka kehancuran dan kepunahannya tidak menimbulkan dampak mendunia dan berkepanjangan. Di samping itu, posisinya dalam sejarah dapat digantikan oleh peradaban baru yang mungkin tidak ada kaitannya sama sekali dengan peradaban lainnya yang telah musnah. Bahkan peradaban kuno mungkin identik dengan kota dalam peradaban modern barat. Oleh karena itu, sebuah bencana alam dahsyat dapat saja menyapu habis suatu peradaban kuno (legenda peradaban atau kota Atlantis kuno dapat menjadi contoh). Namun dengan kemajuan sarana/prasarana transportasi, jangkuan peradaban semakin meluas dan bahkan kini kita benar-benar telah berada dalam suatu peradaban dunia dalam arti yang sebenarnya (mencakup seluruh penjuru dunia). Peradaban dunia telah hadir: gaya hidup, sistem pemerintahan atau politik, sistem ekonomi, tata kota, dan sebagainya yang praktis secara umum mirip, seragam, atau dalam proses dipaksakan untuk seragam (misal model gaya hidup dan demokrasi ala Amerika; model pasar dan persaingan bebas dsb). Memang masih mengandung sejumlah uniqueness di sana sini. Uniqueness atau distinctiveness itu dapat meredup (bahkan dapat hilang dan punah) seiring kuatnya pengaruh kesamaan global.

Nampaknya satu demi satu uniqueness itu tertaklukan: di mana-mana ada McD, KFC, demokrasi ala Amerika, model pasar bebas; ada kekuatan hegemonial. Padahal kalau melihat hasil studi Edward Gibbon yang mengatakan: The decline of Rome was the natural and inevitable effect of immoderate greatness. …. the cause of destruction multiplied with the extent of conquest; and, as soon as time or accident had removed the artificial supports, the stupendous fabric yielded to the pressure of its own weight. Bahwa ada batas usia, ada waktu kejayaan dan keruntuhan, sudah menjadi sunatullah, namun kapan dan bagaimana peradaban modern yang kita kenal ini akan berakhir (ada kepastian) masih agak samar atau misteri. Namun effeknya pasti akan luar biasa, mendunia karena peradaban modern ini tidak lagi bersifat lokal. Bayangkan jika tiba-tiba Amerika collapse, dan uang dollar tidak punya arti lagi; ekonomi dunia collapse. Krisis-krisis yang baru lalu belum sepenuhnya menggambarkan hal ini karena dollar Amerika masih kokoh, superiority militernyapun masih gagah perkasa, tiada tandingan. Jika peradaban ini runtuh, maka siapapun yang lebih banyak mempunyai kemiripan dengannya atau menjadi subordinatenya akan merasakan dampaknya yang semakin besar. Di sinilah pentingnya uniqueness atau distinctiveness itu. Mengenai hal ini sebenarnya dalam krisis mortgage yang baru lalu telah ada pelajaran cukup nyata: Siapapun yang menjadi bagian dari sistem keuangan Amerika ikut terpukul dengan goncangnya sistem keuangan itu. Ada sejumlah komunitas yang lenyap, ada artefak yang hilang, ada wilayah luas yang rusak, berubah, bahkan mungkin lenyap dari permukaan bumi dalam punahnya suatu peradaban. Demikian pula nantinya jika peradaban modern yang kita kenal sekarang ini telah tiba ke batas usianya. Meskipun demikian ada sejumlah elemen dari peradaban modern barat yang akan tetap bertahan, sebagaimana sejumlah elemen peradaban Romawi/Yunani kuno tetap terwariskan hingga saat ini (walaupun secara keseluruhan peradaban mereka telah musnah dan lenyap).

Indonesia tentu tidak dapat dan memang tidak perlu mengisolasi diri agar tidak terseret dalam kepunahan peradaban mendunia saat ini. Ada sejumlah hal yang akan menyebabkan runtuhnya suatu peradaban. Dari banyak tulisan mengenai hal itu dapat dilihat adanya beberapa hal yang akan berujung pada pelemahan internal pilar-pilar penyangga peradaban. Walaupun hal itu merupakan hasil dari kajian tentang peradaban masa lalu yang sangat terlokalisir namun perlu juga dicermati jika digunakan untuk peradaban saat ini yang bersifat mendunia. Pertama, yang bersifat nilai-nilai, yaitu exploitative, greediness (keserakahan), ketidakadilan, kesewenang-wenangan atau kepongahan. Eksploitatif dan keserakahan praktis tidak mengenal batas dan akhirnya akan menerabas batas-batas maksimal yang dapat dipikul oleh ekosistem. Perubahan iklim global merupakan konsekuensi logis dari peradaban global saat ini yang mempunyai indikasi kuat bersifat eksploitatif dan serakah. Iklim global dapat amat destruktif, masif dan global manakala terus berpusar menjadi liar akibat eksploitasi alam dan keserakahan yang tidak terkendali lagi. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pada akhirnya pasti akan mengundang perlawanan dan perang yang jika berkepanjangan juga akan melemahkan pilar-pilar sosial kemasyarakatan (karena biaya riil maupun sosialnya tidak akan terpikulkan lagi). Contoh yang spektakuler adalah runtuhnya Soviet Empire karena perang berkepanjangan di Afganistan. Kedua, yang bersifat fisis, seperti menurunnya daya dukung ekosistem (energi, pangan, dsb) sampai ke batas-batas yang tidak dapat ditoleransi lagi; atau hilangnya daya dukung sistem dalam memecahkan kompleksitas persoalan yang terus meningkat yang berakibat pada kekacauan sistem sosio-politico-economico yang melemahkan dan kemudian menghancurkan peradaban itu dari dalam. Bagi Indonesia menjadi amat penting untuk tidak saja bertahan dari sapuan keruntuhan peradaban global namun juga bahkan keluar menjadi penyelamat karena kemampuannya menawarkan jalan atau peradaban alternatif. Pertanyaannya adalah adakah kemungkinan atau peluang untuk itu?

Saya termasuk yang optimis mengenai masa depan Indonesia, terlepas dari berbagai kekurangan, kelemahan, dan berbagai kesemrawutan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Bagi saya saat ini cuma ada dua jenis peradaban yaitu peradaban yang mempunyai basis nilai-nilai tauhid dan yang tanpa nilai-nilai tauhid. Peradaban jenis pertama saat ini sedang tidur, diistirahatkan oleh Tuhan karena sebelumnya telah diberi giliran mengatur dunia hingga ratusan tahun (dari abad ke 7 hingga praktis abad 15); sebagai gantinya adalah peradaban non-tauhid yang telah menjadi penguasa dunia sejak abad 15 hingga kini di abad 21, yaitu peradaban barat modern. Peradaban ini menurut saya telah mencapai atau melewati puncak kejayaannya dan tanda-tanda diperlukannya peradaban baru yang lebih human, friendly, non-exploitative, benevolent, charitable, generous, just, humble semakin nyata. Persyaratan umum bagi kedua jenis peradaban itu agar dapat mengurus dunia sebenarnya sama yaitu memahami, menguasai dan memanfaatkan sunatullah (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang mengatur alam (dunia) secara benar dan hal tersebut praktis bebas dari nilai-nilai tauhid. Namun ada batas-batas kemampuan manusia dalam bersikap adil dan objektif, yang perlu secara terus menerus mendapat penguatan. Pelemahan dalam sikap-sikap tersebut dapat berujung pada penggunaan sunatullah untuk tujuan destruktif, bahkan termasuk terhadap dirinya sendiri. Di sinilah peran nilai-nilai tauhid tersebut. Inilah alasan pertama Indonesia mempunyai peluang untuk berperan bagi hadirnya peradaban alternatif karena sebagian besar penduduknya cukup akrab dengan nilai-nilai tauhid (walaupun dalam proses globalisasi menghadapi tantangan pengikisan yang luar biasa).

Dalam konteks pergiliran bangsa-bangsa dalam mewarisi dunia, Indonesia belum mendapat kesempatan atau giliran untuk mengejawantahkan nilai-nilai tauhid dalam mengatur dunia. Bandingkan dengan Spanyol, Mesir, Iraq, Turki, Iran, India Mogul yang telah mendapat kesempatan mewarnai peradaban yang mendunia dengan nilai-nilai tauhid itu. Artinya ada keberpihakan sejarah yang tidak dapat dilawan oleh siapapun (mohon maaf kalau terkesan narsis). Jadi sebenarnya Indonesia mestinya hanya perlu faktor penguasaan sunatullah untuk mengurus dunia saja; dua faktor dominan lainnya, yaitu tauhid dan sejarah, telah berpihak padanya. Untuk faktor pertama sudah ada contoh nyata yang jejaknya dapat diikuti; sederhananya, cukup mengcopy saja. Saya mengusulkan fenomena Korea Selatan untuk diikuti jejaknya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua hal saja yang ingin saya garis bawahi mengenai Korea Selatan (yang ditahun 60-an hingga awal 70-an masih sama miskin dan terbelakangnya dengan Indonesia). Pertama, Korea Selatan mampu mengejar ketertinggalan dalam saintek karena berhasil membangun karakter bangsanya dengan karakter yang disiplin, tough, gigih, pekerja keras, dan jujur. Ada sebuah kisah nyata sebagai ilustrasi mengenai karakter itu, yaitu kisah seorang guru besar yang bernama Lim (bukan nama sebenarnya) dan mahasiswa pasca sarjana yang dibimbingnya, Park. Sampai tiba batas waktunya ternyata Park belum dapat menuntaskan thesisnya dan yakin jika diberi waktu tambahan satu bulan saja maka ia dapat menyelesaikannya secara tuntas. Oleh karena itu Park menghadap professor Lim untuk minta waktu tambahan walaupun dalam hati kecilnya ia tahu bahwa hal itu tidak mungkin karena disiplin dan ketegasan beliau sudah amat terkenal. Persis seperti dugaannya, permohonannya ditolak dan Park pun terpaksa di-DO-kan. Akhirnya Park keluar dari universitas dan mendapat pekerjaan tempatnya berkarir. Namun setiap pertengahan Maret Park ditemukan oleh mahasiswa yang berasal dari Indonesia selalu berkunjung ke kampus bekas universitasnya. Setelah tiga tahun berturut-turut selalu muncul akhirnya mahasiswa Indonesia itu tidak dapat menghentikan rasa ingin tahunya untuk bertanya kepada Park, apakah yang mendorongnya selalu datang ke kampus. Park menjelaskan bahwa pertengahan Maret adalah hari guru dan ia kekampus untuk berkhidmat kepada professor Lim. Mahasiswa dari Indonesia tersebut melongo, terbengong-bengong dan dengan keheranan bertanya bukankah professor Lim lah penyebab utama ia di-DO? Dengan tenang Park menjawab bahwa ia memang gagal secara akademik namun ia tidak mau gagal secara moral. Ini jelas sebuah wujud dari karakter yang kuat, dan teguh.

Kedua, masih dengan contoh Korea Selatan, menciptakan suatu musuh bersama yang harus ditaklukkan. Tentu tidak dalam arti perang fisik, tetapi sesuatu yang harus ditaklukan dalam arti dicapai dengan tekad bersama. Mereka telah menciptakan semboyan “Lets beat Japanese”. Mereka ciptakan sesuatu yang dijadikan target bersama, yang dapat membangkitkan militansi nasional, yang dapat membangkitkan semangat berkorban bersama, yang dapat memperkokoh karakter yang teguh, gigih, dan kuat itu. Mereka pada akhirnya dapat memetik buahnya. Dua tahun lalu saya mengunjungi sebuah laboratorium yang sangat maju di Berlin Jerman Barat, yaitu Fraunhoffer-Institute. Saya mengunjungi fasilitas clean room class 10 (ruang yang hanya mengandung maksimum 10 debu per m3) yang sedang dibangun. Ada suatu peralatan yang amat canggih yang sedang disusun; yang menarik saya adalah alat modern tersebut sedang disusun oleh para teknisi yang berwajah Asia. Saya bertanya kepada Professor Jerman yang mendampingi saya “Who are they?” Jawabnya “They are Korean. Yes we just bought those instruments from Korea and now they setting up the instruments”. Saya benar-benar shock: Jerman membeli peralatan instrumen modern dari Korsel!! Ini benar realitas yang amat mencengangkan saya. Korsel benar-benar luar biasa dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; Samsung, LG, Hyundai, KIA dsb sekarang memang sudah mampu menggoyang dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya masih tetap optimis. Sebagai suatu kiasan, Indonesia saat ini mirip seperti seorang Ibu yang kesakitan karena akan melahirkan seorang anak, pewaris masa depan. Begitu sunatullahnya, setiap kelahiran suatu peradaban besar selalu didahului oleh adanya kebangkrutan moral, keruntuhan tatanan sosial; suatu cara dari Allah untuk membersihkan suatu generasi untuk kemudian digantinya dengan generasi yang baru yang lebih kompatible dengan nilai-nilai fitrah manusia. Begitulah Indonesia saat ini, sedang menuggu kelahiran generasi barunya yang akan mewarisi dunia. Resepnya adalah ikuti atau manfaatkan kecenderungan sejarah (bangkitnya kembali peradaban berbasis tauhid), bangun karakter bangsa melalui pendidikan sejak dini, dan ciptakan tantangan bersama. Pendidikan di Indonesia harus secara serius diarahkan untuk mampu membangun karakter yang kuat, teguh, gigih, pantang menyerah dengan fondasi nilai-nilai tauhid, yaitu keikhlasan, ketulusan, kejujuran, kerendah hatian, dan kesantunan. Hal ini harus dibangun dari segala arah, tidak hanya dari sekolah, namun juga dari masyarakat luas. Ditangani dengan pendekatan total football, semua digerakkan untuk turut memberi kontribusi. Pencipta lagupun dikerahkan untuk menciptakan lagu-lagu anak-anak yang menggugah semangat itu. Diperlukan dua sampai tiga generasi mendatang; dimulai dari anak-anak. Saya usulkan sebagai simbol “tantangan” bersama itu adalah Korea, jadi harus ada semboyan “Mari kita kalahkan Korea”, tentu dalam hal kebersihan, keteraturan, kesejahteraan, keunggulan pendidikan, dan sejenisnya. Ada fastabiqul khoiraat, berlomba-lomba dalam kebajikan dalam mengurus dunia. Bangsa ini pernah mempunyai pengalaman spiritual seperti ini, yaitu dimasa perjuangan kemerdekaan; di sana ada musuh bersama yang mampu membangkitkan militansi bersama, kesediaan berkorban bersama, dan sebagainya. Artinya, pengalaman spiritual kesejarahan itu dapat dipanggil ulang, dibangkitkan kembali; gunakan seluruh potensi untuk itu. Kita memang berlomba dengan waktu namun itu semua bukan sesuatu yang mustahil. Memang masih ada pertanyaan yaitu fakta atau realitas yang ada sungguh amat berbeda, bahkan ada yang mengatakan bangsa ini telah mengalami kebangkrutan moral dan menjadi failed state; jadi apakah itu semua bukan suatu impian di siang hari bolong alias mustahil? Jawabannya: bukan!

Apakah peran kita yang sedikit (yang dapat berkesempatan mengeyam pendidikan tinggi) ini? Setiap perubahan besar yang menyejarah selalu diawali dan digerakkan oleh kelompok kecil elite (ingat Rasul dan para sahabat dekatnya, sekelompok kecil elite di masyarakatnya). Kuantitas bukan suatu kendala (kam min fiatin qolilatin gholabat fiatan katsirotan bi idznillah, wa Allahu ma’ashshoobirin). Peran kelompok kecil ini adalah menjaga agar api tauhid terus menyala, dan memperluas cakupan wilayah cahayanya. Tauhid itu artinya semua untuk Allah, tidak ada aku, tidak ada ego, tidak semau gue. Ketaatan total kepada Allah swt ukuran dunianya amat mudah terdeteksi yaitu menjadi rahmat bagi alam semesta, semuanya (manusia, masyarakatnya, lingkungannya, tatanan sosial politik ekonominya, peradabannya) tertangani dengan adil. Ada empat asumsi dasar yang dapat dijadikan pijakan untuk melangkah menyongsong masa depan yaitu:

1. bahwa keadaan Indonesia, bahkan dunia saat ini dan masa depan, dibentuk dan akan selalu dipengaruhi secara significant salah satu di antaranya oleh sains dan teknologi. Membicarakan Indonesia masa depan tidak dapat dilepaskan dari visi sains dan teknologi masa depan Indonesia

2. bahwa di samping mempunyai potensi sumber daya alam dan manusia melimpah yang diperlukan bagi tumbuh dan berkembangnya masa depan yang cemerlang, Indonesia juga mempunyai sejumlah potensi konflik internal maupun eksternal yang bahkan dapat mengancam eksistensinya

3. bahwa pewaris masa depan, yaitu anak-anak muda, khususnya para mahasiswa perlu secepatnya terekspose dengan persoalan multidimensi bangsa, negara dan bahkan persoalan dunia, hubungan antar bangsa, dengan wawasan seluas mungkin agar tingkat kematangan leadershipnya dapat dicapainya secepat mungkin

4. bahwa moral, integritas, budi luhur, dan akhlaq mulia telah menjadi keharusan universal bagi eksistensi secara bermartabat tidak saja individu tetapi juga bangsa dan negara

Lalu apa dan bagaimana peran kalian, mahasiswa Aceh, untuk kebangkitan bangsa besar ini? Kalian telah dibesarkan oleh realitas sejarah yang penuh konflik, bisa jadi jabang bayi bangsa besar ini akan dimulai oleh kalian. Bagi saya, sejarah nampak berpihak pada kalian untuk memimpin Indonesia menjadi bangsa besar. Saya berharap dalam lima puluh tahun ke depan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi salah bangsa yang amat disegani di dunia dan salah seorang Presidennya adalah putera asli Aceh bahkan mungkin kini ada di antara kita semua yang hadir di sini. Persiapkanlah diri kalian sedini mungkin: brain & mind dengan knowledge & tauhid. Selamat berjuang untuk masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil, makmur, dan menjadi berkah bagi dunia.

Energi Penyangga Masa Depan

Thursday, June 9th, 2011

Semakin maju suatu negara semakin banyak ia mengkonsumsi energi. Jika bumi dilihat dari suatu ketinggian di malam hari maka akan segera tampak bahwa negara-negara maju nampak terang bercahaya dan negara kurang maju nampak gelap. Produktivitas negara maju tentu lebih tinggi dibanding negara kurang maju; produktivitas memang sebanding dengan konsumsi energi. Oleh karena itu mudah dipahami bahwa negara maju amat menaruh perhatian terhadap sumber energinya. Mereka akan mempertaruhkan segalanya demi menjaga keamanan pasokan energi yang dibutuhkan. Bagi mereka jaminan pasokan energi berarti jaminan kesejahteraan yang telah mereka nikmati selama ini. Masalahnya sebagian besar sumber energi dunia saat ini adalah berasal dari bahan bakar fossil. Ada dua persoalan besar dengan bahan bakar fossil ini yaitu pertama ketersediaan mereka ada batasnya (artinya akan habis pada suatu saat nanti), dan kedua menghasilkan produk samping yang merusak lingkungan. Karena bahan bakar jenis ini terus berkurang jumlahnya sedangkan kebutuhan terus meningkat maka konsekuensinya harganya akan terus bertambah mahal. Sedangkan pengaruh produk sampingannya kini mulai mengganggu keseimbangan ekosistem dunia (diantaranya dalam bentuk perubahan iklim global). Eksistensi peradaban manusia masa depan akan sangat tergantung pada kemampuan mereka menemukan sumber energi baru yang murah, masif, dan mudah digunakan untuk keperluan massal (dikonversi dalam bentuk tenaga listrik). Geososio politik dunia di masa masa mendatang ini akan sangat dipengaruhi oleh faktor pasokan energi. Indonesia dituntut untuk lebih cerdas dalam pengelolaan sumber-sumber energinya, baik untuk kebutuhan masa kini maupun masa-masa mendatang. Jangan sampai karena tuntutan kebutuhan kekinian menghambur-hamburkan sumber energinya tanpa mempertimbangakn kebutuhannya sendiri untuk masa depan anak-anak bangsanya. Penelitian dan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan berbasis matahari, air, hidrogen, geothermal, dan biomassa harus terus mendapat dukungan penuh dari negara. Alasan pemilihan basis itu cukup jelas. Meskipun demikian sebagai perioda antara sampai energi baru dan terbarukan itu dapat diwujudkan secara massal maka nampaknya energi nuklir merupakan alternatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Target-target dari penelitian dan pengembangan itu harus jelas dan terukur. Kebijakan publik untuk itu harus terumuskan dengan baik dan dilaksanakan secara konsisten, tanpa tergantung pada rezim yang memerintah. Masa depan Indonesia sungguh akan dipertaruhkan pada kecerdasan bangsa ini dalam mengelola sumber energi bagi pertumbuhan peradabannya.

Investasi Pendidikan

Tuesday, June 7th, 2011

Pagi selasa minggu lalu seperti biasa sekitar pukul enam pagi saya olah raga jalan dan lari pagi mengelilingi kampus. Biasanya suasana kampus masih relatif sepi sepagi itu. Jalan cepat dan lari-lari kecil umumnya saya lakukan selama sekitar satu jam dan akhirnya ditutup dengan senam sebentar untuk melemaskan otot-otot. Lalu mandi pagi di kampus dan akhirnya siap untuk bekerja rutin hingga maghrib. Namun kali ini suasana kampus agak berbeda. Pagi yang biasanya sepi sudah ramai oleh berbagai kegiatan untuk menyambut ujian saringan nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Tampak panitia sudah berada di berbagai lokasi. Mungkin beliau-beliau telah sejak beberapa hari sebelumnya dan mencapai puncak kegiatannya sejak malam sebelumnya. Menjelang saya usai lari pagi, kampus telah dikunjungi oleh banyak peserta SNMPTN. Cukup banyak peserta dari luar Bandung, bahkan ada yang sempat bertanya ke saya menanyakan lokasi gedung kuliah umum timur. Nampak wajah-wajah sebagian besar peserta itu tegang dan serius. Maklum masa depan mereka pertaruhkan dalam dua hari ujian ini. Ada kecemasan, harapan, dan tentu bercampur dengan impian. Nampak ada yang diantar oleh orang tuanya, mungkin yang dari luar kota. Mereka semua berhak memperoleh masa depan yang baik melalui jenjang pendidikan tinggi. Hak-hak mereka dijamin oleh undang-undang dasar. Adalah kewajiban negara dan pemerintah untuk menyediakan fasilitas dan kesempatan untuk itu kepada setiap warga negara. Para politisi wakil rakyat  tentu atau seharusnyalah sadar benar bahwa kewajiban merekalah untuk mengatur sumber daya negara sebaik-baiknya agar manfaatnya semaksimal dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat, di antaranya melalui ketersediaan fasilitas pendidikan yang tidak saja memadai bahkan berkelas dunia. Bahwa masa depan suatu bangsa ditentukan oleh seberapa besar dan seriusnya mereka hari ini melakukan investasi di pendidikan anak-anak bangsanya. Waktu berjalan maju, ia tidak pernah mundur. Konsekuensinya, kesalahan dalam menangani pendidikan akan berakibat kehilangan suatu generasi yang tidak tergantikan. Bangsa-bangsa baru yang kini menikmati kemajuan seperti Malaysia dan Korea Selatan adalah karena mereka berani melakukan investasi besar-besaran di pendidikan putera-puterinya pada kurun waktu setengah abad yang lalu. Bangsa ini, khususnya para politisinya, perlu lebih cerdas untuk bersedia mengorbankan berbagai kepentingan ego dan individualistis sesaat jika menginginkan masa depan yang cerah bagi bangsanya, yang tentu di dalamnya akan berarti juga anak cucunya sendiri. Hanya melalui pendidikan yang unggullah pada akhirnya bangsa ini dapat memikul amanah besar untuk turut memelihara perdamaian dan kesejahteraan dunia.